webnovel

Deadly Village

"Kenapa cepat sekali kalian sampai?" Juliet yang langsung bertanya, saat kedua makhluk itu kembali dari sungai. Tidak aneh sebenarnya, Ele terlihat sangat segar meski raut wajahnya amat kesal. Tapi Arthur, lelaku itu kembali dengan wajah horor dan pakaian basah di tangannya.

William berdecap, memukul lengan Arthur begitu jarak mereka dekat. Arthur hanya menoleh dengan wajah memelas. Dan Will menatapnya dengan ekspresi datar, cenderung menghakimi.

"Kau mau menggoda Juliet ya? Kembali tanpa pakaian, menunjukkan Kau punya 8 kotak di perut?" tuduh William.

"Aku tidak ada niat pamer, tapi Will, aku hampir jadi santapan ular!" Sebenarnya, wajahnya patut ditertawakan. Kelihatan agak konyol dan menggelikan. Tapi Will sedang dalam mode siaga, ia akan menahan diri sekuat mungkin. Jadi, ia hanya mengangkat sebelah alisnya.

"Ada penunggu di sungai! Dan itu ular! Aku hampir menginjaknya, untungnya aku dibiarkan lolos!"

Will memiringkan kepala, bersedekap dengan angkuh. Mulutnya dengan kasar menuduh, dengan sengaja membakar amarah.

"Apa Kau bodoh? Sungai mana yang tidak ada penunggunya?" kencang sekali teriakannya. Hingga Ele serta Juliet bisa mendengar. Mereka berdua kompak menoleh.

Wajah Arthur yang bingung kini menjadi jawaban. Sepertinya lelaki itu memang tidak tahu. Maklum saja, dia tinggal dalam sebuah desa. Bukan hutan belantara, di mana setiap tempatnya selalu dihiasi oleh makhluk-makhluk aneh yang menghuni.

"Baiklah, jika Kau tidak tahu. Tapi, apa Ele tidak memberi tahumu sesuatu? Anak itu bisa mendengar suara desisan siluman apa pun, sama sepertiku," dan ini dia! Eleanor tidak memberitahunya apa pun. Dan ketika kini mereka saling berpandangan, Ele justru memicing kepadanya. Sepertinya, Ele sengaja membuatnya terjerumus dalam sebuah masalah.

Juliet bisa merasakannya. Ele masih tidak menyukai keberadaan Arthur di sekitar mereka. Ia sepertinya berusaha untuk mengeluarkan manusia itu dari sisi mereka. Tapi Juliet pikir, selain kebenciannya pada manusia, pasti ada hal lain. Ele tidak segila itu jika hanya ada satu alasan. Dan Juliet, harus mencari tahu apa yang terjadi.

****

Ini sudah hampir malam sejak mereka meninggalkan desa. Mereka pikir, ini masih satu daerah dengan tempat yang mereka tinggalkan beberapa waktu lalu. Semua terlihat sama, hanya puing-puing sisa peradaban yang ditinggalkan.

"Will, Lucy lelah. Apa kita tidak akan istirahat?" Lucky menarik kain lengan milik William. Lelaki kecil itu terlihat khawatir dengan keadaan saudari perempuannya. Gadis itu sepertinya kelelahan.

William terdiam, menatap sekitar. Udara yang seharusnya terasa segar kini mulai mendingin. Apalagi, selama perjalanan mereka hanya menggunakan kaki, tanpa bantuan kendaraan atau kuda.

"Ele, Juliet, anak-anak lelah! Ayo kita istirahat!" teriaknya cukup kencang. Arthur yang sedari tadi melangkah di dekat mereka, hanya diam dan mengikuti perintah. Ia hanya anggota tambahan di sini.

Akhirnya, mereka mendirikan tenda di sana. Dengan begitu cepat dan tertata rapi, kebiasaan hidup mengembara membuat mereka terlatih.

Setelah menyalakan api untuk mengusir makhluk buas, mereka istirahat. Sambil memperhatikan betapa pulas tidur dua anak kembar di dalam tenda. William kembali mengamati keadaan sekitar.

"Apa kalian tidak merasa aneh? Sedari tadi, rasanya kita hanya berputar-putar di sini," gumam William. Matanya berkilat sesaat, seperti menembus batas pandang para manusia.

