webnovel

Jalur Depan

Ruangan itu benar-benar hening. Padahal, di dalamnya terisi beberapa orang yang tampak tidak tenang. Salah satunya bahkan mondar-mandir sambil menggigiti kukku jarinya.

"Ele, duduklah, Kau membuatku makin pusing!" Itu William, lelaki yang sedari tadi duduk. Tapi kakinya bahkan tidak bisa diam, ia tetap mengetuk lantai, hingga menciptakan irama yang konstan.

William tidak biasa menggunakan nada tinggi pada teman-teman perjalanannya, ia cenderung menggunakan nada santai dan jarang marah. Tapi kesabaran seseorang ada kalanya memiliki batas. Apalagi, saat dihadapkan dengan keadaan yang sedang sulit seperti ini.

"Dwarf itu bilang, siluman kaki panjang suka makan daging anak-anak bukan? Bagaimana jika mereka melakukan hal yang sama pada Lucy dan Lucky? Apa kita hanya akan diam dan duduk di sini seperti ini?" Eleanor si sumbu tipis, sangat sulit untuk mengontrol emosinya yang mudah meledak.

""Kita hanya berempat, dan kita ada dalam wilayah kekuasaan mereka. Apa yang bisa kita lakukan? Kita perlu persiapan untuk menyusup," gumam Arthur. Tapi, karena ikatan antara ia dan Ele, Ele bisa mendengar gumaman yang seharusnya tidak bisa didengar oleh orang alin.

Dengan kesal dan kaki mengentak, Ele mendatangi Arthur. Tanpa banyak bicara ia menjambak rambut sang lelaki, hingga Arthur berteriak ngilu dengan tangan yang berusaha menjauhkan tangan Ele dari rambutnya.

"Ele! Apa yang Kau lakukan?" teriak William. Ia ingin memisahkan mereka, tapi kakinya adalah tempat tidur milik Juliet. Ia akan mengganggu waktu pemulihan pasangannya jika beranjak.

Eleanor mendelik, menarik rambut Arthur lebih kuat. Tak peduli jika pasangannya tengah berteriak-teriak, ia bicara dengan murka.

"Dia putus asa dan berpikir jika kita akan kalah karena hanya berempat, otak manusia seperti ini harusnya diremas sampai hancur!" geram Ele. Ia bahkan tidak repot-repot mengendurkan cengkeramannya. Tidak peduli juga jika sampai kulit kepala Arthur mengelupas.

Arthur menghela napas, kelakuan mereka tidak lebih baik dari si kembar. Mereka rusuh dan suka membuat keributan. Apa karena tidak ada Lucy dan Lucky, jiwa barbar mereka jadi keluar ya?

"Apa kalian tidak bisa diam?!"

***

"Gila! Ini istananya?" tanya Arthur takjub. Matanya membola, melihat sebuah istana gelap dengan dekorasi yang sangat berbahaya. Lantai yang dilapisi pedang mengacung tinggi, seperti jebakan. Meski sebenarnya itu hannyalah dekorasi, mereka siluman berkaki panjang. Langkah mereka sama panjangnya kan?

"Kalau Kau berisik, aku akan mendorongmu ke depan tanpa aba-aba. Biar mereka memakanmu hidup-hidup!" galak William. Arthur menelan ludah, kehilangan anak-anak membuat mereka menjadi tidak seimbang. Untung ada Juliet, jadi Arthur masih selamat. Karena terlihat, kini penyihir cantik yang sudah pulih itu memegang pundak William. Sebagai isyarat agar mereka tidak semakin menarik perhatian.

Akhirnya, dalam hitungan ketiga, mereka melompat bersamaan. Menghunuskan pedang dan menantang entah berapa banyak siluman berkaki panjang. Menebas siapa pun yang menghalangi, menciptakan lautan darah berwarna hitam dari mereka yang tumbang dan menjadi korban.

Tidak menyisikan satu pun celah, mereka menerobos masuk dengan cepat dan akurat. Membelah makhluk-makhluk tinggi pemakan manusia. Dan Arthur, adalah salah satu sasaran yang paling menggiurkan bagi mereka.

"Sial! Kenapa mereka banyak sekali!" kesal William. Ia masih berusaha menahan serangan dengan pedang, dan membanting siapa pun yang mendekat. Tak peduli jika mereka berakhir dengan kepala yang pecah atau tulang yang patah.

