webnovel

The Smell of Hell

CERBERUZ Siapa yang tidak kenal ID ini di dunia maya, para peselancar dunia maya pasti akan merasa familier dengan namanya. Dia adalah hacker handal yang tidak pernah terendus keberadaannya bahkan oleh interpol sekalipun. Tidak ada yang tahu pasti siapa dia, bahkan banyak hacker berpengalaman yang sudah malang melintang menjelajah lautan dark web mencoba melacaknya, tapi selalu saja berakhir tanpa hasil. Sangat licin, sangat rapi. Di lain sisi, seorang pemuda bernama Alexander Vernon. Seorang professional gamer yang namanya sudah dikenal di kancah Gaming internasional, sering memenangkan kejuaraan game daring mengalahkan peserta dari seluruh dunia. Hari-harinya hanya ia habiskan di dalam kamarnya yang remang, dengan 2 unit komputer dan mata yang terpaku menatap monitor tanpa bergeser sedikit pun. Baginya rumah adalah tempat teraman, sedangkan dunia luar adalah neraka yang membuatnya harus selalu mengenakan masker khusus buatan mendiang ibunya, bukan karena sakit parah atau mysophobia, melainkan karena ia dapat mencium bau kebohongan atau emosi dari orang lain, matanya dapat menangkap warna dari kebohongan itu, warna dari emosi orang-orang yang di temuinya di jalan bahkan dimanapun. Tidak ada orang yang tidak pernah berbohong sepanjang hidupnya, bahkan bau kebohongan sekecil apapun akan terasa menyengat baginya seperti bangkai tikus di loteng rumah. Mengganggu! baginya ini adalah bau dari neraka, bau yang selalu mengepungnya sepanjang hidup. The smell of Hell! Melva Jane O'Connor, seorang detektif muda berprestasi yang membawahi departemen kekerasan dan kejahatan khusus di Vellas City Police Departemen (VCPD) sedang menghadapi suatu kasus misterius yang membuatnya harus berurusan dengan Alexander Vernon, pemuda dengan kemampuan aneh dan tidak masuk akal. Bagaimanakan takdir mereka berjalan? ikuti terus kisahnyaa.... note: cerita ini hanyalah khayalan semata, semua tokoh dan setting cerita ini adalah fiktif dan imajiner.

MORAN94 · Sci-fi
Not enough ratings
9 Chs

Dua

Lex kini sudah berada di dalam ruangan ber-aroma kopi milik Mel, menuruti titah wanita itu untuk menggiringnya ke kantor polisi karena jika ia berkilah atau melemparkan alasan maka Mel akan bertambah curiga dan itu adalah mahfum sebab wanita itu adalah kepala detektif Unit-8 yang terkenal sensitif intuisinya serta ketelitiannya dalam mengurai kasus.

"Alexander Vernon benar itu nama anda?" Tanya Mel pada Lex yang duduk menghadap dirinya dengan menyandarkan tubuh pada sandaran kursi dan menatap lekat pada Mel.

"Benar" Jawab Lex dengan anggukan kepala santai.

Dia tidak boleh terlihat gugup, berbahaya.

"Tinggal di Orchid St. gedung B apartemen 409 distrik welheim, Vellas City, benar?" Ujar Mel kemudian.

"Ya, benar" Jawab laki-laki itu menunjukkan persetujuannya.

"Berarti benar anda tinggal di daerah sekitar tempat ditemukannya mayat korban?" Selidik Mel dengan wajah tanpa ekspresi yang membuat Lex sulit untuk mengetahui apa kisi-kisi dari pertanyaan Mel setelah ini.

"Ya, seperti yang tertulis di sana. Aku sudah tinggal disana 20 tahun lebih kira-kira, apa anda mencurigai ku sebagai pelakunya?" Tukas Lex tak sabar untuk menebak-nebak.

