webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Bab 13: lantai 1 (5) to Forbidden forest

Gelap, tubuhku terasa sangat dingin dan sakit di saat yang sama, terlalu menyedihkan untuk dijelaskan lebih lanjut. Apakah ini rasa kematian? Secepat inikah aku harus menghadapi akhir hidup, setelah menghadapi berbagai banyak mahluk aneh di dalam menara terkutuk ini? Oh iya, menara ... apa yang membuat semua orang ini berlomba untuk memanjatnya? Apa yang istimewa, saat hanya satu permintaan saja yang bisa dikabulkan? Padahal ... jin dalam botol saja bisa mengabulkan tiga permintaan sekaligus. Kenapa pula aku begitu bodoh untuk masuk ke dalam menara hanya untuk menemui orang yang bahkan tidak pernah kutemui sama sekali?

Aku mengerjapkan mataku, saat secercah cahaya menyilaukan seolah tidak berhenti menggangguku. Begitu kesadaranku kembali sepenuhnya, aku mengambil napas berat secara spontan, membuatku terbatuk-batuk. Lantas bangkit, dan terduduk sembari memegang dadaku yang terasa sesak. Mataku menangkap sesosok asing yang menghampiriku dengan wajah cemas, membuatku secara refleks sedikit menjauh darinya.

"Syukurlah kamu sudah siuman, ah ... tidak apa. Semuanya sudah baik-baik saja," ucapnya dengan kedua tangannya yang seperti sedang menjinakkan hewan buas.

Aku melirik ke arah kanan dan kiri. Beberapa pohon menjulang tinggi. Sebatang kayu berukuran sedang tergeletak begitu saja, menjadi senderan yang bagus untuk dua tas dengan perbedaan mencolok. Satu untuk perempuan, satu untuk laki-laki. Juga bekas api unggun terlihat jelas di tengah-tengahnya, apinya menjilati panci yang mengeluarkan uap air panas. Mataku beralih kepada wanita di hadapanku, dia cukup cantik ketimbang wanita yang pernah aku temui sebelumnya, bahkan kurasa tanpa perlu rambutnya dicat pirang seperti saat ini.

Aku memegang kepalaku yang masih sedikit terasa berat, "Di mana ini?" Dari sekian banyak pertanyaan, hanya pertanyaan itu yang bisa aku ucapkan sekarang.

"Di perbatasan desa dan hutan. Jangan khawatir, monster dan para penduduk desa nyaris tidak pernah ke sini," ujarnya. Lantas beralih ke sebuah mangkuk yang dia tuang dengan bantuan sendok sayur, air kental, sekilas warnanya mirip kaldu ayam.

"Bagaimana kau bisa menjamin itu?" tanyaku.

"Aku dan Hak tidak pernah kedatangan tamu, selain kamu dan Gin," ujarnya sembari menyerahkan mangkuk yang dia isi tadi.

Aku menerima mangkuk tersebut. Kukira akan ada aroma khas yang kuat menyambut hidungku, ternyata salah, tampaknya isi dari mangkuk ini akan sangat hambar nanti. "Aku mengerti," jawabku singkat. "Lalu, di mana Gin dan temanmu itu?"

"Mereka sedang mencuri, di desa."

Tanpa sadar aku menyemburkan sedikit air kental yang nyaris melewati tenggorokanku. Sedikit terbatuk. Wanita itu tampak panik, namun aku mengangkat tangan kananku yang diperban tipis (aku baru menyadarinya), mengisyaratkan bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan. "Aku hanya sedikit terkejut," ucapku setelah membersihkan mulutku dengan lengan bajuku.

Oh, ternyata dia juga mengganti bajuku. Tampaknya aku berhutang sangat banyak pada wanita ini, bukan hal yang bagus. Tapi itu pantas aku dapatkan setelah kejadian tempo itu. "Terimakasih," ucapku setelah menghabiskan air kental hambar ini, "aku sudah berhutang sangat banyak padamu. Tapi, bisakah kamu jelaskan, apa yang terjadi setelah aku pingsan?"

"Sebelum itu, bisa jelaskan apa masalahmu dengan pria bertopeng itu?" Wanita itu duduk di hadapanku, balik bertanya, nadanya yang ramah berganti serius. "Dia tampak sangat marah sekali, tapi orang itu langsung pergi begitu aku dan Hak datang."

Aku terkekeh kecil, "Apakah kamu melawan monster yang ada di balik pintu?"

"Pintu? Aku tidak pernah dengar adanya pintu di labirin itu," imbuhnya. "Bahkan, Hak maupun Goblin itu tidak pernah membicarakan soal pintu."

Aku berdecih, "Kalau begitu, anggap saja kami berdua sedang memperebutkan harta. Sayangnya dari kedua belah pihak, tidak ada satupun yang memilikinya." Aku mengangkat kedua tanganku yang kosong, "Kau paham maksudku, kan?"

"Oh, jadi hanya kesalah pahaman? Tapi, kenapa dia begitu bersikeras?"

