webnovel

Chapter 7

Setelah acara memanah di papan itu, kali ini mereka dibiarkan berburu hewan di hutan samping Istana.

Tulip beberapa kali mendesah kesal. Draco yang katanya adalah calon suami masa depannya bahkan lebih memilih membantu Tirani. Ia tak tahu hubungan kedua orang itu. Lalu Dimitri, pria baik yang diam-diam ia sukai pergi bersama Ariela. Ia dengar Ariela bukan matenya Dimitri. Memikirkan semua itu membuat kepala Tulip pening. Bukankah Tirani bilang mereka para puteri sudah ditakdirkan menjadi mate para pangeran?

Tulip mengusir pikirannya. Ia memilih lanjut menelusuri hutan sendirian.

Sedangkan yang lainnya bahkan berjalan entah kemana. Tak ada pelayan yang menemani. Mengingat hutan, Tulip menelan ludahnya. Takut-takut jika ada monster. Ia harus memanah hewan buruannya. Hewan apapun yang mereka temui tanpa menggunakan sihir. Tulip mendengus lagi, jika menggunakan sihir mungkin saja hanya dirinya yang harus sendirian berburu. Ia tak punya sihir atau kemampuan apapun.

"Apa kau tak capek?"

Tulip menghentikan langkahnya. Ia berbalik menatap pangeran Heros yang duduk bersandar di pohon besar, tidak jauh dari ia duduk. Jiwanya ikut terpanggil. Kapan lagi ia bisa menikmati udara segar di bawa pohon? Tulip ikut duduk bersama Heros. Tidak peduli jika pangeran satu ini akan merasa risih atau terganggu.

Menikmati udara segar Tulip mengingat rumahnya. Pohon mangga di belakang rumahnya adalah tempat ia bertengger seperti monyet.Ia rindu omelan mamanya, atau belaan dari papanya saat semua keluarganya mengejek, sebagai serjana tak laku.

"Aku merasa bosan memanah, apa kau ingin bermain denganku setelah kegiatan memanah ini?"

Tulip menoleh ke arah pangeran Heros, pria ini seperti anak kecil. Tidak menyangka pria ini tak risih berbicara dengannya. Mungkin saja hanya Draco yang memiliki sikap angkuh.

"Apa yang harus kita mainkan?"

Pangeran Heros yang mulanya memasang wajah cemberut langsung memasang wajah kegirangan.

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan keluar istana?"

Tulip mengerutkan keningnya, bukankah ia dilarang keluar dari istana? Belum ia menjawab, pangeran Heros sudah bangkit berdiri.

"Karena kau mau menemaniku nanti, maka aku akan menemanimu berburu."

Tulip tertawa hambar, ia rasa keputusan gila mengiyakan ajakkan Heros. Lihat saja tingkah pangeran bungsu itu, seperti anak kecil.

**

Menelusuri hutan bersama Heros membuat Tulip tak berhenti mengeluh. Apalagi tak ada satupun hewan yang mereka temui. Ini namanya salah jalan. Atau ia telah salah untuk mengikuti semua arahan Heros.

"Apa kau yakin ini jalannya?" Tulip menghapus keringat dikeningnya dengan tangan.

Heros terkekeh, sebenarnya ia juga tak yakin.

"Sebenarnya aku jarang main ke hutan ini."

Tulip menyatuhkan rahangnya. Ia benar-benar makin kesal dengan jawaban yang diberikan Heros.

Sudah tidak bisa memanah, harus bersama pangeran idiot ini pula.

"Lihat itu rusa."

Mata Tulip berbinar. Walau ia terus mengatai pangeran Heros idiot di hatinya, tetap saja sekarang ia senang bukan main. Keduanya berlari dengan riang mengejar rusa itu.

Tulip siaga menarik anak panahnya, Dimitri telah menjelaskan padanya cara memanah yang benar, walalu ia tak bisa menyerap dengan baik ajaran singkat itu.

"Kau saja yang memanah."

Tulip memicingkan matanya malas. Ia sudah paham dengan sikap pangeran Heros yang malas.

Tulip menarik anak panahnya, matanya menatap lurus rusa tadi yang sedang berhenti di ujung sana.

Heros terus bersama Tulip, panah Tulip lepas begitu saja. Rusa itu malah berlari pergi.

"Aaaaaakkhhhh."

Tulip menjatuhkan busur panah ditangannya. Matanya menatap syok perempuan yang berteriak kesakitan.

Panah itu meleset lurus mengenai seseorang.

Jantung Tulip seakan direnggut keluar. Tangannya bergetar, keringat dingin mulai muncul.

"ARIELA."

Tulip memundurkan langkahnya. Heros menutup mulutnya tak percaya.

Draco dan Dimitri berlari mendekat, begitu juga Tirani dan para puteri lainnya.

"Panah ini beracun." Dimitri bersuara.

Ariela memuntahkan dara dari mulutnya.

Draco menatap Tulip dengan matanya yang berubah menjadi merah darah.

