webnovel

Chapter 6: Wound

Aku terbangun dengan rasa gatal di bagian kelopak mataku.

Meskipun awalnya terasa cukup silau, namun aku mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di sekitarku. Mataku terasa pegal sekali. Rasanya agak sulit untuk memaksanya terbuka seutuhnya. Aku mencoba sekali lagi sebelum akhirnya indera pengelihatanku dapat terbuka sepenuhnya.

Aku memeta sekeliling. Di sini terasa terlalu hangat, empuk, dan nyaman. Terasa seperti di kamarku. Terasa seperti di rumah.

Di rumah.

Di rumah.

Tidak.

Aku tidak sedang berada di rumah.

Menyadari situasi yang saat ini tengah ku hadapi, aku terlonjak bangun dan terduduk di ranjang ini. Selimut yang menutupiku turun melorot hingga sebatas perut, menampakkan bagian tubuhku yang terbuka dan tak tertutup pakaian apapun. Napasku tercekat saat memandangi leherku yang dipenuhi oleh ruam merah keunguan. Tak perlu waktu lama bagiku untuk menyadari tanda apa yang memenuhi leherku.

Kepalaku terasa begitu berat saat aku mencoba mengingat-ingat kembali kilas balik yang terjadi kemarin.

Kemarin aku sedang makan siang bersama Kimmy. Setelahnya, aku berjalan di trotoar dan tiba-tiba saja aku diringkus oleh tiga orang asing dan diseret masuk ke kamar ini. Kemudian aku diberi minuman yang langsung ku habiskan sampai tandas. Lalu orang itu masuk dan …

Sial.

Jangan bilang kalau orang itu sudah ...

Aku bergegas mengangkat tubuhku dan hal yang sangat ku takutkan memang telah terjadi.

Bercak darah merah segar tercetak di seprai yang mana baru saja ku tiduri. Aku membuka kedua kakiku dan rasa perih yang teramat sangat membuatku nyaris berteriak. Bagian bawah tubuhku terasa begitu kotor. Aroma anyir darah dan semen menyeruak menusuk penghiduku. Membuat perutku bergejolak menyadari tindakan apa yang telah dilakukan oleh penculik itu.

Bajingan itu baru saja memperkosaku.

Ini pasti hanya mimpi. Ini tak mungkin. Benar-benar tak mungkin.

Aku mencoba berdiri dan rasa perih luar biasa kembali menyerangku. Aku mengerang dan merintih pelan sembari memegangi pinggangku yang terasa nyeri. Aku belum pernah berhubungan badan sebelumnya. Tak pernah tahu jika rasanya akan sesakit ini. Tak pernah menyangka jika hal berharga itu bisa dengan mudahnya direnggut oleh orang yang tak ku kenal.

Aku menyerah untuk mencoba berjalan ke arah pintu dan memilih untuk mengambrukkan tubuhku ke atas ranjang. Seluruh tubuhku rasanya sakit, dan di atas itu semua, dadaku menjadi bagian tubuhku yang paling sakit. Sesak sekali rasanya. Air mata mengalir deras di pipiku.

Tega-teganya dia melakukan itu padaku? Kenapa harus aku yang jadi korbannya? Kenapa aku yang diculik? Apa mau mereka?

Ku edarkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan. Tak ada sehelai pun pakaianku. Aku bertanya-tanya dimana penculik itu membuang bajuku. Apa yang akan ku kenakan?

Aku menekuk kedua kakiku sehingga menutupi dada. Aku ingin membuat diriku menjadi kecil. Menjadi tak terlihat. Satu-satunya kehormatanku telah direnggut oleh orang yang tak ku kenal. Mimpi buruk ini terlalu jahat. Apa salahku?

Apakah tak ada orang yang mencariku? Dimana ayah? Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin mengadukannya semua hal biadab ini.

Jika ayah tahu hal ini, apa yang akan ia lakukan? Apakah ia tetap menganggapku sebagai anak? Atau ia akan mengusirku? Ini pasti akan berpengaruh pada nama besarnya sebagai Walikota.

