webnovel

The Suicide Precautions

Lumiora terlahir sebagai salah satu dari bangsa Meisjes. Dengan tubuh dan kemampuan yang berbeda dengan lainnya. Hidupnya terancam di tangan keluarganya sendiri. Hingga dia mengikat kontrak dengan sesuatu yang terkutuk. Dia harus menghentikan segala tindak bunuh diri yang terjadi pada Manusia di Bumi. Ingatannya sempat menghilang, tapi hatinya tidak pernah tenang. Dia semakin menderita. Sampai sang pemilik kontrak datang untuk menemuinya kembali.

Nettaniia_SK · Fantasy
Not enough ratings
3 Chs

1- Miss Me?

Seratus satu tahun terlewati, dia jenuh dan mulai merasakan kehampaan. Satu tahun terakhir ini dia hidup sebagai manusia yang menjalani hari-harinya yang normal selayaknya anak remaja. Bertahun-tahun harus mengulang tingkat SMA-nya, memperkenalkan diri berkali-kali seolah dia orang baru di kota itu, di negara itu. tiap tiga tahunnya, dia selalu membuat dirinya dilupakan oleh semua orang. Dan hidup kembali layaknya bayi baru lahir.

Umurnya terus berjalan, tapi tubuhnya abadi. Dia tetaplah seorang gadis berusia sekitar lima belas sampai tujuh belas tahun. Dengan wajah pucat, rambut platinum blonde dengan sejumput rambut berwarna merah pekat di bagian sisi kanan dan kiri dekat telinganya yang selalu dia kepang.

Kakinya melangkah gontai menuju sekolah yang sudah tiga kali dia masuki. Entah sudah berapa kali dia pindah-pindah sekolah karena bosan. Di negara kecil ini cukup banyak sekolah SMA sebenarnya, mulai dari yang kecil sampai besar, dari yang agak kumuh sampai mewah. Semua sudah dia coba.

Angin musim gugur membuat beberapa helai rambutnya berdansa, begitupun rok lipit cokelatnya. Seragam cokelat muda panjang dengan tali yang berwarna senada dengan roknya itu diikat pita, tepat di bawah lambang sekolahnya yang berbentuk daun Gingko. Di bagian kerah belakangnya ada bahan lebih seperti pakaian sailor. Sedangkan di bagian pergelangan tangannya ada hiasan daun Gingko kecil yang mengitari pergelangannya.

Tema seragam sekolah ini adalah Gingko cokelat. Benar-benar mansi, ini salah satu sekolah yang sangat gadis itu sukai. Sesuai dengan nama kotanya, Perfektur Gingko di pinggir kota yang selalu sibuk di Tokyo.

Semua murid berlari melewati pagar sekolah yang hendak ditutup oleh satpam. Sedangkan gadis pucat itu masih saja berjalan santai. Dia ingin merasakan sensasi takut terlambat seperti awal-awal kehidupannya dulu. Dan setelah pagar berhasil dikunci, dia pun mulai mempercepat langkah sampai berlari, lalu ... dia melompat tinggi dengan bantuan tangan kirinya memegang bagian atas pagar. Kakinya melayang 120 derajat di udara. Sang satpam yang melihatnya terkejut sampai gadis itu menginjakkan kaki lagi di atas tanah. Pagar tinggi itu berhasil dia lewati dengan mudah.

"Lumiora!" bentak sang satpam.

Gadis yang dibentak itu melangkah menghampiri sang satpam yang hendak mengomelinya. Lumiora langsung menyibakkan tangannya tepat di depan wajah sang satpam. Seketika satpam muda itu terdiam. Dan membuat Lumiora tersenyum puas, lalu meninggalkan satpamnya ke dalam gedung sekolah.

Beberapa saat kemudian sang satpam tersadar dan bingung dengan apa yang dia lakukan di sana. Setelah celingukan ke sana kemari, dia pun masuk ke dalam pos satpam untuk menjaga sekolah seperti biasanya.

Di sisi lain, entah di mana. Seseorang memperhatikan gadis itu sejak awal kelahirannya, kini dia tersenyum sembari berkata, "Akhirnya, sebentar lagi kita akan bertemu, Lumiora Galexia."

Angin berembus kencang dari belakang tubuh gadis itu, sontak dia menoleh ke belakang, tapi nihil. Tak mungkin ada angin kencang di dalam ruang kelasnya. Apalagi dia duduk di pojok jendela paling belakang. Di belakang sana hanya ada lemari buku dengan vas bunga di atasnya. Dia juga menatap seisi kelas yang aman dan damai.

Lumiora mengembuskan napas dan menopang kepalanya dengan tangan. "Apa akan terjadi sesuatu? Aku bahkan sudah lupa dengan tugasku di dunia ini."

Tatapannya kosong ke arah lapangan di luar jendela. Setiap hari dia selalu melihat ke arah pohon Sakura di sana, terlebih saat dia masih ada di rumahnya yang dulu, pohon Sakura besar berdiri di belakang halaman rumahnya yang bergaya tradisional. Dia melupakan sesuatu, tapi hatinya tahu apa yang dia tunggu. Tepat di bawah pohon Sakura hal itu terjadi. Berpuluh tahun dia menjalani kewajiban atas perjanjian yang dia lakukan semasa kecil, tapi seiring berjalannya waktu, dia mulai jenuh dan membuang semua ingatannya.

