webnovel

Blue Eyes

Ele ingin mencolok mata lelaki yang duduk di depan tendanya ini. Sedari tadi, matanya tak henti menatap ke mana pun Ele pergi. Semenjak Juliet memperkenalkan semua anggota kelompok pada manusia yang ditolongnya ini. Ya, itu Arthur. Yang ingin sekali Ele cungkil saking geramnya.

"Jangan memelototiku! Atau kucabut bola matamu!" ancam Ele dengan jari yang menunjuk Arthur. Yang ditunjuk hanya tersenyum, dengan sederet gigi putih yang bersinar. Sepertinya, ia tidak takut dengan ancaman Ele.

"Matamu cantik sekali," dan justru memujinya dengan tulus. Ele sudah ancang-ancang akan menerkam lelaki itu, jika saja Juliet tidak muncul dari tenda. Memegang pundaknya dan menggeleng. Hafal tabiat buruk Ele yang mudah sekali terbakar hal-hal remeh.

"Pelankan suaramu, anak-anak sudah tidur!" bisiknya. Ele ingin membantah, tapi urung, lantaran mendengar igauan kecil dari dalam tenda. Memilih untuk mengalah, Ele masuk ke dalam setelah melemparkan tatapan sengit pada Arthur.

Juliet tersenyum ramah pada Arthur, lalu duduk di sebelahnya. Memperhatikan kaki Arthur yang dibalut kain panjang. Setelah sebelumnya membalurkan beberapa tanaman herbal. Juliet sendiri, adalah seorang penyihir yang memiliki kemampuan penyembuhan. Jadi bukan masalah baginya untuk mempercepat proses penyembuhan Arthur.

"Jangan diambil hati ya? Ele memang agak kasar pada orang baru," ia bicara dengan nada yang lembut, sangat keibuan. Arthur di sebelahnya mengangguk, dengan senyuman kecil.

"Tidak apa, tapi Ele sangat cantik. Aku jadi tidak bisa untuk tidak memujinya!" tanpa sungkan ia bicara jujur. Ele terlihat begitu cantik di bawah sinar bulan. Meski kini, Arthur tak bisa melihatnya dengan jelas karena tudung yang gadis itu pakai.

"Kau akan terkejut besok pagi, saat bertemu dengannya. Saranku, jangan terlalu memaksakan diri, dia bisa saja menjadikanmu manusia panggang jika kesal!" menutup mulutnya yang tertawa, Juliet tidak menyadari sepasang mata tengah mengintainya. Berkilau di bawah sinar rembulan, berkilat merah dan dengusan di moncongnya.

"Will! Apa yang Kau lakukan di sana? Ayo kemari!" tapi salah, Juliet tahu siapa yang mengintainya di kegelapan. Itu William, salah satu anggota kelompok. Seorang werewolf, yang suka menyendiri saat purnama datang.

Arthur ikut menoleh, menemukan seekor serigala dengan tinggi lebih dari satu meter. Berwarna hitam, dengan sepasang mata merah, dan taring yang tajam. Cakarnya terlihat sangat runcing, dan bisa saja merobek lawan dalam sekali serang.

Serigala besar itu duduk di dekat kaki Juliet, mengusapkan kepalanya yang penuh bulu ke kaki Juliet. Manja sekali, dan Arthur pikir, mereka punya hubungan lebih dari sekedar rekan satu kelompok. Mereka terlihat, istimewa.

"Kalian, berkencan?" Arthur tak bisa menahannya, lidahnya sampai ia gigit karena melontarkan pertanyaan lancang. Mereka bisa saja tersinggung. Tapi apa boleh buat, sudah terlanjur.

Tapi Juliet menggeleng. Memancing reaksi terkejut dari Arthur.

"Kami tidak berkencan, apa kami terlihat seperti itu?" kikik gemas Juliet terdengar begitu jernih. William di bawah kakinya, mendengus, sedikit menggeram karena Juliet yang tiba-tiba menggerakkan kakinya. Posisi nyamannya terganggu.

Arthur ingin menyanggah, tapi angin kencang dari arah selatan. Menerbangkan dedaunan hingga ranting kering. Beberapa di antaranya, menampar wajah Arthur tanpa belas kasihan.

Saking kencangnya, Ele yang sudah memutuskan istirahat di dalam tenda sampai keluar. Ia menyingkap tenda, melangkahkan kaki dan berdiri di sisi Juliet. Mereka menyipitkan mata, menatap ke arah dari mana datangnya angin kencang tersebut.

Dan kemudian, mereka terperangah. Seekor naga besar melintas dari arah selatan. Terbang ke atas dan melewati mereka berempat.

Sangat besar, hingga tiap kepakkan sayapnya terasa bagai angin badai yang menerjang. Embusan napasnya terlihat dalam gelapnya malam. Seperti kobaran api yang siap membakar siapa saja yang menghalangi langkahnya.

Melewati mereka begitu saja, naga itu terus terbang ke arah utara. Meninggalkan embusan angin yang masih begitu kencang. Juga sangat menakutkan di malam yang dingin.