Aku menggosok-gosok tubuhku. Merasa jijik pada tubuhku. Tubuhku kini tak berguna lagi. Tak ada yang dapat ku pertahankan lagi. Orang itu telah menghancurkanku dan menginjak harga diriku.

Pintu di depanku mendadak terbuka, mengejutkanku yang tengah menangis tersengguk. Sesosok pria dengan tubuh proporsional memasuki kamar ini. Pria itu tidak gemuk, namun tidak bisa dibilang kurus juga. Tubuh pria itu dihiasi dengan otot-otot yang sedikit terbentuk.

Ia mengenakan jaket kulit hitam dengan celana jins berwarna senada. Kakinya dibalut dengan Timbaland. Kulit pria itu agak kecoklatan yang ku asumsikan sebagai efek sinar matahari. Rambutnya yang berwarna brunette terlihat fluffy. Sepasang alis tebal membingkai wajahnya.

Di telinga pria itu terdapat dua buah pasang piercing berwarna silver. Hidungnya mancung dengan sebuah tahi lalat di pucuknya. Ia memiliki garis wajah yang simetris dengan jawline tajam dan rahang yang terlihat keras. Dia terlihat dingin, kecuali sepasang matanya yang memiliki iris berwarna senada dengan surainya. Iris itu membuat satu sisi dari dirinya menjadi terlihat agak hangat.

Sialnya sehangat apapun itu, aku tak peduli sama sekali. Yang ku tahu adalah aku merasa terancam dengan keberadaan orang itu di ruangan ini. Ditambah lagi dengan kondisi di mana tubuhku hanya terbalut selimut tipis berwarna putih yang menempel ketat padaku.

Pria itu melirik sekilas padaku. Sosok itu lalu berjalan menuju ke arah kamar mandi yang terletak di ujung kamar dan masuk ke dalamnya. Tak berapa lama, ia keluar dari sana dan berjalan dengan perlahan ke arahku. Aku merasakan aura di sekitarku berubah menjadi dua kali lipat lebih dingin dan menegangkan.

Aura dominasinya terasa begitu kuat saat hazel-nya memindaiku dari atas hingga bawah. Netra yang semula terlihat hangat itu rupanya hanya ilusi semata. Mata itu tak sedikit pun memancarkan keramahan. Membuatku sadar jika aku sedang dalam keadaan terancam. Tanganku meremas satu-satunya kain di badanku.

“Jangan mendekat,” bisikku. Aku semakin memepetkan tubuhku di kepala ranjang.

Orang itu sama sekali tak menghiraukanku. Ia tetap berjalan dan duduk di tepi ranjangku. Tubuhku bergetar saat ia berada begitu dekat denganku. Aku takut.

“Apa maumu?” tanyaku memberanikan diri. Aku mendengar suaraku sendiri bergetar. Aku harus kuat. Aku tak boleh terlihat lemah di hadapan orang ini.

Ia melihat di sekeliling ranjang. Matanya tertuju pada noda merah di seprai. Raut wajahnya tak menunjukkan reaksi apa-apa kecuali rahangnya yang terlihat semakin mengencang.

Tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkanku. Itu adalah suara dari ponsel pria itu. Ia mengangkat panggilannya.

“Bawa sekarang,” ucapnya singkat dan memutuskan sambungan telepon. Ia melihatku lagi dan meneliti wajahku yang bersimbah air mata. Selama sepersekian detik baru ku sadari bahwa pria di hadapanku ini adalah salah satu dari 3 pria yang menculikku kemarin. Ia penculikku.

“Kau mau apa?” tanyaku sekali lagi dengan suara bergetar.

Tak ada jawaban, pria itu malah mengulurkan tangannya ke arahku. Aku bergidik dan menjauhkan wajahku dari tangannya yang berada lima senti di dekat pipiku. Ia menarik tangannya kembali.

