webnovel

Chapter 7: Threat

Berjam-jam menangis membuat kepalaku terasa sangat pening.

Aku ingin mandi. Tubuhku lengket oleh keringat, darah, dan penghinaan. Bajingan itu tak kembali lagi dan aku sedikit merasa lega.

Aku menyeret kakiku ke kamar mandi dengan membawa kantong plastik yang diberikan wanita tadi. Di dalamnya terdapat sebuah celana jins hitam, kaus polos berwarna abu-abu, sepasang underwear, dan peralatan mandi. Aku sedikit terkejut karena orang itu masih mau memberikan baju bersih.

Ku nyalakan shower dan air dingin segar mengguyurku seketika. Ku biarkan air dingin itu membasuh tubuhku yang terasa sangat kotor. Aku membersihkan sisa darah dan cairan lain yang masih menempel di kewanitaanku. Sial, perihnya bukan main.

Pikiranku kacau. Aku tak tahu apa lagi yang dapat ku lakukan. Aku harus mencari cara untuk kabur, bagaimanapun itu. Mungkin aku juga harus mencari handphone seseorang yang menganggur lalu menghubungi ayah atau polisi. Tapi bagaimana caranya?

Setelah beberapa saat, aku pun selesai dan menggunakan pakaianku. Ku keringkan rambutku dengan handuk yang sudah ada dan duduk di tepi ranjang. Apa lagi yang harus ku lakukan?

Aku melirik pada makanan di sampingku. Tidak! Aku tak akan pernah mau menyentuh makanan dan minuman dari orang itu lagi. Lebih baik aku mati kelaparan saja daripada harus makan makanan orang itu. Tak akan pernah!

Jam berapa sekarang? Apakah tengah hari? Kepalaku terasa luar biasa pusing dan perutku berbunyi keras. Setidaknya mungkin sudah lebih dari 20 jam sejak terakhir kali makanan menyentuh mulutku. Tentu saja aku lapar.

Makanan di meja itu masih menggoda seperti tadi, tapi aku tak boleh lengah. Aku harus tetap siaga. Siapa tahu manakan itu diberi obat bius lagi. Aku tak mau orang itu memperkosaku lagi.

Kepalaku tersentak. Seketika kesadaran memenuhiku kala aku mendengar suara kunci pintu yang dibuka. Aku telah tertidur di lantai rupanya. Aku tak menyadarinya. Pria tadi datang kembali dan menuju ke arahku.

“Kenapa makanannya masih utuh?” Ia menatap pada nampan makanan di meja kemudian memandang ke arahku intens. Ia ikut berjongkok di depanku. Tubuhku bergetar hebat. Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengannya atau aku akan menangis lagi.

“Jangan takut.” Ia mengucapkannya perlahan. Tangannya terjulur hendak menjangkau wajahku.

“Jangan,” pintaku seraya menyembunyikan wajah di balik lengan sebelum tangannya menahanku. Ia mendongakkan wajahku ke atas. Wajah yang ku takuti itu berada persis di depanku.

“Aku ingin lihat wajahmu,” ucapnya dengan tangannya yang masih berada di wajahku.

Tatapannya seakan menelanjangiku. Hazel milik pria itu kembali menghipnotisku. Cantik sekali matanya. Seolah-olah aku dapat menembus ke kedalaman netranya dan melihat keindahan apa saja yang ada di dalamnya. Mata yang indah ini sayang sekali harus dimiliki oleh penjahat keji sepertinya.

“Kau benar-benar perlu makan.” Ia menarik tanganku menuju ke arah meja.

“Makanan itu bersih. Tanpa racun. Jadi kau tak usah khawatir.” Ia melepaskan tanganku dan mendudukkanku di ranjang. Aku masih membisu. Tak berani berkata sepatah kata pun.