"hmmh...saya tidak akan berbelit, anda memang mencurigakan dengan masker yang tak ingin anda lepas meskipun polisi sudah memintanya, dan mohon maaf karena saya harus mengulanginya, tolong buka masker anda agar saya bisa mengidentifikasi bahwa ini memang ID Card anda." Mel mengatakan dengan tegas dan hati-hati.

"Hahahah... Aku bukan pelakunya, aku bahkan tak tahu siapa yang mati disana itu, aku keluar karena ingin pergi ke wellmart untuk belanja kebutuhanku" Paparnya dengan sengaja terlihat santai.

"Tetap saja tuan Vernon, tolong buka masker anda terlebih dahulu" Mel tetap dengan pendiriannya, ini adalah hal yang harus dilakukannya agar tidak kecolongan, segala kemungkinan harus ditelusuri, itulah naluri alami seorang detektif.

"Ekhem.. khem.. Aku tidak bisa melakukannya" Lex di sisi lain tidak akan mau melakukan apa yang dikatakan Mel karena kalau sampai ia membuka maskernya bisa dipastikan ia akan muntah seketika. Kantor polisi ini sudah terlihat pekat sedari awal Lex memasukinya dan tebakan Lex adalah warna itu berasal dari para polisi korup di dalam sini.

Mel mengerjap tidak percaya dengan ucapan laki-laki di hadapannya, ia tetap menolak meskipun sudah terpojok memancing rasa penasaran Mel yang sedari tadi mulai menanjak sedikit demi sedikit dan kini siap mambuncah.

"Apa sebenarnya alasan anda tidak bisa melakukannya tuan Vernon?" Tanya Mel tak sabar, serasa dia ingin membuka paksa masker itu sekarang juga. Ia ingin tau apakah yang di sembunyikan pria ini dibalik masker hitam itu, apa dia cacat? apa dia jelek? apa dia punya luka bakar disana? entahlah.

"Haaah... Oke aku akan memberi tahumu kebenarannya, bahwa aku punya penyakit serius yang jika ku lepas masker ini, anda akan tertular nona polisi."

Wanita ini benar-benar keras kepala membuat Lex kesulitan mengelak lagi dan akhirnya mengutarakan kebohongan aneh itu kemudian hasilnya adalah kerutan di dahi Mel yang semakin bertambah sebab keraguannya yang bertambah pula. Penyakit macam apa itu, kalau memang hanya dengan melihatnya saja bisa tertular seharusnya orang ini sudah ada di dalam ruang isolasi rumah sakit agar tidak membahayakan orang lain dan menyebabkan wabah. Jelas sekali.

"Aku punya penyakit langka" Tambah Lex mulai kehilangan kreatifitas mengarang indahnya, tatapan tajam wanita di hadapannya ini membuyarkan otaknya untuk bekerja, seolah membeku seketika. Lex panik!

"Anda benar-benar tidak akan mengatakan kebenarannya? Saya bisa saja menjebloskan anda ke penjara sekarang juga sebab menghalangi penyelidikan". Air wajah yang tegas sengaja di pancarkan oleh Mel saat mengatakannya.

Lex bergidik ngeri membayangkan dirinya ada di penjara, bukan karena ia akan bertemu dengan para penjahat yang melakukan berbagai macam kejahatan, tapi karena ia sudah bisa membayangkan bagaimana dirinya akan kesulitan mengendalikan diri karena bau dan warna pekat yang menyelimuti penjara. Itu Gila! dia tak akan bisa melakukannya.

Sial!

"Oke.. Oke... Aku akan mengatakan kebenaran yang sebenarnya padamu maam". Tukasnya memutuskan untuk menyerah.

"Baiklah" Ujar Mel sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi karena sedari tadi, ia tanpa sadar mencondongkan tubuhnya sebagai bentuk ancaman yang intens pada Lex.

"Aku.... Eem..... Akuu..... Haaah.... Bagaimana cara mengatakannya..... Aku bisa mencium bau kebohongan dan emosi seseorang, juga bisa melihat warnanya" Ucap Lex agak kesulitan sebab seumur hidup dia belum pernah mengatakan hal ini pada orang lain kecuali ibunya.

