webnovel

There is Something Between Us

Eirlyn, putri kerajaan yang kabur dari rencana pembunuhan ibu tirinya, terdampar di kerajaan musim panas. Dia bertemu dengan Rad yang sedang mengalami patah hati karena putus dengan pacarnya, Joyce. Lalu dia tinggal bersama keluarga Rad. Eirlyn bersekolah di tempat Rad. Terjadi peristiwa yang mengancam dunia mereka. Rad terlibat dalam kelompok pelindung dadakan pembentukan kerajaan musim panas. Dua cinta hadir di tengah konflik yang penuh bahaya. Rad bingung memilih antara Eirlyn dan Joyce. Hanya cinta yang sebenarnya mengantarkan kebahagiaan pada Rad.

Hikasya · Fantasy
Not enough ratings
10 Chs

Bagian 3. Teman

Axel, nama laki-laki berambut hitam yang telah merampas tas milik gadis berambut cokelat terang itu. Netra cokelatnya menyipit tajam. Kemudian dia menunjuk jempolnya ke bawah.

"Kau harus bersujud di bawah kakiku sebagai penghormatanmu padaku. Cepat lakukan sekarang juga!" titah Axel dengan muka yang mengeras.

"Aku tidak mau!" tolak Rad dengan tegas.

"Jangan membantahku!"

"Memangnya kau siapa? Kau bukan teman atau saudaraku. Jadi, jangan seenaknya menyuruhku."

"Huh, kau tetap bersikeras melawanku! Ayo, kita bertarung sekarang! Aku tidak takut sama sekali!"

Axel menggeretakkan gigi-giginya hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Tas yang digenggamnya, dibuangnya ke arah lain. Sehingga gadis berambut cokelat terang sebahu itu berhasil mendapatkan tas miliknya. Hal itu membuat Rad tersenyum senang padanya.

"Terima kasih," ucap gadis berambut cokelat terang itu, tiba-tiba berteriak keras, "awas, dari arah depanmu!"

Rad terkesiap, langsung menoleh ke arah tinju yang datang ke arahnya. Mendadak dirinya berpindah tempat ke arah lain. Tersentak saat melihat Axel meninju pipi siswa lain. Adegan itu sungguh membuat semua orang tercengang.

"Eh? Apa yang terjadi?"

"Anak yang menjegal pangeran tadi di mana?"

"Dia ada di sini?"

"Apa?"

Semua mata tertuju pada Rad yang berdiri di antara keramaian. Rad sendiri bingung dengan apa yang terjadi. Kebetulan muncul seorang wanita bergaun hijau tua dari arah keramaian, dan melototi Axel.

"Pangeran Axel! Hentikan!" teriak wanita itu.

"Kepala sekolah!" balas Axel membulatkan matanya.

"Kenapa kau berkelahi di hari pertama sekolah seperti ini? Sebagai kepala sekolah, aku bisa saja menghukummu, tidak peduli statusmu apa, atau apa aku perlu melaporkan ini pada ayahmu?"

"Jangan laporkan pada ayahku, Kepala Sekolah."

"Baiklah. Ayo, murid-murid semuanya! Sudah tiba waktunya untuk masuk ke kelas!"

Bel berdentang sebanyak tiga kali usai Kepala Sekolah mengatakan itu. Semua anak berhamburan menuju kelas masing-masing. Bahkan ada yang melepaskan perpisahan sementara dengan orang tua masing-masing -- anak-anak baru.

Kejadian di luar nalar manusia, saat Rad tiba-tiba berpindah dan tergantikan posisinya dengan orang lain yang mendapatkan tinju dari Axel, dilupakan semua orang kecuali Axel yang bingung. Axel yang ditarik oleh Kepala Sekolah, sempat melihat Rad sedang berjalan dengan Joyce.

Anak tadi siapa dia sebenarnya? Batin Axel.