"Aku pikir juga begitu. Aku bahkan menemukan bekas darah milik Arthur tadi," jawab Juliet. Penyihir cantik itu menunjuk tanah yang ia pijak dengan alas kakinya. Dan benar, bekas darah milik Arthur ada di sana.

Ele dan Arthur saling melirik satu sama lain, lalu mengangguk. Mereka berdiri bersamaan, dan keluar dari tenda.

Seketika, hawa dingin yang mencurigakan berembus. Menusuk kulit Arthur yang tidak tertutup sempurna. Bahkan Eleanor yang mengenakan jubah, harus menahan tekanan dari angin yang berhasil membuat pakaiannya melambai.

Mereka berjalan satu arah. Bersamaan menelisik keadaan sekitar. Bayangan bangunan yang hancur, bekas perkelahian, juga sungai yang sama yang membuat Arthur merinding sebelumnya.

Setelah yakin dengan apa yang mereka amati, mereka melangkah kembali ke tenda. Sangat santai, seolah tidak memiliki pemikiran apa pun juga. Selangkah demi selangkah, tenda semakin terlihat.

Tapi sesuatu terjadi. Eleanor berhenti, ia pikir mereka sudah begitu dekat dengan tenda. Tapi mengapa? 10 langkah terasa seperti 10 kilo? Ia tak juga sampai!

"Sepertinya kita terjebak," gumam Arthur dengan hela napas berat. Ele tak akan membantah, ia juga merasakan hal yang sama. Mereka terjebak dalam sebuah ilusi.

****

Hari sudah malam, William duduk di depan tenda dengan wujud serigalanya. Sebenarnya, pikirannya sangat gelisah. Ele dan Arthur yang melihat keadaan tak juga kembali.

Mengingat kembali, temperamen Ele yang buruk, apalagi jika itu berhubungan dengan manusia. Bisa saja Ele memanfaatkan keadaan dan membunuh Arthur. Ia akan merasa sangat menyesal!

"Mereka belum terlihat?" bisik Juliet. Mereka duduk saling memunggungi, dan hanya terhalang kain tenda. Memilih untuk mengurangi risiko, mereka tak akan banyak bergerak.

Tak ada jawaban, Will fokus pada pandangan di kejauhan yang tak bisa ia tembus. Ketika menghadapi keterbatasan indra begini, Will merasa sangat frustrasi. Hal yang paling bisa menolongnya justru berubah menjadi tak berguna.

Tapi kemudian, di kejauhan, bayang langkah seseorang terlihat. Will menegakkan badan, tapi tak bergerak mendekat. Dan mata serigalanya melebar, itu Ele! Dengan langkah terhuyung dan tidak stabil.

Arthur menggeram, memasang posisi siap tempur. Semakin dekat, semakin jelas jika yang datang itu memang Ele. Dengan wajah kotor penuh darah, juga luka di sekujur tubuhnya.

"Will, tolong aku!" suaranya terdengar lemah dan putus asa. Will semakin menggeram, bahkan mengirim pesan melalui pikiran, meminta Juliet untuk tetap di tempat.

"Kau pikir aku bodoh? Enyah dari sini, atau aku akan mencabikmu hingga tak berbentuk!"

Dan beberapa saat kemudian, angin berembus lebih kencang. Beberapa pohon yang hampir kering menerbangkan dedaunan berwarna coklat. Pandangan Ele menajam, dengan aura yang berubah 180 derajat.

"Hahahaha!" ia tertawa nyaring. Hingga telinga Will berdenging.

Dan hal gila pun terjadi. Tubuh Ele yang terlihat nyata itu perlahan rontok. Satu persatu jatuh ke tanah, seperti ranting yang jatuh dari pohonnya.

Yang paling mengerikan, ketika kepalanya mulai berderak. Mengangkat wajahnya lurus-lurus, matanya meloncat keluar dari rongga.

Jika Will bukan werewolf tangguh yang sering melihat hal-hal tabu, ia pasti sudah meloncat ketakutan. Tapi ia tetap di tempat, menatap sosok yang kini perlahan berubah menjadi tak berbentuk.

Asap tipis tiba-tiba datang. Mengumpul dan memeluk jelmaan makhluk aneh. Tak perlu waktu lama, ketika asap itu memadat, bayangan makhluk itu pun menghilang. Tanpa bekas atau pun sisa. Seolah ia tak pernah ada di sana sebelumnya.

Sudah William duga, desa ini pasti menyimpan sesuatu yang salah sejak lama!