Mel mengangkat sebelah alisnya, merasa di permainkan. Tadi ia bilang punya penyakit langka yang aneh, dan sekarang dia bahkan mengatakan hal yang lebih aneh lagi, mencium bau kebohongan? melihat warna emosi seseorang? Hah! Yang benar saja! Apa orang ini waras?

"Hahaha....Anda benar-benar ingin seperti ini?" Mel tertawa hambar, mulai merasa geram dengan pria muda di hadapannya ini.

Lex melihat semburat kemerahan di antara kobaran putih dipunggung mel, warna emosinya berubah, dan tandanya wanita itu sedang marah. Ini tidak baik, Lex tidak ingin di penjara.

"Apa anda marah?" Tanya Lex polos.

"Menurut anda?" Balas mel ketus.

"Yaaah... Begitulah, tapiii...aku benar-benar mengatakan yang sebenarnya nona polisi. Aku tau anda tidak akan percaya begitu saja hanya saja memang itulah kebenarannya, aku tidak mengarangnya." Papar Lex frustasi, dia tidak tau lagi apa yang harus di katakannya untuk meyakinkan wanita ini.

"Baiklah.. Buktikan ucapanmu!" Ketus Mel.

"Bagaimana caranya?"

"Bagaimana aku tau? Anda yang mengatakan hal tidak masuk akal itu". Balas Mel kesal.

Tok tok tok

Pintu ruangan Mel di ketuk oleh seseorang dan berhasil mengalihkan perhatian mereka kepada benda persegi panjang berbahan kaca hitam tersebut.

"Ya masuklah" Sahut Mel dari dalam ruangannya.

Kriiieet....

Seorang wanita muda yang merupakan asissten forensik dan bertugas mencatat laporan dari unit pengidentifikasi bukti tersebut membuka pintu kaca ruangan seraya menyerahkan sebuah berkas pada Mel dan memberikan laporan singkat mengenai 3 sosok mayat yang sudah di temukan dalam kurun waktu 3 minggu ini.

Mel membolak-balik berkas itu untuk kemudian mengernyit sebab mendapati sebuah data kurang valid yang kemarin sudah dilaporkan oleh Dany, salah satu anggotanya, dan seingat Mel ia sudah mengatakan untuk jangan dulu mencantumkan hal itu mengingat validitas yang kurang pasti.

"Kenapa hal ini ada disini? Seingatku aku sudah mengatakan untuk tidak mencatatnya sebagai bukti karena tidak valid" Ujar Mel sambil menunjukkan hal mana yang ia maksud di dalam berkas itu pada perempuan muda di sampingnya.

Rachel, nama perempuan itu terlihat agak terkesiap saat membaca hal yang ditunjuk oleh Mel kemudian buru-buru memberikan penjelasan bahwa ia melakukan kecerobohan karena kurang fokus dalam mengerjakannya lalu meminta maaf pada atasannya itu.

"Maaf Kapten, saya sudah ceroboh. Ibu saya sakit dan membuat saya tidak fokus, akan saya perbaiki lagi." Ujarnya dengan wajah menyesal.

"Lakukan segera, aku membutuhkan itu secepatnya" Ucap Mel.

"Baik kapten O'Connor, saya permisi" Rachel menjawab dengan anggukan pasti dan segera keluar dari ruangan itu.

"Dia bohong" Lex bicara sambil melihat ke arah pintu masuk ruangan setelah Rachel keluar dari sana.

"Apa?" Mel tidak mengerti maksud laki-laki itu.

"Perempuan tadi, dia bohong" Ujar Lex memperjelas seraya mengalihkan matanya dari pintu kepada Mel yang menatapnya bingung.

"Kurasa dia tidak fokus bukan karena ibunya sakit, tapi karena dia sedang patah hati sebab putus dari kekasihnya, biasanya aku melihat warna itu pada orang yang sedang patah hati karena putus cinta" Papar Lex yang berbuah tatapan intens Mel padanya.