Langkah Axel lebih cepat daripada Rad dan Joyce. Dia menghilang bersama Kepala Sekolah di antara lautan manusia. Hatinya tergerak ingin mengetahui tentang Rad.

"Namaku Rad Ramos Aldebaria," kata Rad tersenyum.

"Aku Joyce Mia Castellanos. Kau bisa memanggilku Joy," sahut Joyce yang juga tersenyum, "kau berani sekali melawan pangeran Axel. Padahal orang-orang di sini, tidak berani melawannya."

"Aku tidak tahu kalau dia pangeran. Ya, meskipun aku tahu juga, aku tidak peduli itu. Tapi, Pangeran Axel sudah salah karena mengganggumu."

"Iya. Aku sebal sekali karena selalu diganggu olehnya. Mungkin karena keluarga kami saling mengenal. Lalu orang tua kami menyarankan kami untuk selalu berteman. Huh, aku tidak mau berteman dengan anak nakal seperti dia!"

"Kalau begitu, kau berteman denganku saja."

Rad mengulurkan tangannya dan ditanggapi dengan wajah polos dari Joyce. Gadis berponi itu, mengerjapkan mata besarnya beberapa kali. Berpikir sebentar, lalu menyambut tangan Rad.

"Baiklah. Aku mau berteman denganmu." Joyce tersenyum lebar.

"Syukurlah. Aku senang kau menerimaku sebagai teman barumu." Rad juga tersenyum lebih lebar dari Joyce.

"Aku juga."

"Nanti saat istirahat, kita makan bekal sama-sama, ya?"

"Oke."

Rad dan Joyce melanjutkan perjalanan menuju kelas yang sama. Mengobrol tentang apapun yang menghadirkan tawa dan senyum di wajah mereka setiap detik.

***

Jendela kaca yang buram, dihapus oleh sebuah tangan putih bening. Sehingga dari jejak hapusan tangan yang berbentuk lingkaran besar tidak beraturan, menampakkan wajah yang sangat cantik dari luar jendela. Mata biru cemerlang seperti permata, bersinar. Bibir kecil tipis.

Rambut gadis kecil itu sangat panjang melebihi lutut, berwarna putih-kebiruan seperti es. Gaun biru berkilauan membungkus tubuh mungilnya.

"Eirlys! Jangan berdiri di atas kursi! Nanti kau terjatuh!" sembur seorang wanita berambut pirang panjang melewati lutut, berkacak pinggang dengan mata yang menajam.

"Maaf, Ibu," sahut Eirlys Frezenhait Winter, turun dari kursi dan menunduk, "aku penasaran ingin melihat ke luar sana."

"Kau tidak boleh keluar ataupun melihat pemandangan dari jendela!"

"Kenapa?"

"Ada alasan tertentu. Kau akan mengetahuinya setelah menemukan cinta sejatimu."

"Tapi, aku ingin melihat dunia luar itu."

"Yang dikatakan ibumu benar, Eir. Kau harus tetap di istana dan mengikuti semua peraturan yang telah kami tetapkan untukmu," sela pria berambut pirang yang masuk ke kamar Eirlys, "kau boleh keluar saat telah menemukan cinta sejatimu."

"Tapi, Ayah...."

"Jangan membantah!"

"Baiklah, Ayah."

Eirlys mengangguk pasrah. Hela napas berat terdengar dari hidungnya. Hatinya ingin memberontak dari kekangan orang tuanya selama tujuh tahun ini. Tapi, dia tidak berani melawan orang tuanya hanya karena masalah itu.

Eirlys duduk di kursi yang dipijakinya tadi. Ayah dan Ibu datang mendekatinya. Mereka berlutut, menatap putri sematawayang yang telah hadir dalam penantian selama lima belas tahun.

"Kau marah pada kami?" tanya Ibu mengerutkan keningnya.

Eirlys bermuka muram, menggeleng pelan. "Tidak."