"Entahlah, aku sendiri tidak begitu mengerti kenapa dia begitu bersikeras," bualku. Tentu saja aku tahu, karena harta yang diperebutkan hanya bisa didapatkan sekali. Lagi pula setiap peserta mendapatkan hadiah berbeda, aku jadi penasaran hadiah apa yang di dapat oleh pria bertopeng itu. Apakah belati itu termasuk? Kalau iya, berarti hidupku sedang ada di ujung tanduk karena mendapatkan sesuatu yang sedang dia incar. Adalah suatu keajaiban aku bisa hidup sampai saat ini. Harusnya aku sudah mati tadi.

Wanita itu hanya mengangguk-angguk kepala, tidak tahu apakah dia paham atau tidak. Sampai seorang remaja lelaki datang beserta Gin yang mengekornya dari belakang. Terlihat dari raut wajahnya, jika apa yang didapatkannya tidak begitu banyak. Atau mungkin lebih ke mengecewakan karena keberadaan ku dan Gin.

"Oh kau sudah sadar coklat?" tanya remaja itu begitu usai menghitung hasil mencurinya. Entah kenapa ada rasa ingin memukul wajahnya yang begitu kelewatan memanggilku dengan julukan itu, namun aku tahan karena itu ada benarnya juga.

"Tentu saja, berkat temanmu ini, kondisiku jadi jauh lebih baik," ujarku menahan amarah.

Pemuda itu mendengus, "Padahal yang menggendong tubuh beratmu itu a-"

Wanita tadi memukul kepalanya, dan lantas memberikan sepotong roti yang dia ambil kepadaku. "Hak, kau tidak boleh mengatakan itu kepada orang yang baru saja siuman!" sahutnya kesal.

Aku menerima roti itu dengan suka cita, walau aku yakin rasanya nyaris sama dengan roti yang kusimpan di jendela penyimpanan. Tapi kabar baiknya, aku senang saat pemuda yang bernama Hak itu mendapatkan satu tinju tepat di atas kepalanya. "Terimakasih," ujarku lantas memakan roti itu perlahan, sembari sesekali melirik Hak yang tampak sangat kesal.

"Karena kamu sudah sadar, malam ini giliranmu untuk berjaga malam," ujar Hak enteng sembari mengunyah rotinya.

"Hak," wanita itu berseru protes.

"Apa? Kau tidak sedang lihat betapa susahnya aku mencari makanan seperti ini? Apa lagi anak ini," dia menunjuk Gin, bocah yang bergetar ketakutan sembari menggenggam jatahnya, dengan kasar. "Anak ini nyaris membuatku tertangkap oleh sekumpulan domba yang marah itu."

"Tidak apa, aku tidak masalah untuk berjaga malam ini," ujarku.

"Tapi, kamu baru saja sembuh! Beristirahatlah lagi malam ini ... atau aku saja yang berjaga."

"Tidak!" seru Hak dengan nada yang jelas tidak terima dengan ide yang cukup gila menurutku. "Kau juga sudah mengeluarkan Qi terlalu banyak untuk dia! Aku yakin, Qi mu belum setengahnya terisi kembali."

"Tapi aku baik-baik saja, Hak ...."

"Xixie," Hak menyebut nama wanita di hadapannya, mendengus. "Berhenti berbuat hal yang menjijikkan itu, kau nyaris membuatku muntah."

"Ba-baiklah," ujar wanita yang bernama Xixie itu dengan lesu.

Begitulah, akhirnya aku berjaga malam ini, ditemani api unggun dan suara tonggerek yang memekakkan telinga. Tidak apa, asal suara itu bisa membuatku berjaga sepanjang malam, setidaknya sampai matahari terbit entah dari mana arahnya nanti. Bisa jadi dari arah barat, toh ini masih di dalam menara. Kenyataan yang menyebalkan memang, ingin sekali aku menyebut semuanya hanya mimpi. Tapi itu mustahil untuk kulakukan, bagaimanapun juga kejadian kemarin malam itu nyaris merenggut nyawaku. Menandakan kalau semua ini nyata, bukanlah isapan jempol.

Aku berdecih sembari melemparkan sepotong kayu bakar ke api unggun yang masih berjilat-jilat apinya di udara. Membuatnya sedikit mengecil, kemudian kembali menyala lebih terang dari sebelumnya, menghangatkan semuanya. Termasuk tubuhku terlapisi hanya dengan pakaian yang tidak mungkin menahan rasa dingin menusuk malam ini. Yah ... ada bagusnya juga kalau Hak menyuruhku untuk berjaga malam ini. Walau rasanya aku yakin, pemuda itu tidak pernah bermaksud demikian. Melainkan menjadikan aku sebagai pengawal atau apapun itu untuk kondisi darurat seperti saat ini.

Oh iya, bicara soal kegiatan 'Mencuri.' Tampaknya Hak dan Gin tidak pernah melakukannya ya?

~***~