webnovel

The Red Ant

Tubuh dan jiwanya, satu-satunya harta miliknya yang tersisa, kembali direnggut dalam sebuah malam yang menyakitkan. Maka untuk sekali saja, Hela Shin ingin mempertahankan berkat yang baru didapatkannya. Harta terakhir miliknya.

Orca_City · Teen
Not enough ratings
2 Chs

Chapter 1

Sebuah kehidupan di mana dirinya ingin bertahan hanya untuk nafas baru yang sedang bergantung pada dirinya. Sebuah posisi di mana dia akan menggigit kapan saja meskipun dia tidak menginginkannya. Sebuah cerita di mana dirinya menjadi sebatang duri, dan kebencian bukanlah satu-satunya hal yang menyakitkan.

Namun dia harus tetap berdiri di sana, dengan atau tanpa diinginkan keberadaannya.

Hingga untuk satu kali saja dia merasa lega, karena takdir memberinya kesempatan untuk tetap diam tak peduli pria itu menyukainya atau tidak. Dalam dunianya yang tidak beraturan, seseorang justru tunduk di bawah kakinya.

Seseorang yang seharusnya menjadi pemegang kendali.

***

Dia tiba di depan sebuah pintu kayu coklat kusam yang sebenarnya sudah lapuk. Malam itu hujan baru saja berhenti dan campuran udara malam yang menerpa benda tersebut membuat indra penciumannya sesak. Bau apak dari kayu busuk yang bisa runtuh kapan saja membuat Hela Shin menutup hidung dengan sebelah tangannya. Gadis bermata madu itu mengibas udara di depan hidung, merogohkan sebelah tangan ke dalam saku celana jeans-nya dan mengeluakan sebatang kunci berkarat untuk membuka kenop yang sewaktu-waktu lepas sebab sekali tendangan.

Dengan perlahan, Hela menutup kembali benda kayu itu, memastikannya kembali terkunci dan berbalik untuk menyusuri bagian dalam tempat tersebut.

Sebuah rumah tua dengan kamar sewa kecil yang mampu didapatkannya. Tidak ada lampu atau bahkan lilin pendek yang menerangi, hawa dingin selalu datang bahkan dalam musim panas sekalipun. Setiap lantai kayu yang dipijaknya menghasilkan bunyi memilukan, membuat gadis kecil itu melangkahkan kakinya sepelan mungkin menghindari suara.

Hela melangkah lebih dalam, hingga akhirnya maniknya mendapati sebuah pintu yang sedikit terbuka di sisi kiri lantai dasar rumah itu. Ruangan yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di lantai utama itu akan selalu menjadi ruangan favoritnya. Ketika ia berdiri di daun pintu dengan sebelah bahu yang menyender dan kedua telapak tangan menumpu berat tubuh, mata hazel hangat itu disapa oleh pemandangan yang menenangkan hati.

Sebuah ranjang dengan seprai dan matras berlapis-lapis didominasi warna broken white tengah menenggelamkan sosok wanita paruh baya yang tubuhnya menutupi seluruh bagian matras tersebut. Kepala sedikit bersandar pada bahu ranjang dengan sebuah buku tebal di perut dan kacamata bulat tanpa gagang yang masih bertengger di sana meskipun kelopaknya menutup. Napas naik turun kadang tidak beraturan tak lupa bunyi ringkih yang melukai hatinya.

Sosok tua itu, sisa-sisa tenaga Hela untuk tetap bertahan.

Ia melangkah masuk lebih dalam, menghela napas kecil hingga akhirnya berdiri di sisi ranjang tersebut. Tangan terulur menarik dan menutup buku tebal tersebut perlahan. Diambilnya kacamata guna disatukan di atas nakas bersama buku tersebut. Dia baru akan menarik selimut yang ada di bagian bawah kaki wanita itu ketika sesuatu menyetuh pergelangan tangannya.

Sangat lembut, sangat rapuh.

"Kau baru pulang?" suaranya terdengar serak.

Hela menoleh, menatap wanita itu sekilas sebelum mengangguk. Dia melanjutkan kegiatannya untuk menarik selimut itu hingga menutupi dada.

"Aku membeli kue kesukaanmu tadi sore. Ambil dari kulkas dan habiskan, mengerti?"

Si gadis melebarkan sedikit mata, namun wanita itu segera membalik tubuh besarnya ke arah lain dengan susah payah hingga ranjangnya sedikit bergoyang.

"Tidak ada penolakan, selamat malam baby."

Helaan napas lepas dari belahan bibirnya. Hela mengecup pelipis wanita itu dengan lembut sambil mengusap lengan gemuknya sebelum berlalu keluar dari sana.