“Aku tak akan menyakitimu kalau kau mematuhi perintahku, oke?” Ia menambahkan “Kalau kau ingin selamat di sini, patuhi ucapanku. Saat ini yang harus kau lakukan adalah makan dan kau benar-benar harus melakukannya.” Ia memandangku dengan tatapan mengancam. Pria itu sangat mengintimidasiku.

“Paham?” tanyanya. Menunggu responku yang nihil, ia tampak semakin garang.

“Paham?” tangannya mencengkeram tangan kiriku kencang sekali. Baik, aku harus menjawabnya.

“Paham,” jawabku lemah. Orang itu melepaskan cengkeraman tangannya lalu berjalan menuju pintu.

Di ambang pintu ia berhenti sejenak. “Kalau saat aku kembali makanan itu belum kau sentuh sama sekali, kau kan tahu akibatnya. Aku tidak main-main dengan ucapanku.” Ia membanting pintu dan menguncinya.

Aku menghela napas yang entah sejak kapan ku tahan. Aku melirik nampan itu lagi.

Benarkah makanan itu aman? Tak ada obat apa pun?

Aku sangat tak mau memakannya namun aku tak ingin orang itu menyakitiku. Ancamannya membuatku merinding. Harus kah aku mematuhinya? Tapi kalau menolak perintahnya bisa jadi ia akan melakukan hal buruk lagi.

Mungkin kah ia membunuhku?

Dengan penuh perasaan was-was, ku lahap juga semua makanan di nampan itu hingga habis tak tersisa. Pun begitu dengan minumannya. Aku menunggu hingga beberapa saat kemudian tapi tak ada hal buruk yang terjadi padaku. Yang ada pusing di kepalaku malah semakin mereda. Pria itu benar. Makanan ini tak berbahaya. Ia benar-benar ingin memberiku makan.

Aku agaknya perlu sedikit bersyukur.

***

Waktu demi waktu berlalu dengan sangat lambat. Entah sudah berapa lama aku mengelilingi kamar ini. Tak ada yang datang, tak ada suara sedikit pun dari luar. Apa kah orang-orang itu pergi? Jangan-jangan kamar ini kedap suara.

Aku berjinjit melihat ke jendela dan ternyata sudah malam hari ketika penculik itu datang lagi ke kamarku. Bukan, ini bukan kamarku. Ini kamar penculik itu mungkin, aku tak tahu. Aku bahkan tak tahu rumah siapa ini.

Pandanganku terpatri pada orang yang berada di belakang pria itu. Kali ini ia tak datang sendiri. Ia datang bersama seorang pria lainnya yang kemarin ku temui. Pria berwajah menyeramkan dengan tato di sekujur tubuh dan bekas luka menjalar di wajahnya. His boss.

Baik lah, aku punya firasat ini bukan hal baik. Ini buruk. Sangat buruk. Kedatangan penculik bermata hazel tadi saja sudah sangat mengintimidasiku, apalagi ditambah dengan bosnya?

Ku rasa dia lah dalangnya. Mungkin sosok bos itu adalah orang yang memerintahkan ketiga penculik kemarin itu untuk menculikku. Pasti dia otak kriminalnya.

“Zo, kau tunggu di situ saja,” ucap Si Bos. Tunggu dulu, ia memanggil Si Mata Hazel dengan panggilan Zo?

Sosok yang dipanggil dengan nama Zo itu berdiri dengan patuh di samping pintu kamar. Kedua tangannya disilangkan di dadanya yang bidang. Rahangnya kembali terlihat mengeras seperti saat ia memindai wajahku beberapa waktu yang lalu. Pria itu memandangku dengan tatapan yang ganjil. Entah lah, terlihat seperti campuran antara miris dan antisipasi.

Pria bertato di hadapanku mulai mendekatiku. Saat itu pula aku melangkah mundur sebagai langkah pertahananku. Aku harus waspada.

