webnovel

There is Something Between Us

Eirlyn, putri kerajaan yang kabur dari rencana pembunuhan ibu tirinya, terdampar di kerajaan musim panas. Dia bertemu dengan Rad yang sedang mengalami patah hati karena putus dengan pacarnya, Joyce. Lalu dia tinggal bersama keluarga Rad. Eirlyn bersekolah di tempat Rad. Terjadi peristiwa yang mengancam dunia mereka. Rad terlibat dalam kelompok pelindung dadakan pembentukan kerajaan musim panas. Dua cinta hadir di tengah konflik yang penuh bahaya. Rad bingung memilih antara Eirlyn dan Joyce. Hanya cinta yang sebenarnya mengantarkan kebahagiaan pada Rad.

Hikasya · Fantasy
Not enough ratings
10 Chs

Bagian 4. Keanehan Axel dan Joyce

Masa itu, kertas termasuk langka dan bernilai tinggi di kerajaan Summer. Karena hanya beberapa pabrik yang memproduksi kertas-kertas. Lalu kertas-kertas itu digunakan untuk keperluan penting yaitu pembuatan koran, buku, dan lain-lain.

Sistem sekolah yang berjalan di kerajaan Summer adalah para pelajar dan mahasiswa, harus menggunakan white board -- sejenis papan sebesar buku tulis -- dan pena berbulu yang bisa diisi ulang dengan tinta. Mereka harus menghafal semua materi pelajaran yang tertulis di white board karena setiap pelajaran baru, tulisan yang tertera di white board harus dihapus dan diganti dengan tulisan baru.

Saat ini, Rad sedang menulis semua materi pelajaran yang dihafalnya selama bersekolah seharian itu. Ogan membelikannya banyak buku tulis untuk dijadikan catatan pribadi. Rad menggunakan metodenya sendiri agar tidak melupakan ilmu pengetahuan yang didapatkannya itu.

"Sudah selesai," kata Rad berhenti menulis dan meletakkan pena berbulu di gelas berisi tinta yang ada di meja. Dia memerhatikan tulisannya sendiri di halaman buku itu. Tulisannya tidak terlalu bagus, tetapi bisa juga untuk dibaca.

Tiba-tiba, terdengar bunyi ketukan keras dari luar kamar. Rad terkesiap, menutup buku dan meletakkannya di samping gelas tinta. Dia bangkit berdiri seraya berseru, "ya, siapa?"

"Ini Papa," sahut Ogan yang berdiri di dekat pintu kamar Rad.

"Ada apa, Pa?"

Rad membuka pintu. Berhadapan dengan Ogan. Ogan tersenyum.

"Makan malam sudah siap. Kau lapar, 'kan?" ucap Ogan mengedipkan sebelah matanya.

"Ya, lapar," tukas Rad memegang perutnya yang terasa lemas.

"Oh, ayo!"

"Iya."

Rad mengangguk, tersenyum. Dirinya digandeng Ogan. Mereka berjalan menyusuri koridor yang sepi dan bercahaya sangat terang.

"Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kau bersekolah, Rad?" tanya Ogan menggaruk-garuk pipinya, "Papa benar-benar lupa."

"Sudah dua minggu, Pa," jawab Rad tersenyum lagi.

"Oh ya, Papa baru ingat."

"Dasar, Papa!"

Rad dan Ogan tertawa kompak. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol hingga berujung membuat mata Rad membulat sempurna.

"Papa akan mengajarimu seni berpedang dan bela diri. Ini buat bekal pertahanan dirimu," ungkap Ogan bersikap serius, "di kerajaan Summer ini, rata-rata ditinggali oleh para penduduk biasa. Kami tidak mempercayai sihir kecuali kerajaan Winter, Spring, dan Autumn. Tapi, tentu ada orang-orang jahat yang berkeliaran di dunia ini, tentu kau sebagai laki-laki harus menjaga diri dan menjadi pelindung bagi gadis yang kau cintai nanti."