"Oh, naga. Apa sarangnya di sekitar sini?" celetuk Arthur. Ketiga pasang mata yang lain menoleh, dengan kenyitan di dahi. Sedang Arthur, hanya mengerjap dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Jika naga terbang rendah seperti itu, biasanya mereka akan kembali ke sarang. Di desaku, beberapa orang memelihara naga kecil. Jadi, sedikit banyak aku tahu tabiat mereka," jelas Arthur.

Ele hanya mendengus, tanpa memberi komentar ia kembali ke tenda. Meninggalkan Juliet yang berdecap dengan kelakuannya yang agak kurang ajar. Sepertinya, ia harus bicara dengan gadis itu.

"Memang, di mana Kau tinggal? Apa dekat dengan daerah ini?" Tiba-tiba saja William sudah berubah menjadi manusia. Dengan tubuh tinggi besar yang hanya mengenakan celana, tanpa atasan.

"Aku tinggal di desa Airy, cukup jauh dari sini," jawabnya dengan tangan yang menunjuk sisi utara hutan.

"Kau berasal dari sana? Kebetulan kami juga akan ke sana!" Juliet berucap antusias. Sepertinya, pertemuan mereka dengan Arthur merupakan takdir. Mereka tak perlu lagi tersesat, dan bertanya pada orang asing. Sudah ada penduduk aslinya di sini.

"Tapi cukup jauh dari sini, kita harus melewati beberapa desa dan hutan. Dan mereka kurang ramah sebenarnya," Arthur meringis di akhir, cukup menyayangkan sifat penduduk sekitar.

Setelahnya, tak banyak yang mereka bicarakan. Hanya beberapa hal yang sudah seharusnya mereka tahu. Juga, mengapa mereka bisa berkumpul seperti ini sebagai kelompok.

****

Keesokan paginya, Arthur benar-benar terkena serangan jantung. Baru membuka mata, ia sudah disuguhkan dengan pemandangan paling indah yang pernah ia lihat. Yaitu Ele dengan dres hijau pendek, meninggalkan jubahnya yang ia gantung di dekat perapian.

Dan yang paling membuat Arthur tak bisa berkedip adalah, rambut pirang dan mata birunya. Terlihat begitu bersinar, dan sangat memikat. Ia sampai tak sadar, jika kini Ele sudah mendelik padanya.

"Apa lihat-lihat?!" tanyanya ketus. Arthur baru mengerjap, saat mendengarnya. Ternyata, ia melamun dan terpesona terlalu lama.

"Maaf, aku benar-benar kaget ada Kau di sana!" Ia tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang manis. Andai dia bukan manusia, Ele pasti sudah terpesona. Ya, meski sekarang terpesona juga sih, sedikit.

"Dasar mesum!" makinya sambil berbalik, meraih mantel hitamnya. Meninggalkan Arthur yang berkedip bingung di atas alas tidur. Matanya masih terus mengikuti ke mana Ele melangkah, sampai Ele semakin jengkel dibuatnya.

Gadis itu menoleh, rambutnya yang indah diterpa angin. Membuat figur wajahnya semakin menawan. Seperti seorang peri dari negeri dongeng.

Tapi kemudian, sebuah tembakan api terlempar ke arah Arthur. Membuat lelaki itu terkejut. Bergerak menghindar, hingga hampir terjungkal.

Api itu meleset, dan jatuh ke dalam sungai. Arthur berkedip pelan, menoleh kembali ke arah Ele yang semakin geram. Kelihatannya, gadis itu sangat tidak menyukainya.

"Ele! Jangan lakukan itu lagi! Lucy dan Lucky melihatnya!" pekik Juliet. Ia berlari mendekat, meninggalkan dua anak kecil yang masih berjalan bersama William di belakang. Raut wajahnya tampak panik.

"Arthur, Kau baik?" ia langsung menanyai Arthur saat sampai di dekatnya. Memperhatikan dari ujung ke ujung. Apakah ada luka bakar atau apa yang tersemat pada lelaki itu.

"Aku tidak memanggangnya untuk jadi sarapan! Salahnya tidak bisa menahan mata! Untung tidak aku colok!" kini Ele yang memekik. Gadis itu tampak memerah dengan amarah.

William sampai, menyenggol bahu Juliet dan mengendikan dagu ke arah Ele. Suruhan tak langsung untuk mendekatinya. Juliet mengangguk, melangkah mendekati Ele dan menepuk bahunya.

William duduk di depan Arthur, menatapnya dengan tajam. Lelaki itu terpaksa memutuskan perhatian, William menghalangi pandangannya.

"Jangan melihat Ele dengan cara seperti itu, atau kami tidak akan bisa menolongmu lagi. Terlambat sedikit, Kau mungkin akan berubah menjadi manusia panggang," desisnya dengan bibir terkatup.

"Aku tidak bermaksud menatapnya dengan cara seperti itu. Aku hanya terkejut, matanya indah sekali! Dan aku pikir, aku sudah terperangkap!" Arthur mengatakan yang sebenarnya. Mata biru milik Ele benar-benar menghanyutkan. Bagaimana ia tidak terperangkap?