webnovel

Something Wrong

"Apa dia mati?!" tanya Ele ketika Juliet baru saja berdiri. Ia terlihat begitu kalut. Khawatir menggerogotinya hingga ke alam bawah sadar.

Juliet menghela napas, dan menunduk. Memperhatikan wajah Arthur yang sepucat kapas. Darahnya membasahi hampir seluruh pakaiannya, hingga hanya merah yang terlihat.

"Dasar bodoh!" Juliet tanpa ampun menarik telinga Ele. Tak peduli jika gadis itu berteriak-teriak kesakitan. Ia justru menarik telinganya dengan lebih tinggi.

"Apa Kau pikir itu pertanyaan yang tepat? Tanyakan apakah ia bisa diselamatkan? Bukan kematiannya!" William ingin tertawa, melihat bagaimana Juliet memarahi Eleanor. Seperti seorang ibu dan anaknya yang nakal. Sangat menggemaskan!

"Iya! Apa dia masih bisa hidup?" tanya Ele setengah berteriak. Wajahnya yang putih memerah, sampai telinga.

Juliet lagi-lagi menghela napas. Lalu duduk di dekat Arthur yang tak lagi bergerak. Ia sudah menutup luka di dekat lehernya. Persis menembus satu ruas jari dari nadi. Geser sedikit, anak ini pasti mati.

"Untungnya dia selamat. Kalau tidak, Kau pasti akan dihantui rasa bersalah sampai tua," gumam Juliet.

Ele tak bisa berkata apa-apa, Juliet benar. Sebenci-bencinya ia pada manusia, jika berhutang akan sangat merepotkan. Apalagi berhutang nyawa! Ia tak akan bisa tenang sampai ia ikut mati.

"Jahat sekali alasan kalian," suara itu terdengar cukup lirih. Sampai Ele dan Juliet harus menoleh ke sana ke mari. Mereka yakin seseorang tengah bicara, dan itu bukan Will atau pun anak-anak.

"Aku melindunginya karena rasa kemanusiaan, bukan untuk membuat Ele merasa bersalah!" Dan kini semua mata tertuju pada Arthur. Lelaki yang seharusnya belum sadarkan diri itu, kini membuka matanya. Tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk meyakinkan jika ia sudah sadar.

"Arthur, Kau sudah bangun?" Juliet yang pertama kali bereaksi. Ia langsung menyentuh dadanya, memastikan jika detak jantungnya normal. Lalu hidung, juga memaksa membuka kedua matanya.

"Aku sudah bangun, aku baik-baik saja sekarang." Dan Arthur sungguh membuka matanya. Ia berkedip beberapa kali, dan mencoba untuk duduk. Pening menyerang kepalanya untuk sesaat, tapi ia mengabaikannya. Matanya yang sewarna jelaga, kini menatap pada manik biru milik Eleanor.

"Ele, apa Kau baik-baik saja? Aku lihat, dia berhasil menangkap kakimu?" tanyanya dengan mata sayu. Ele ingin berdecap, tapi kasihan juga. Lelaki ini sudah rela terluka, masih menanyakan keadaannya yang pasti baik-baik saja.

"Aku jauh lebih baik dari apa yang Kau lihat, dan omong-omong, terima kasih. Walau lebih baik untuk tidak melakukannya lagi!" ia bersedekap, memalingkan muka dengan angkuh. Arthur hanya tertawa kecil. Tak masalah baginya, Ele tetap terlihat manis walau sikapnya seperti iblis.

"Arthur, aku ikut prihatin," tiba-tiba William masuk dalam pembicaraan. Mengundang mata lain kembali mengambil fokus. Tangan Will berada di pundak Arthur yang tidak terluka, sedikit meremasnya.

"Kasihan sekali Kau, masih muda tapi bertakdir menyukai peri yang kejam dan tidak kenal belas kasihan. Semoga Kau panjang umur!"

Dan yang terjadi setelahnya adalah, lemparan batang kayu yang mengenai kepala William. Lelaki itu tertawa heboh, seperti baru saja terkena lemparan bulu! Dan Ele sebagai pelaku, merasa semakin kesal.

"Aku akan memanggangmu sekarang!" pekiknya dengan kedua tangan yang memunculkan api. William bergidik, tapi tak menunjukkan rasa penyesalan. Ia langsung berlari, melihat Ele yang sepertinya murka sungguhan. Tanpa peduli usia yang tak lagi kecil, mereka berkejaran dengan wajah luar biasa.