"Oh, begitu. Aku mau belajar, Papa!" seru Rad dengan mata yang berbinar-binar.

"Papa sudah menduga kalau kau mau belajar."

"Tentu saja. Aku suka mempelajari apapun."

"Baiklah. Kita akan berlatih setelah makan malam."

"Hore!"

Rad melonjak beberapa kali. Tingkahnya ini membuat Ogan tertawa. Langkah mereka sampai di lantai satu, tepatnya di ruang makan. Margarita dan Annie, pengasuh pribadi Rad, sudah menunggu mereka di sana.

Acara makan malam diwarnai dengan tawa dan canda. Rad selalu menceritakan kejadian yang dialaminya di sekolah, tetapi tidak menceritakan kedekatannya dengan Joyce. Kedua orang tua angkat dan pengasuhnya mendengarkan dengan antusias.

"Wah, kau hebat, Rad! Selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas!" Annie bertepuk tangan dengan suara yang keras.

"Benar, Annie. Kami bangga padamu, Rad." Margarita tersenyum. Dia duduk berhadapan dengan Rad dan Ogan.

"Terima kasih, Mama dan Ibu Annie." Rad menatap wajah Margarita dan Annie bergantian.

"Pertahankan terus nilai itu, Rad. Jika kau rajin seperti ini terus, kau bisa menggantikan posisi Papa nantinya sebagai kepercayaan Raja." Ogan mengelus rambut Rad.

"Ya, aku akan berusaha keras, Papa!"

"Kita sudah selesai makan. Bagaimana kalau kita berlatih sekarang?"

"Ya, ayo, cepat kita pergi!"

Rad berdiri dan berlari sambil menyeret Ogan. Interaksi mereka membuat Margarita dan Annie tertawa senang.

"Mereka berdua semakin dekat saja, Nyonya," tutur Annie yang semula duduk bersisian dengan Margarita, sudah berdiri dan mengumpulkan peralatan makan yang kotor di meja.

"Ya, Rad telah membawa kebahagiaan besar di rumah ini. Dia telah menjadi permata berharga kami. Kami sangat menyayanginya," balas Margarita yang membantu membereskan meja.

"Aku bisa lihat anda berdua memang menyayanginya seperti anak sendiri."

"Benar. Rad sudah menjadi anak kandung kami yang harus dipertahankan. Dia butuh kasih sayang selama masa perkembangannya. Annie, tolong sayangi Rad sepenuh hati dan perlakukan dia seperti anakmu sendiri."

Margarita tersenyum dengan wajah cantik yang berseri-seri. Annie mengangguk, kemudian melanjutkan pekerjaannya bersama Margarita.

Sementara Rad dan ayah tidak sedarahnya sudah tiba di taman depan rumah. Ada lapangan luas di tengah taman itu. Rerumputan membentang rapi dikelilingi tanaman-tanaman bunga.

Dersik berayun lembut menerpa Rad dan Ogan. Mereka berdiri berhadapan dengan ekspresi serius. Keheningan yang dirasakan, langsung pergi setelah mendengar suara Ogan.

"Rad, kita mulai berlatih. Langkah pertama, kita akan mempelajari beladiri. Perhatikan dulu seni beladiri yang Papa tunjukkan ini." Ogan langsung mempraktekkan beladiri tahap awal yang dikuasainya.

Mata biru Rad yang jeli, menajam. Memerhatikan setiap gerakan Ogan dengan saksama. Otaknya mampu menyalin apa yang baru dilihatnya, dan tersimpan cepat di folder ingatannya. 

"Sekarang giliranmu. Coba praktekkan semua gerakan yang Papa tunjukkan tadi!" titah Ogan berdiri diam dengan senyuman.

"Baiklah!" balas Rad mengangguk. Dia memperagakan gerakan-gerakan itu dengan benar. Hal itu sungguh mencengangkan Ogan.

"Hebat! Kau langsung bisa sekali melihat saja? Wah, Papa salut padamu!"