"Menarik... Kau bisa bicara seperti itu tentang anggota kepolisian saat sedang terancam masuk penjara" Senyum sinis tergambar di wajah Mel.

"Hei.. Hei... Hei... Aku mengatakan itu karna kau minta bukti.." sergah Lex

"Oke.. Lalu apa yang terjadi kalau kau membuka maskermu?" Tanya Mel tak lagi menggunakan panggilan sopan pada Lex.

"Aku bisa saja muntah disini sebab bau emosi buruk manusia contohnya kebohongan, dan biasanya bau kebohonganlah yang paling menjijikkan, kau takkan bisa membayangkannya". Balas Lex menyamai pilihan gaya bicara Mel.

"Bagaimana aku bisa percaya cerita konyolmu itu?" Kesal Mel sambil mengurut pelipisnya seraya memejamkan mata, ini melelahkan. Kasus ini belum menemukan titik terang dan sekarang dia harus mendengarkan ocehan tak masuk akal dari orang aneh ini.

"Aku tidak berbohong" Lex mencoba meyakinkan, tapi sepertinya tidak berhasil karena sejurus kemudian Mel berdiri lalu berjalan ke ambang pintu dan membukanya.

"Pulanglah, aku sudah cukup pusing dan aku tidak mau jadi gila karenamu, kartu identitasmu akan aku sita untuk berjaga-jaga jadi jangan coba-coba untuk kabur".

"Baiklah, kalau bisa jangan mencariku lagi, aku benci berurusan dengan polisi." Ucap Lex lalu berdiri dan berjalan mendekati Mel di ambang pintu ruangannya.

"Tergantung bukti yang kami dapatkan nanti" Tantang Mel sambil mendongak melihat lekat ke wajah Lex yang lebih tinggi darinya.

"Kau takkan mendapatkan bukti apapun soal aku yang terlibat dengan pembunuhan itu, karena aku bukan pelakunya, juga jangan beri tahu siapapun soal apa yang ku katakan padamu hari ini."

Akan bebahaya baginya jika banyak orang tau tentang kemampuannya, Lex tidak mau meninggalkan Vellas untuk kabur karena kenangan bersama ibunya di sini sangatlah berarti.

"Kita lihat saja nanti" Ujar Mel percaya diri.

Lex tak menanggapi dan memilih keluar meninggalkan ruangan berbau kopi itu dengan mata Mel yang masih mengekor dan menatap punggung Lex yang berjalan membelakanginya.

Mel memutuskan kembali masuk ke ruangannya setelah laki-laki itu tak lagi nampak di batas pengelihatannya.

"Hhuuuufffhh..."

Mel membanting tubuhnya ke kursi kerjanya di balik meja yang berantakan, mayat ke-3 sudah ditemukan dan juga punya tanda yang mirip dengan 2 korban sebelumnya. Ini sudah pasti pembunuhan berantai.

Pelakunya sangat percaya diri dan teliti, tak ada sedikit pun jejaknya di sana, pada mayat korban atau pada TKP yang telah disisir berulang kali.

3 korban dalm 3 minggu terakhir, ini jelas pelakunya sangat produktif. Tapi apa motifnya belum tampak sama sekali seperti berusaha melihat kerikil pada malam pekat tanpa cahaya.

Mel mengusap wajahnya kasar, ia belum pulang kerumah 3 hari ini, berkutat dengan kasus membuatnya harus makan, tidur, dan mandi di kantor. Untung saja ada bebrapa pasang bajunya tergantung di dalam wardrobe di sudut ruangannya, tempat yang biasa dipakai untuk menyimpan mantel atau jaket.

Seperti teringat akan sesuatu, Mel lalu buru-buru meninggalkan ruangannya dengan membawa kartu identitas Lex dan berjalan cepat ke ruang tim Cyber.