"Dan yang lebih sial, mengapa mereka terus mendesakku? Kenapa aku satu-satunya yang mereka serang seolah aku ini sumber buruan?!" teriak Arthur lantang. Urat di wajahnya mengeras, giginya geram, dan napasnya memburu. Tak habis pikir dengan mereka yang mengeroyok dan mengepungnya di tengah ruangan seperti ini.

Brak! Duagh!

Arthur terpental ke sudut, yang mana langsung menubruk tubuh salah satu siluman. Tanpa pikir panjang, mereka memegangi tangan, kaki serta kepala Arthur. Terlihat dari jarak yang cukup dekat, salah satu siluman berlari mendekat. Membawa sebilah pedang tajam yang mengilat, siap untuk menyembelihnya.

Arthur meronta kuat, tapi tidak mampu. Kekuatan satu manusia, dibanding 4 siluman berkaki panjang. Ia akan segera berakhir, sebagai salah satu menu santap makan siang mereka.

Crash!

Gelinding, gelinding!

Arthur membuka matanya perlahan, lantaran wajahnya yang terasa basah. Membuka sedikit demi sedikit kelopak matanya, ia dikejutkan oleh satu siluman yang masih berdiri, tapi dengan kepala yang baru saja terpisah dari tubuhnya.

Menengok ke balik tubuhnya, ia menemukan William berdiri dengan wajah sangar. Penampilannya tak kalah buruk dengan Arthur, yang membedakan hanya, ia masih berdiri sendiri tanpa dipegangi atau dililit siluman seperti Arthur.

"Mencoba mencari menu makan siang huh?" sindir William. Ia meregangkan otot lehernya, hingga bunyi gemeletak terdengar. Dan dalam satu kedipan, William sudah berlari. Kali ini dengan pedang yang dihunuskan, menebas bagian tubuh yang digunakan untuk menyandera Arthur.

Arthur memejamkan mata, takut jika saja William salah perhitungan. Bisa saja ia menjadi salah satu korban. Misal, kehilangan bagian tertentu dari tubuhnya, ya asal bukan bagian pusat tubuhnya saja yang hilang. Bisa habis juga masa depan yang ia impikan bersama Eleanor.

"Bodoh, buka matamu! Atau mau kutebas juga?" peringat William. Dengan cepat Arthur membuka mata, mengecek satu persatu bagian tubuh yang mungkin menjadi sasaran pedang William. Ia ingat, William tidak begitu pandai menggunakan senjata tajam sebelumnya.

Dan ia menghela napas lega, ia tersenyum bodoh pada William. Hanya untuk mendapatkan putaran mata bosan. Entah mengapa, saat seperti ini, William bersikap seolah ia adalah Eleanor. Senang sekali memarahi Arthur.

Tak butuh waktu lama, mereka kembali terkepung. Mereka kalah jumlah, itu pasti. Hingga mereka bertiga di sudutkan. Digiring menuju pinggir istana, di mana mereka mungkin akan jatuh ke dara jurang, dan menjadi puing-puing tak berharga.

"Sekarang, kita harus apa?" bisik Arthur. Wajahnya basah oleh keringat, antara tak yakin akan menang, atau karena tak sengaja melihat bayangan jurang yang sewarna kegelapan.

"Sekarang? Tentu saja bertahan dan melawan balik!" jawab Juliet optimis. Bahkan, sudut bibirnya terangkat naik, tanda jika ia sedang senang.

"Kenapa Kau bisa seyakin itu?" Arthur tak habis pikir, ia tahu Juliet bukanlah orang yang mudah putus asa lalu menyerah. Tapi, bukankah benar jika mereka kemari dengan persiapan yang kurang matang? Mereka tidak punya rencana cadangan kan?

"Bukan tanpa alasan, kita tidak sendirian kan?" tepat saat itu juga, suara teriakan menggema. Muncul dari arah pintu masuk, lalu menyebar ke seluruh ruangan.

Mendengar keributan, siluman-siluman itu menoleh ke belakang. Dan menemukan, ratusan dwarf tengah memaksa masuk dengan mengendarai tupai terbang.

"Musnahkan mereka semua! Hancurkan sampai tidak ada yang tersisa!" teriakannya menggema, memanasi ruangan dingin yang sebelumnya terasa mencekam.

"Hya!!" jawab mereka bersamaan, mengangkat senjata ke udara, mereka mulai menyerang.

"Benarkan aku bilang? Kita tidak sendirian Arthur,"