"Selamat malam."

***

Kaki telah membawa tubuh kecil itu ke depan pintu lain di lantai dua. Hela berada di depan sebuah benda kayu warna biru yang sudah pudar, satu-satunya pintu yang memiliki warna di rumah ini. Lorong itu membutakan sehingga ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam dan menekan saklar di tembok kiri dengan cepat sebelum kembali menutup pintu.

Kamarnya, ruangan kecilnya. Tempat yang menemani Hela selama dirinya masih hidup, atau bertahan hidup. Wilayah kecil yang menjadi rumahnya itu hanya menampung sebuah tempat tidur single di pojok kanan belakang dengan satu bantal dan selembar tipis selimut, sebuah lemari pakaian kecil di pojok kiri ruangan, meja lipat di sebelah lemari pakaian, satu buah kipas angin tua yang bersembunyi di bawah ranjang, beberapa buku dan karpet yang baru dipakai dua kali.

Ada lahan kosong tepat di depan pintu masuk hingga tembok sebelah kanan yang berniat untuk diisi dengan sebuah televisi kecil bersama lemari.

Mungkin lain kali, pikirnya. Tepat setelah Hela tidak lagi perlu bekerja untuk mengisi perut.

Ia melepas tas selempang berwarna hijau tua berbahan jeans yang sudah beberapa kali ditambal untuk digantung pada punggung pintu. Bahu direnggangkan sembari melepas kemeja belel kotak-kotak merah dan hanya sisakan kaus putih polos sebelum akhirnya terbaring di atas lantai. Masih berbalut jeans biru tua dan sepatu kelabu usang, mata madu itu menatap langit-langit sambil merebahkahkan punggung.

Dahulu dia tidak seperti ini. Tidak, bahkan tak mungkin pikiran tentang menjalani hidup sebagai orang dengan taraf hidup rendah seperti ini berani masuk dalam bayangannya.

Lahir dengan kemewahan membalut tubuh sejak bayi, dia bahagia. Dalam kenangannya, bayi keluarga Shin yang terlahir bak putri salju itu seharusnya berada dalam mansion dan menikmati makan malam besar seperti hari-hari sebelumnya.

Bagai kedipan mata, semua itu lenyap ketika perjalanan selepas liburan mereka diakhiri dengan kecelakaan di sebuah daerah sepi. Saat itu, di musim salju yang sangat indah, darah orang tuanya mengalir mewarnai tumpukan es lembut tanpa seorangpun mendengarkan ratapannya. Anak perempuan berusia 6 tahun itu menangis keras dengan sebuah luka mengaga di kepala, menepuk-nepuk wajah pucat sang ibu yang dengan kuat merengkuhnya hingga saat terakhir.

Dia tidak melihat apapun selain cairan merah yang mengotori jalanan, tidak mendengar apapun selain bunyi angin malam yang berhembus. Dan tangisan itu mengawali semua kisah sedih seseorang yang dianggap akan sangat bahagia dalam hidupnya.

Kejadian itu mengambil semuanya, segala yang dia miliki hingga tidak bersisa. Pengacara yang bodoh, paman dan bibi yang juga meninggal, harta yang hilang tanpa bisa dirinya mengerti.

Hela memejamkan mata. Semua memori itu selalu datang setiap malam seolah ingatkan betapa bengis takdir bekerja untuk hidupnya.

Namun napas tidak kunjung berhenti dan sialnya dia masih cukup waras untuk sengaja menghentikan detak jantung. Jadi Hela Shin akan terus bangun, memutuskan untuk menantang jalan cerita hidupnya sendiri dengan cangkang kosong dalam diam.

Membangkang dalam diam, meratap dalam diam, menghina hidupnya dalam diam.

Dan ketika dunia alam bawah sadar mulai membelainya, Hela kembali melihat sosok dirinya yang berusia enam tahun bersama jasad orang tua di tengah salju tanpa suara. Tidak ada tangisan, tidak ada jeritan, hanya duduk dalam balutan mantel sewarna salju yang bernoda darah.

Diam, dan itulah yang akan dilakukannya sampai mati.

***

Mentari pagi telah bersinar terang, namun suara ketukan di pintu lah yang membangunkan. Hela tersadar dengan selembar selimut yang menutup asal tubuhnya di atas lantai. Mata hazel itu terbuka perlahan, berusaha mendapatkan lagi fokus sambil berusaha bangun ketika dahinya mengernyit merasakan nyeri di punggungnya.

Hela mengomel dalam hati menyadari dirinya masih dibalut pakaian semalam bersama sepatu tuanya dan mendongak untuk melihat jam tengah menunjukkan waktu pukul 9 pagi.