Ku lihat ke sekelilingku dan mengeluh dalam batin. Kenapa tak ada benda keras apa pun di ruangan ini? Satu-satunya benda yang terlihat agak keras adalah nampan makanan di depanku. Itu pun terbuat dari plastik. Tentu saja tak akan sakit jika ku pukulkan ke wajah orang itu.

Tiba-tiba saja pria itu menyerangku dengan memegangi kedua tanganku. Ia menjambak rambutku dengan kuat. Sial, sakit sekali!

“Sakit! Lepaskan!” teriakku.

Dengan santainya, ia melemparkan tubuhku ke sudut ruangan. Wajahku merasakan hantaman dinding kemudian di lantai yang dingin. Aku mengerang pelan. Orang itu mendatangiku lagi dan memegang leher kaus yang ku kenakan. Ia lalu menamparku sekali namun dengan tenaga kuat sehingga sekali hingga aku terjatuh lagi dan kali ini wajahku menghantam lantai dengan sangat keras. Kepalaku berputar-putar. Rasa sakit di kepala yang semula telah mengangsur membaik kini berdenyut hebat lagi.

“Bangun, Sialan! Bangun!” bentaknya padaku.

Aku memegangi hidungku yang mengucurkan darah.

“Apa kau tuli? Bangun!” bentaknya lagi.

Ia menjambak rambutku dan menyeretku untuk bangun. Tubuhku didorong hingga menyentuh tembok kamar. Tangan kanannya memegangi kedua tanganku di atas kepalaku. Sementara itu, tangan kirinya memegang wajahku dan memaksaku untuk melihat wajah seramnya. Ia tertawa keras.

“Kenapa kau melakukan ini?” tanyaku lirih.

Ia memelototiku hingga matanya seperti akan lepas. “Untuk uang, Tolol!” jawabnya sambil menarik rambutku ke bawah sehingga wajahku mendongak ke atas.

Nyaris berbisik, aku mengutarakan pertanyaan yang berkecamuk dalam benakku. “Kenapa aku?” tanyaku.

Ia masih memandangku dengan tatapan mengerikan dan mendengus mendengar pertanyaanku.

“Sebaiknya kau tanyakan saja pada ayahmu yang kaya raya itu. Menurutmu apa yang sudah bajingan brengsek itu lakukan sehingga sekarang anak kesayangannya harus tersiksa seperti sekarang ini!” bentaknya. Ludah pria itu memercik ke wajahku. “Mereka, ayahmu yang sialan dan anak buahnya itu tak akan bisa menemukan kita! Kau akan menderita seumur hidupmu di sini, Jalang. Kau dengar itu?”

Ia menghantamkan kepalaku ke tembok. Rasa berdenyut-denyut di kepalaku menjadi-jadi karena perlakuan tak manusiawinya padaku.

“Sementara kau disini, aku akan bersenang-senang dengan ayah tersayangmu itu. Jangan khawatirkan dia, Cantik. Dia akan aman di tanganku.”

Ayah…

Dia tak boleh menyakiti ayahku. Jangan ayahku. Ia tak boleh menyakiti satu-satunya orang tua yang masih ku miliki.

“Jangan. Ku mohon, jangan sakiti ayahku,” pintaku mengiba.

Ia tertawa lagi seakan mengejekku.

“Kau akan menderita sepanjang hidupmu di sini. Aku akan menghabisi ayah tercintamu, Jalang, dan kau akan jadi pemuas nafsu di sini sampai kau mati. Ingat itu!” Ia menjambakku lebih keras sebelum menghempaskanku ke lantai lagi.

Kaki orang itu melangkah mulai meninggalkanku. Sebelum ia keluar, matanya tertuju pada noda di seprai. Pria itu tertawa lagi lebih keras.

“Kau boleh memainkannya sepuasmu, Zo. Paksa saja, pasti dia mau,” ucapnya pada pria yang sedari tadi berdiri diam di ambang pintu dan berlalu meninggalkan kamar.