Seperti angin, tiba-tiba saja tangan Draco sudah mencekik leher Tulip, mengangkat tubuh Tulip hingga ke atas. Kuku-kuku tajam Draco menancap ingin memutuskan leher Tulip.

Tulip menahan air mata yang hampir mengalir dari sudut matanya. Ia memukul tangan Draco dengan sisa tenaganya. Bahkan teriakkannya tak didengar sama sekali.

"Kau akan membunuhnya bodoh." Avram yang baru datang menggunakan sihirnya untuk menghentikan Draco.

Tubuh Tulip terkapar, mulutnya bahkan mengeluarkan darah. Draco menggunakan sihir, dan hampir membunuhnya. Draco monster menyeramkan dimata Tulip.

Dengan sisa tenaganya, Tulip menggapai akar pohon. Energinya seperti tersedot habis.

Tidak ada yang melihatnya. Mereka semua telah pergi membawa Ariela. Bahkan Draco juga ikut pergi.

"Kau tak apa-apa?"

Heros ingin membangunkan Tulip. Tapi, tangannya berhenti saat Tulip terisak pilu. Wajah perempuan mungil di hadapannya, terlihat mengenaskan.

Ia tak pernah melihat seseorang menangis sebelumnya.

"Aku tahu kau tak bermaksud. Aku bersamamu tadi. Aku akan berbicara pada raja."

Tulip masih menangis, tak menyadari jika kegelapan malam telah tiba.

*

Tanpa diobati Tulip digiring ke depan istana. Tubuh lemah dan luka dilehernya masih menyisahkan bekas darah. Ia digiring seperti seorang penjahat.

Tubuh Tulip didorong hingga terjatuh. Raja dan Ratu menatap dari atas balkon istana.

"Kau berani mencelakai seorang puteri."

Tulip terisak pelan. Ia bahkan tak pernah tahu tentang racun.

"Ampun yang mulia, aku tak sengaja dan aku tak tahu jika panah itu beracun. Pangeran Heros saksinya."

Tulip berusaha mencari pangeran Heros dengan matanya. Tapi nihil. Hanya ada enam pangeran dan para puteri yang berdiri jauh darinya. Ia bahkan melihat Draco di sana. Pria jahat itu akan menjadi suaminya. Tidak, mungkin ia akan mati sebelum menikah.

"Apa kau sedang mencari pembelaan? Yang mulia, pangeran Heros sudah tidur, dia bahkan tak mengatakan apapun." Selir Herlina menatap tak suka pada Tulip.

Tulip mengepalkan dua tangannya. Bodohnya ia mencari pembelaan. Seharusnya ia tahu, tak bisa mempercayai siapapun di sini.

"Cambuk dan kurung di penjara bawa tanah selama satu malam."

Tulip mengangkat wajahnya. Raja di dunia ini bahkan tak mendengarnya sama sekali.

**

Tubuhnya penuh luka. Tulip tertidur pada tumpukkam jerami. Ia bisa mendengar teriakkan para tahanan yang disiksa.

Tulip menangis, ia hanya ingin pulang.

Tiba-tiba saja waktu berhenti. Seperti dejavu tubuhnya ditarik lagi ke tempat gelap. Aneh, tubuhnya bisa bergerak bebas dan tak ada kesakitan sama sekali. Seperti pertama kalinya mereka berbicara. Tulip kali ini menatap marah pada nenek tua bertudung hitam di hadapannya.

"Siapa kau sebenarnya?"

"Aku adalah Moirai, sang perubah takdir."

Tulip ingin melangkah mendekat, tapi tubuhnya bahkan tak sanggup untuk digerakkan. Ia tak paham, tapi perlahan mulai mengerti jika sekarang takdir hidupnya sedang dipermaininkan.

"Kenapa kau membawaku? Kapan aku akan kembali?" Tulip tak ingin berbasa-basi, ia tidak peduli sebagus apa dunia ini. Atau sebanyak apa para pria tampan, yang ia inginkan sekarang adalah pulang.

"Bertahanlah."

Tulip menahan emosinya. kalimat bertahan yang dikeluarkan seakan menyuruhnya untuk tetap di sini dalam waktu yang panjang.

"Kembalikan aku ke duniaku."

"Perjalananmu masih panjang. Kau harus merubah semuanya. Merubah dirinya, dan takdir kalian."

Nenek tua bertudung hitam itu menghilang. Tulip kembali ke masa sekarang. Rasa sakit kembali terasa. Ia hanya manusia biasa. Bibirnya pucat pasi. Nafasnya bahkan sudah tak beraturan. Nenek tua bernama Moirai itu tak bisa mengembalikannya. Takdir macam apa yang harus ia ubah?

Tulip merasa tubuhnya seperti terangkat. Entah siapa yang menggunakan sihirnya. Tubuhnya bersandar di tembok tahanan, tapi seperti bersandar di tubuh seseorang.

Tubuh Tulip begitu lemah. Tatapan matanya kosong.

"Siapapun kau, terima kasih. Aku akan membalas suatu saat nanti."

Tulip menjatuhkan air matanya. Ia lelah, lalu tertidur dalam pelukan bayangan seseorang.