Ketukan kembali terdengar hingga akhirnya dia beranjak dengan susah payah ke arah pintu itu. Kenop diputar, sebelah tangan mengusap wajah malas sambil menguap.

"Godness, Bee. Kupikir kau mati!"

Suara itu melengking masuk ke dalam indra pendengaran si gadis yang terkantuk-kantuk itu. Hela memajukan wajah dengan tubuh bersandar malas pintu sebelum akhirnya mendengus kecil.

Seorang wanita dengan surai pirang yang dicepol asal bersama beanie hot pink di kepalanya melipat kedua lengan, hotpants biru muda yang ketat hingga potongan pakaian rendahnya semakin turun selalu melekat di tubuhnya setiap pagi. Wajah tanpa make up itu mengerut kesal pada si gadis meskipun Hela nampak tak terganggu sama sekali.

"Apa-apaan dengan wajah itu? Kau tidak suka melihatku?" wanita itu kembali bersuara.

Hela arahkan telunjuk pada bagian dada wanita itu dengan wajah malas, membuat si lawan bicara ikut menatap ke arah yang sama. Gadis itu, Hanna Kang, melebarkan senyum sambil mengangkat dagu lebih tinggi tak lupa tertawa senang.

"Kenapa? Kau suka dengan dadaku?"

Dia menggigit bibir tebal miliknya perlahan namun Hela hanya menatapnya datar. Hanna berakhir memutar mata kesal.

"Oke, lupakan saja. Keluarlah, Berry membuatkan kita sarapan."

Si mata hazel menggeleng sambil memainkan kenop di pintunya.

"Kenapa?" wanita itu memajukan langkahnya, menatap wajah pria itu lebih dekat. "Tidak suka buatan Berry?"

Hela mendesah, menggeleng lagi dan menunduk. Sosok tua pemilik rumah itu, wanita yang bernama Berry selalu memasak meskipun gerakan seperti itu justru membuat kesehatannya terancam. Dia seharusnya beristirahat, tidur sepanjang hari dan tidak melakukan aktifitas apapun.

"Bee.."

Sebuah sentuhan di kepala si gadis berhasil membuat Hela mendongak kepala karena tinggi mereka yang berbeda.

Hanna berada sangat dekat dengan dirinya dan membuat aroma vanilla menguar dari sana. Dia memiliki wajah yang sangat cantik dengan rahang tegas dan hidung mancung. Alisnya sempurna tanpa pensil hitam yang pernah gadis itu tunjukkan padanya, bibir tebalnya merah tanpa pewarna. Dia begitu cantik, wanita itu sangat baik padanya.

Jari-jari Hanna memainkan surai hitam pekat Hela, sesekali menyisirnya lembut.

"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Tapi bukankah akan lebih baik jika kita memakannya dan membuat Berry senang? Setidaknya tenaga wanita tua itu tidak terbuang sia-sia."

Hela berkedip, menatap Hanna dengan wajah polos. Wanita itu berakhie terkekeh hingga lengkungan indah di bibirnya terbentuk, sangat hangat.

"Kau tidak mengerti ya?"

Si mata hazel menggeleng.

"Hmmm.." wajahnya terangkat sedikit. "Baiklah biar kupermudah. Kita turun, makan, dan tersenyum. Untuk Berry. Kau mengerti?"

Hanna berhenti bicara, menunggu respon dari si mata hazel dalam diam sebelum akhirnya menarik jari-jarinya dari kumpulan surai hitam itu.

"Aku tunggu di bawah. Cepat ya?"

"K-kak H-Hanna."

Langkah wanita itu terhenti di mulut tangga ketika si mata hazel bersuara. Hanna berbalik, menatap Hela sebelum akhirnya tersenyum dengan sangat lebar.

"Oh, Bee. Kau menyebut namaku dengan sangat manis!" dia menjerit tertahan. "Ya Tuhan aku sangat senang pagi ini.." Cepolan rambutnya bergoyang-goyang. "Cepat turun, okay?"

Hela mengangguk kecil, membiarkan Hanna menghilang sebelum dirinya masuk ke kamar.

***

"Berry, kau harus tahu kalau dia memanggilku dengan sebutan 'kakak' seperti bayi anjing! Kau harusnya ada di sana, yaampun!!"

Hanna mengoleskan selai strawberry ke roti lapisnya sambil melipat kedua kaki asal di atas kursi.

"Kau yakin, Haneul? Dia bicara?"

Wanita paruh baya itu meletakkan gelas tehnya. Wajah yang dipenuhi keriput dengan kacamata tanpa gagang tersebut tidak menyembunyikan raut cerah atas apa yang baru saja didengar.