Namun, jauh di lubuk hatinya, dia merasa ada yang hilang. Dia ingin mengembalikan ingatan itu, meski tidak tahu caranya. Selama satu tahun ke belakang ini yang dia lakukan hanyalah menyembunyikan jati diri. Tapi, lupa dengan tujuan hidupnya.

Sore ini, setelah dia pulang sekolah, kakinya kembali ke halaman belakang rumah lamanya yang sudah tak berpenghuni. Rumah besar bergaya tradisional ini tidak pernah dia jual atau dihancurkan. Dia ingin selamanya rumah ini ada meski sudah bobrok dan ditumbuhi tanaman liar. Pohon besar itu masih ada di sana. Berkali-kali kakinya melangkah kemari hanya untuk menatap pohon itu.

Sayang, tidak ada ingatan yang masuk perihal tujuannya hidup di dunia ini. Hingga matahari terbenam, dia baru pulang kembali ke apartemennya di arah lain. Tempat ini sendiri sudah menjadi bukit dan hutan kecil. Bahkan dibangun sebuah kuil karena ada rumahnya yang ditinggali ini. Kata para biksu, ada sesuatu yang masih hidup di tanah ini. Maka dari itu, Lumiora terus kembali berharap menemukan sesuatu.

Di perjalanan pulangnya menuju apartemen di pinggir kota, dia melewati hulu sungai yang biasanya diapkai bermain oleh anak-anak. Sungai yang aliran airnya tenang dan cetek. Langit semakin gelap, lampu jalan pun mulai menyala menerangi setiap langkahnya. Ditambah cahaya bulan yang begitu terang.

Refleks Lumiora mendongak ke atas. Matanya melotot mendapati malam ini adalah malam bulan purnama. Tubuhnya seketika merinding. Tak ada orang lain di sini selain dia. Langkahnya berhenti, angin kencang menerpanya hingga dia mengangkat tangan untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang lebih seperti badai itu.

Tiba-tiba tubuhnya sudah dalam pelukan seorang laki-laki berjubah hitam. Lumiora membelalak menatap laki-laki berambut emas kemerahan, tapi dengan mata tertutup kain hitam. Namun, seringai di bibirnya membuatnya ketakutan.

"Merindukanku?" tanyanya dengan suara berat nan indah di telinga gadis itu.

Seketika tubuhnya bergetar dan dengan cekatan dia melepaskan diri dari genggaman sang pria aneh di depannya itu.

"Siapa kamu?!" teriak Lumi dari jarak yang cukup jauh.

"Ah ... menyakitkan, padahal aku merindukanmu, tapi kamu melupakanku." Pria itu terkikik. "Ini tidak baik, Lumiora."

"Bagaimana kamu tahu namaku?! Siapa kamu?!" bentak gadis itu lagi.

Salah tau lengannya perlahan merogoh kantung roknya untuk meraih benda kecil yang biasa digunakan untuk memotong kuku. Di dalamnya ada sebuah alat untuk menghaluskan kuku dengan ujung tajam seperti kail. Dia membukanya untuk bersiap melakukan serangan.

Laki-laki itu mulai bergerak cepat seperti melayang ke arahnya. Sontak Lumiora melompat tinggi sampai ke atas pagar jembatan di atas sungai di belakangnya. Pria itu menatap Lumi dari bawah dengan seringainya lagi.

"Jangan berdiri di tempat tinggi, Sayang! Aku bisa melihat celana dalammu!" kekehnya.

Refleks Lumiora turun ke jalan aspal di balik pagar jembatan itu dan mulai menggores tangannya sendiri. Darah mengucur dan membentuk sebuah pedang di tangan lainnya.

"Tunggu! Bagaimana dia bisa melihatku kalau matanya saja tertutup?!" geramnya merasa dipermainkan.

Pria itu melayang dengan cepat, dan tahu-tahu sudah berjongkok di atas pagar menghadap wajah Lumiora yang terbelalak. Sontak gadis itu mengayunkan pedangnya sembari mundur ke belakang. Sayang, pria itu lebih dulu menghindar dengan melompat dan beridiri di sebelahnya. Lumiora pun refleks berbalik arah dan menyerang pria itu dengan cekatan. Pedangnya diayunkan ke setiap sudut tubuh sang pria berjubah itu. Namun, pria itu dengan mudah menghindar dengan gerakan cepat tanpa senjata.

"Bagaimana bisa dia menangkis semuanya? Matanya tertutup begitu kok!" pekik Lumiora kewalahan.

Akhirnya dia mengubah pedangnya dengan cepat menjadi butiran darah yang mendidih. Lantas lengannya dilayangkan pada sang pria hingga darahnya menghujam tubuh itu. Sontak pria itu menyibak jubahnya sebagai pertahanan diri.

Namun, tetap saja dia tidak bisa lari dari darah yang menghujam tubuhnya itu.

"Kena!" pekik Lumiora dengan napas terengah-engah.