"Terima kasih, Papa. Ayo, tunjukkan gerakan berikutnya!"

"Sabar! Sabar! Papa mulai lagi! Kita sama-sama bergerak! Ayo, satu, dua, tiga, mulai!"

Rad dan Ogan memasuki jurus beladiri berikutnya. Dalam hati, Rad bertekad akan menggunakan kemampuan beladiri dan seni pedang ini agar bisa melindungi Joyce dari gangguan Axel.

Tidak peduli cuaca dingin yang menghadang, Rad tetap berlatih dalam bimbingan Ogan. Hingga pukul sepuluh malam, Rad menghentikan latihan dan kini berdiri berhadapan dengan Ogan di ambang pintu kamar.

"Selamat malam. Jangan lupa bersihkan diri dan sikat gigi sebelum tidur. Besok kita latihan lagi," kata Ogan memegang puncak rambut Rad.

"Iya, selamat malam, Papa," sahut Rad menengadah, menatap Ogan yang tinggi darinya.

Ogan pergi meninggalkan Rad. Dia berjalan seraya memasukkan kedua tangannya di saku celana panjangnya. Hatinya gembira karena sudah mewariskan kemampuan yang dimilikinya pada anak angkatnya.

Rad menutup pintu kamarnya. Cahaya lampu yang terang, meluas sampai ke seluruh sudut kamarnya. Anak laki-laki berumur tujuh tahun itu, segera masuk ke kamar mandi.

***

"Apa benar kau bisa beladiri sekarang?" tanya Joyce saat duduk di rerumputan di dekat pohon rindang, tepatnya di taman samping sekolah.

"Ya, Papaku yang mengajariku," jawab Rad tersenyum lebar sambil makan blueberry yang dibawa Joyce.

"Kalau begitu, tunjukkan jurus-jurus beladiri itu padaku."

"Tidak."

"Ayo, tunjukkan!"

"Tidak!"

"Rad! Cepat!"

"Huh, kau sombong juga rupanya, Rad!" Tiba-tiba, muncul suara yang menginterupsi dari balik pohon. Kepala bersurai hitam menyembul dari balik pohon, mendelik ke arah Rad.

"Axel! Kau mengikuti kami terus! Sana, main dengan teman-temanmu itu!"

Joyce menghardik Axel dengan wajah garang. Mata jingga gelapnya menyalang tajam. Berkacak pinggang. Sementara Rad dengan santai tetap memakan blueberry yang diambilnya dari kotak bekal milik Joyce.

Axel cemberut, dan berjalan mendekati Rad dan Joyce. Tidak memedulikan kemarahan Joyce yang siap meledak lagi. Telunjuknya terarah lantang pada Rad.

"Hei, kau, Rad! Berdiri! Aku menantangmu bertarung dengan tangan kosong!" titah Axel menyipitkan matanya lagi.

"Aku tidak mau," tolak Rad menggeleng tegas.

"Mau tidak mau, kau harus berhadapan denganku! Aku ini pangeran, atasanmu! Ayahmu saja bawahan ayahku!"

"Jangan bawa ayahku dalam masalah ini."

"Oh ya, sebenarnya kau bukan anak kandung ayahmu, 'kan?"

Axel mengangkat salah satu alisnya. Senyuman sinis terukir di wajah imutnya. Rad dan Joyce membulatkan mata.

"Apa? Jadi ... Rad itu?" Joyce menunjuk Rad dengan kerutan banyak di keningnya.

"Tuan Breogan tidak memiliki anak, Joy." Axel juga menunjuk Rad lagi. "Rad hanya anak pungut yang ditemukan di jalanan. Aku mengetahui itu dari ayahku."

Rad terdiam. Gerakan mengunyah blueberry-nya berhenti. Mata birunya yang meredup, menjadi membesar. Alisnya menukik tajam.