"Apa Ele memang seorang peri?" pertanyaan Arthur mengusik perhatian Juliet. Gadis itu menoleh, untuk menemukan sorot penuh kagum dari manusia yang baru saja melewati masa sekaratnya. Sepertinya Will benar, Arthur jatuh hati pada Eleanor. Padahal Ele sudah bersikap sejudes itu padanya.

"Kau pikir apa lagi?" hanya itu yang bisa Juliet katakan. Tapi lagi-lagi, perkataan Arthur membuatnya memutar kepala. Memberi perhatian.

"Pantas saja dia sangat bersinar," gumamannya benar-benar membuat jantung Juliet jatuh ke perut. Anak ini akan mengalami patah hati paling besar. Ele tak mau menaruh hati pada manusia. Ele tak bisa bersama manusia, bagaimana ia menjelaskan ini pada Arthur.

"Setelah sampai di desa, tujuan kalian selanjutnya ke mana?" Arthur mengganti topik bicara, seolah memahami pikiran Juliet yang bercabang.

"Kami akan terus melanjutkan perjalanan. Sampai Ele lelah, dan menemukan apa yang ia cari," jawab Juliet. Gadis itu tidak memberi petunjuk lagi, ia hanya diam dan tersenyum. Bahkan mengabaikan pertanyaan lanjutan dari Arthur.

Kecanggungan mereka akhirnya berhenti, saat Ele dan Will datang. Will sampai dengan pakaian yang terbakar sebagian, juga kulit lengan yang memerah. Rupanya, Ele tidak bohong jika dia ingin membakar Will hidup-hidup.

"Kakak, aku mau bilang sesuatu!" gadis yang baru saja sampai itu langsung duduk di sebelah Juliet. Membelakangi Arthur yang selalu terpesona dengan kehadirannya.

Juliet memberi perhatian sepenuhnya, memberi ruang pada Ele yang ingin bercerita. Kali ini sepertinya penting, Ele jarang sekali mengajak bicara jika ada orang asing.

"Naga yang menyerang wilayah ini, tidak bergerak sendiri. Seseorang tengah mengendalikannya," ucapnya serius. Menimbulkan kenyitan di dahi Juliet. Ia menelengkan kepala, mengamati ekspresi Ele dengan serius.

"Ingatan terakhir naga itu, menunjukkan seseorang tengah mengambil pusat pikirannya. Aku tidak bisa melihat apa yang ia lihat, sepertinya orang itu ada di balik punggungnya ketika beraksi!" ucap Ele serius. Matanya yang berwarna biru terlihat bercahaya, walau sekejap. Arthur yang melihatnya dari dekat, tak bisa untuk tidak semakin terpesona.

"Kenapa seseorang mengendalikan naga? Bukankah yang memiliki kemampuan itu hanya golongan elf sepertimu?" Juliet merasa kesulitan, mereka hanya menemukan hal hebat seperti itu pada golongan elf. Tapi jumlah elf sendiri sangat sedikit. Mereka sangat sulit untuk berkembang biak!

"Sepertinya, dia merencanakan sesuatu yang besar. Dan juga, bukankah naga itu jenis yang paling sulit dikendalikan? Mereka hewan yang memiliki kekuatan magis kan?" Arthur menyahut, menarik perhatian dari Ele.

"Jangan ikut campur, walau Kau sudah menolongku, aku masih tidak menyukaimu! Dan itu artinya, Kau tidak memiliki hak untuk masuk dalam pembicaraanku!"

Krak! Ada suara yang patah, dan itu bukan ranting. Wajah memelas Arthur membuat Will menahan tawa. Sangat menggelikan sekaligus menjijikkan.

Namun, sesuatu terjadi lagi. Hembuskan angin bertiup kencang dari arah hutan. Beberapa ekor burung kecil beterbangan meninggalkan sarang. Hewan-hewan lainnya juga mulai menggeram waspada.

Begitu juga kelompok Juliet. Mereka saling memandang satu sama lain. Dengan tangan berada pada gagang senjata masing-masing. Bahkan Will sudah bertransformasi menjadi werewolf sekarang.

Tak lama, geraman monster terdengar begitu nyaring. Derap kaki hewan menapak tanah hingga bergetar. Beberapa pohon di mulut hutan tumbang, seperti baru saja ditabrak hewan besar.

"Graah!"

"Sial! Apalagi ini?!"