“Tenang,” ucapnya. Deep voice miliknya terdengar sangat husky. Bila dalam situasi yang tak mengancam seperti ini mungkin aku akan sangat menyukai suara itu. Suara yang seharusnya menimbulkan kedamaian bagi siapa pun yang mendengarnya.

Namun tidak kali ini. Tidak padaku. Suara itu semakin membuat bulu kudukku meremang.

“Kau mau apa?” tanyaku lagi setengah terisak.

Pintu menjeblak terbuka. Seorang wanita paruh baya yang mungkin berusia sekitar lima puluh tahunan melangkah masuk membawa nampan makanan dan sebungkus plastik putih. Penculik itu melirik nampan yang dibawa Si Wanita Paruh Baya dan mengedikkan kepalanya ke arah meja kecil di samping ranjang. Wanita itu meletakkannya di sana dan meninggalkan kami berdua di ruangan ini.

“Kau perlu mandi dan makan. Di plastik itu ada pakaian untukmu. Mandi dan pakai lah,” terangnya. Itu kalimat terpanjang yang ia katakan semenjak ia menginjakkan kaki di kamar ini. “Aku yakin kau pasti tak nyaman dengan keadaan tubuhmu saat ini,” tambahnya seraya melirik pada noda merah di seprai.

Aku menggigit bibir bawahku dan menahan air mata yang sedari tadi mengucur deras.“Kenapa aku di sini?” tanyaku menuntut.

Pria itu bangkit dari ranjangku dan berjalan ke arah meja. “Tak usah banyak tanya,” jawabnya.

“Kenapa kau menculikku?”

Ia tak menjawabku melainkan mengambil plastik dari meja dan melemparkannya ke atas ranjang.

“Siapa yang memperkosaku?” tanyaku nyaris tanpa suara.

Pria itu menjawabnya dengan enteng “Aku.”

Jadi orang ini yang telah melakukannya. Orang ini yang merenggut kesucianku. Bajingan dingin ini yang semalam memaksaku untuk memuaskan nafsunya.

Kemarahanku berkumpul, mendidih, dan membuncah seakan-akan meledak. Pria itu berdiri dengan kedua tangan disilang di dadanya. Ia menatap wajahku tanpa ekspresi seolah-olah kelakuan bejatnya semalam hanyalah omong kosong belaka. Dasar brengsek! Dia pikir apa yang sudah dilakukannya?

“Kurang ajar!” geramku.

Aku memegangi selimut yang membungkus tubuhku dan mencoba bangun mendekatinya. Mengabaikan rasa perih yang menyiksa, aku melayangkan tangan kananku ke wajah angkuhnya yang luar biasa menjengkelkan.

Plak.

Sebuah tamparan mendarat di pipi kanannya.

“Kau pikir apa yang sudah kau lakukan? Dasar brengsek! Tak berperasaan! Kenapa kau tega melakukannya? Kenapa?” amukku padanya. Bajingan itu masih diam tak menunjukkan ekspresi apapun.

“Kau jahat! Kejam! Apa salahku padamu, hah?” Aku meninju bahunya dengan tangan kananku sementara tangan kiriku memegangi selimut. Ia hanya diam saja namun kali ini ia memalingkan pandangannya dariku.

“Sialan! Kurang ajar!” Aku memukul-mukulnya.

“Stop,” ujarnya kemudian.

“Bajingan! Teganya kau—"

“Stop.”

“Kau pikir aku—"

“Stop!” bentaknya. Ia memegangi tangan kananku dan mencengkeramnya sebelum dengan perlahan melepaskannya. Matanya memandangku tajam.

Bukan bentakannya yang menghentikanku. Bukan pula cengkeraman tangannya. Yang membuatku berhenti adalah aura dominasinya yang menjadikan lututku bergetar hebat. Pria itu berjalan cepat ke arah pintu dan menguncinya dari luar, meninggalkanku sendiri di tempat dingin dan asing ini.

Untuk kesekian kalinya, aku kembali menyerah dengan tangisku.