"Biarpun aku bukanlah anak kandung Tuan Breogan dan Nyonya Margarita, tetapi mereka sudah menganggapku sebagai anak kandungnya. Mereka memperlakukan aku dengan baik sehingga aku bisa bersekolah di tempat mewah yang hanya bisa dihuni oleh bangsawan dan orang kaya seperti kalian berdua," ungkap Rad menunduk seraya meremas kedua tangannya, "aku lahir tanpa tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya. Aku ditemukan oleh pemilik panti asuhan di dekat gereja."

Rad menceritakan perihal dirinya yang sesungguhnya. Axel dan Joyce yang mendengarkan, terdiam. Hati mereka terketuk dengan nasib Rad yang malang. Lalu Joyce mengepalkan kedua tangannya, berdiri dan menunjuk muka Axel.

"Axel, kau telah menghina Rad! Pangeran macam apa kau ini? Aku tidak suka kau bertingkah angkuh seperti ini! Ayo, cepat minta maaf pada Rad!" bentak Joyce. Urat-urat nadinya seakan menonjol dari kulitnya.

Axel bungkam sebentar, meredupkan mata. "Ma ... maaf, aku tidak tahu soal tentangmu, Rad. Sebenarnya ... aku tidak bermaksud menghinamu."

Rad tersenyum. "Tidak apa-apa."

"Keadaannya jadi begini, bagus, 'kan?"

Joyce tersenyum juga. Mendadak, dia oleng dan disambut oleh Rad yang berubah menjadi pelukan. Kedua laki-laki itu mencemaskan Joyce.

"Joy, kau tidak apa-apa?" tanya Rad dan Axel bersamaan.

"Aku tidak apa-apa," jawab Joyce tersenyum lemah.

"Syukurlah." Axel menghela napas lega.

"Memangnya apa yang terjadi denganmu, Joy?" tanya Rad yang mendudukkan Joyce.

"Joy memiliki kelainan."

"Kelainan?"

Rad mengernyitkan dahinya ketika Axel mengangguk. Joyce terdiam, memilih mendengarkan mereka berbicara.

"Tubuh Joy bisa jadi tidak bertenaga jika mengalami marah dan emosi yang meluap-luap. Ini terjadi sejak umurnya satu tahun. Penyebabnya tidak diketahui sampai sekarang," papar Axel memegang bahu Joyce, "karena itu, keluarga Joy mempercayakan aku untuk menjaga Joy. Tapi, gadis ini bebal dan tidak mau aku dekat dengannya."

"Habisnya kau selalu mengusiliku, Axel!" sembur Joyce menjitak kepala Axel. Axel hanya tertawa.

"Cuma dia yang berani memukulku seperti ini dan memanggilku dengan sebutan nama saja."

"Kau memang tidak pantas disebut pangeran!"

"Dasar, jangan emosi lagi!"

"Iya, aku tahu itu."

Axel dan Joyce berdebat. Rad tersenyum menyaksikan mereka. Pikirannya menjadi tenang karena masalahnya dengan Axel sudah selesai. Perhatian Axel dan Joyce tertuju padanya.

"Rad, ayo, kita makan blueberry ini sampai habis sebelum bel berbunyi!" Joyce mencomot satu blueberry dan memakannya.

"Ya." Rad mengangguk dan mengambil dua blueberry. "Pangeran Axel, kau mau juga?"

Rad menyodorkan satu blueberry pada Axel. Axel yang duduk berhadapan dengannya, menunjukkan ekspresi pucat. Joyce menahan tawa.

"Blueberry, ya?" Axel tersenyum kikuk. "Terima kasih, tetapi aku tidak mau memakannya."

"Kenapa? Rasanya enak. Sama dengan strawberry." Rad mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.

"Memang enak. Tapi, bagaimana, ya?"

"Jangan banyak berbicara, Axel!" Joyce memasukkan blueberry dengan paksa ke mulut Axel. Sehingga Axel terdiam, lantas menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia langsung kocar-kacir, lari terbirit-birit seperti dikejar hantu.

Rad ternganga, Joyce terkekeh. Mereka saling bertukar pandangan.