"Kalau tidak, kenapa ekspresimu seperti itu?" Ayah yang bertanya. Alisnya melengkung ke bawah.

"Aku ingin punya teman."

Nada suara Eirlys pelan sekali. Ayah dan Ibu saling pandang. Mereka mengambil napas kompak.

"Kau punya teman yaitu kami berdua, nak," ujar Ibu tersenyum.

"Tapi, aku ingin punya teman seusia sepertiku," tukas Eirlys dengan mata yang meredup.

"Kami tahu itu. Tapi, kami tidak bisa mengizinkan hal itu terjadi," tandas Ayah menggeleng tegas.

"Kenapa?"

"Orang-orang asing itu berbahaya, nak. Kami tidak ingin kau terluka. Apalagi di luar sana, cuaca sangat dingin dan terkadang tiba-tiba terjadi badai salju yang sangat ganas. Banyak warga yang tewas karena itu."

"Benar, yang dikatakan ayahmu, Eir. Karena itu, semua orang lebih memilih berlindung di rumah masing-masing."

"Begitu, ya. Aku mengerti sekarang. Maaf, karena aku sempat ingin melawan kalian tadi."

Eirlys tersenyum dan mendekap leher kedua orang tuanya sekaligus. Ayah dan Ibu membalas pelukannya, turut tersenyum. Mereka bergeming, bertahan di posisi itu untuk beberapa saat.

Eiristophia, itulah nama ibukota kerajaan Winter yang dipimpin oleh ayah Eirlys. Asal usul penamaan Eirlys terinspirasi dari kota yang dipenuhi bangunan-bangunan es seperti kristal. Para warga di sana, mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit beruang dan serigala.

Wilayah kerajaan Winter hampir diselimuti es dan salju abadi. Hanya para penyihir yang berkekuatan elemen api dan es yang mampu bertahan hidup dalam lingkungan ekstrim seperti itu.

Eirlys sangat memimpikan ingin pergi dari istana dan melihat dunia luar yang dikatakan indah oleh pengawal setianya. Tapi, dia hanya bisa memendam semua itu di hatinya.

"Aku ingin memiliki sayap seperti ini. Pasti menyenangkan sekali," gumam Eirlys pada gambar sekawanan burung merpati putih yang terbang di langit. Dia meraba gambar itu seraya tengkurap di tempat tidur beralaskan seprai yang lembut.

Saat ini, malam sudah tiba. Sebagian penduduk sedang tertidur, dan sebagian lain masih tetap beraktivitas, salah satunya Eirlys. Gadis kecil itu sedang membaca buku bergambar tentang berbagai jenis burung di dunia ini. Buku yang merupakan pemberian dari Ayah, telah dibacanya berkali-kali.

Kebosanan menghampiri jiwa Eirlys. Dia merasa kesepian di istana semegah ini. Istana yang berdiri di tengah kota, bertembok es setinggi lima meter. Banyak penjaga yang berkeliaran di sekeliling istana.

Kamar Eirlys dan kamar orang tuanya, tepat berada di lantai dua. Keadaan yang hening, memaksa Eirlys menutup buku, dan turun dari ranjang. Berjalan untuk mengembalikan buku ke lemari.

Eirlys memandang buku-buku yang berjejeran rapi di dua lemari besar itu. Semua buku itu sudah dibacanya sejak berumur empat tahun. Berbagai informasi dunia telah diketahuinya.

"Aku bisa keluar setelah menemukan cinta sejatiku. Sampai kapan aku menunggu saat itu tiba? Ya Tuhan, tolong beri aku kesabaran."

Eirlys mengatupkan jari-jari tangannya. Menunduk. Berharap Tuhan mengabulkan doanya itu.

***

"Wah, enak sekali makanan buatan mamamu!" seru Joyce yang mencoba sedikit makanan dibawa Rad.

"Ya, tentu saja. Mamaku itu pintar memasak," tukas Rad tersenyum, "makanan buatan ibumu enak juga."

"Memang buatan ibuku, tetapi aku juga membantunya memasak."

"Kau rajin juga, Joy."

"Ah, terima kasih."

Kedua pipi Joyce merona merah. Dia tersipu malu sambil memegang kedua pipinya. Sikapnya yang anggun, cukup membuat Rad nyaman.

Kebiasaan di sekolah, tempat Rad menimba ilmu itu, semua murid diwajibkan membawa makanan dari rumah. Lalu mereka makan siang bersama di kelas masing-masing.

Keakraban telah terjalin di antara Rad dan Joyce sehingga membuat Axel merasa jengkel. Axel menggigit keras sendok yang dikiranya adalah paha ayam kesukaannya. Salah satu temannya menegurnya. "El, kenapa kau menggigit sendok begitu?"

"Anak laki-laki berambut pirang itu sangat menyebalkan!" gerutu Axel menggeram.

"Berambut pirang? Yang mana?"

"Itu, yang bersama Joyce."

"Oh, namanya Rad Ramos Aldebaria. Anaknya kepercayaan ayahmu."

"Eh? Tuan Breogan itu, ayahnya?"

"Iya, memang kenapa?"

"Setahuku, Tuan Breogan tidak memiliki anak. Jangan-jangan...."

"Jangan-jangan apa?"

"Ah, tidak. Kita makan lagi, yuk."

Axel menggeleng-geleng. Dia melahap ayam goreng itu dengan perasaan yang tidak suka pada Rad. Melemparkan tatapan tajam yang berharap bisa menusuk hati Rad, tetapi Rad mengabaikannya.

Acara makan siang berlangsung aman dan tertib. Usai itu, pelajaran dimulai kembali.

Pada pukul dua siang, Rad pulang dan dijemput oleh Ogan. Dia melambaikan tangan dari jendela kabin depan mobil. Melihat Joyce yang juga melambaikan tangan padanya.

"Aku pulang dulu, Joy! Sampai bertemu lagi besok!" teriak Rad tersenyum lebar.

"Iya, sampai jumpa lagi!" balas Joyce tersenyum sambil berdiri di dekat pintu gerbang sekolah.

"Rad, kau berteman dengan Joyce itu?" tanya Ogan mengerutkan kening.

"Iya. Papa kenal Joyce, ya?"

"Ya, Papa mengenal ayahnya. Ayah Joyce adalah orang yang paling disegani di kerajaan ini."

"Oh, aku sudah tahu itu dari Joyce tadi."

"Baguslah, jika kau tahu tentang Joyce. Lalu, Papa harap kau tidak berteman lagi dengannya."

"Kenapa, Papa?"

"Ayah Joyce, Tuan Caprio, tidak menyukai anak-anak yang asal usulnya tidak jelas sepertimu. Dia bisa saja menghinamu jika mengetahui kau bukanlah anak kandung Papa. Maaf, karena Papa mengatakan ini, bukan bermaksud menyakitimu. Tapi, ini demi kebaikanmu, Rad. Papa tidak mau kau bergaul lagi dengan Joyce."

Ogan menekankan kalimat itu pada Rad. Kedua matanya menyipit tajam dengan raut muka yang sedikit mengeras. Rad bungkam sesaat, kemudian mengangguk patuh.

"Baiklah, Papa. Aku akan menuruti Papa." Rad terpaksa tersenyum.

"Terima kasih, Rad. Kau mau mendengarkan Papa." Ogan merangkul bahu Rad dari samping. Tersenyum bahagia, tanpa mengetahui niat yang terselubung di hati Rad.

Maaf, Papa. Aku akan tetap berteman dengan Joyce apapun yang terjadi.

Rad membatin seiring Ogan menyalakan mesin mobil. Mobil klasik itu berjalan menyusuri jalan raya yang ramai.

***