"Apa yang terjadi dengan pangeran?" Rad mengerutkan keningnya.

"Dia tidak suka dengan blueberry. Kalau memakan blueberry, dia bisa muntah-muntah." Joyce tetap terkekeh.

"Kenapa bisa begitu?"

"Kata ibunya, sewaktu Axel berumur dua tahun, pernah meminum ramuan yang mengandung blueberry. Rasa ramuan itu asam sekali, makanya membuat Axel mual dan terus muntah. Sejak saat itu, dia menghindari apapun yang berhubungan dengan blueberry."

"Oh. Itu terasa aneh sekali."

"Memang."

"Kau juga aneh, bisa lemah kalau sedang senang ataupun mengalami emosi yang meluap-luap."

"Itu sudah takdir. Aku sudah terbiasa mengalami hal itu."

Joyce tersenyum menawan. Gadis kecil yang manis itu, mengukir perasaan nyaman di jiwa Rad. Rad terpana, kemudian turut tersenyum. Kedua tangannya perlahan mendekati tangan Joyce.

"Joy," ujar Rad dengan muka serius seraya menggenggam tangan Joyce dengan kedua tangannya, "aku mau kita bersahabat untuk selamanya."

"Sahabat?" Joyce mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Iya. Kau mau, 'kan?"

"Aku mau saja."

"Aku juga mau." Tiba-tiba, Axel muncul lagi dan memegang tangan Rad yang menggenggam tangan Joyce.

"Huh! Axel, kau mengganggu saja!"

"Jangan marah lagi, Joy!"

"Dasar, kau menyebalkan!"

Amarah Joyce memuncak lagi. Axel kena semprotan celoteh Joyce yang meledak seperti gunung berapi meletus. Mereka berkejar-kejaran di tempat itu saja. Rad tertawa geli sampai merasa sakit perut.

Jauh di negeri lain, di kerajaan Winter, Eirlys sedang duduk di dekat meja. Dia berada di perpustakaan istana yang terletak di bawah tanah. Membaca sebuah buku tentang sejarah dunia.

"Dua kerajaan, Spring dan Autumn telah runtuh saat terjadi perang kerajaan. Kerajaan Winter yang memenangkan perang itu. Lalu pahlawan yang berhasil menyegel monster, mendadak hilang sejak perang itu." Eirlys membaca sepenggalan kalimat yang tertulis di halaman buku. Dia juga menemukan kertas usang yang terselip di salah satu halaman buku. Kertas yang bergambarkan peta dunia.

Ada dua benua besar yang berdiri di samudera luas. Wilayah es abadi dikuasai kerajaan Winter, lalu wilayah subur dikuasai kerajaan Summer. Di tengah perbatasan dua kerajaan itu, dinamai Hutan Kerdil.

Saat ini, wilayah kerajaan Winter sedang dilanda malam dan perbedaan waktunya beda dengan kerajaan Summer. Lalu musim yang terjadi di dua kerajaan itu berbeda seolah berbeda dunia, padahal satu dunia.

Eirlys terkantuk-kantuk karena membaca buku. Tapi, dia menahan rasa kantuk itu setelah menemukan kalimat yang menarik di buku lain.

"Hati yang terhubung dengan benang merah, tetap tersambung meskipun berjarak jauh. Tidak bisa diputuskan oleh apapun. Meskipun benang merah lain mencoba mengikatnya, tetap akan putus karena digunting oleh hati lain."

Eirlys mencoba menghafal kalimat itu. Dia ingin memakainya untuk menguatkan hatinya agar tetap sabar menunggu kedatangan cinta sejatinya. Cinta sejati yang membebaskannya dari belenggu siksaan batin dan diri.

Siapapun kau, pangeranku. Aku akan mencintaimu sampai mati nanti.

Eirlys tersenyum dan membayangkan sosok pangeran yang akan datang padanya saat dewasa nanti. Pangeran itu mengatakan cinta dan mengajaknya menikah.

***