"Sudah dua bulan untuk yang terakhir kalinya. Bagaimana bisa?"

"Berapa kali harus kukatakan? Namaku Hanna, bukan Haneul!!" Gadis itu melempar rotinya kesal ke atas piring.

"Dan juga nona muda, namaku Baemi bukan Berry. Kupikir sebaiknya kau mendaftar di yayasan pelayanan publik Korea dan kembali hapalkan lagu kebangsaan." Dia menatap gadis itu dengan wajah datar. "Jadi, bagaimana bisa dia melakukannya?"

Hanna menatapnya sekilas sebelum kembali menyambar rotinya. "Aku memintanya untuk turun agar kita sarapan bersama. Kemudian dia menggeleng karena kukatakan kau telah memasak, yeah, kau tahu dia sedih setiap kali kau melakukan aktifitas berat--Oh, dia datang!"

Kedua perempuan itu menatap ke arah gadis mungil dengan surai raven yang tersisir rapih. Hela mengenakan kemeja abu-abu tua berlengan panjang dan rok bahan hitam selutut, lengkap dengan mantel serta sepatu pantopel. Dia melaju lebih dekat untuk kursi kayu di sebelah Hanna, diraignya piring dan menyendokkan nasi goreng untuk disantap.

"Selamat pagi, Hela. Kau akan pergi ke sana hari ini?" Baemi bersuara, dibalas oleh anggukan oleh gadis belia itu.

"Makanlah yang banyak, dan jangan pulang larut lagi."

Dia kembali mengangguk.

Hela menyelesaikan sarapan dengan cepat tanpa gangguan dari dua perempuan lainnya. Diselesaikan sajian itu lalu bangkit dari kursi, membersihkan piring, segera dan berjalan menuju dua perempuan di sana untuk membungkukkan tubuh. Segala yang tertinggal di ruang makan justru membisu kala Hela beranjak pergi dari rumah.

Ketika ada suara pintu tertutup, Baemi mendesah kecil dan memainkan cangkir teh.

"Aku hanya ingin melakukan sesuatu untuk kalian berdua. Apa menurutmu itu salah?"

Hanna menatap wanita itu serius, "Yang aku tahu, dia hanya sangat menyayangimu dan yang dia inginkan hanyalah melihatmu sehat. Tapi bukan berarti Hela berpikir kau tidak mampu untuk melakukan hal-hal seperti itu. Hanya saja, akan lebih baik jika waktu mu digunakan untuk beristirahat."

"Lalu, apakah aku adalah beban untuk kalian?"

"Woah...pertanyaan macam apa itu? kau merasa dirimu sudah tua?" Hanna menatap heran. "Kau sudah seperti ibu untuk kami, dan sebaiknya aku pergi untuk segera mandi daripada momen ini berubah menjadi lebih cengeng."

Gadis itu melenggang keluar dari dapur.

"Yeah, ibu yang kau panggil Berry seenaknya." Wanita itu terkekeh.

"Nama Baemi itu terlalu membosankan!!"

***

Kaki melangkah tenang di tengah-tengah kursi yang telah ditempati oleh orang-orang. Hela sedikit membungkuk dengan mantel di perpotongan lengan, berjalan maju untuk duduk di sebuah kursi panjang yang ada di sisi kirinya.

Berada 8 kursi dari pintu masuk; bagian pojok, tempat favoritnya. Gadis itu meletakkan mantelnya di sebuah ruang yang sedikit disediakan, mendesah kecil dan bersandar penuh di kursi. Manik madu itu lurus ke depan, berkedip lembut amati benda silver besar yang selalu diisukainya.

Sebuah salib yang didirikan tegak di altar, dengan dua podium besar dan sebuah meja panjang di sana tampak gagah dari posisinya sekarang. Ada dua pot besar yang menampung bunga-bunga segar di tiap sisi podium, sebuah standmic di tengah altar yang bernuansa coklat tua itu.

Matanya mengamati setiap hal di sana dengan perasaan tenang. Segalanya masih ditata persis sejak kedatangan Hela pada akhir minggu lalu. Suasana ruangan yang senyap dengan cahaya merembes masuk menembus kaca berwarna-warni yang menghasilkan bayang serupa dengan yang terukir di permukaan. Beberapa orang terdengar saling berbicara, namun Hela masih bisa menjemput ketenangan. Dirasakannya hati yang menjadi lebih baik meski hanya sekedar duduk di sebuah sudut bangku gereja.

Suara bel yang bertumbukan dengan besi terdengar tiga kali, seketika membungkam semua bunyi dalam gedung itu. Hela kembali pada dirinya, mengambil sebuah buku yang terletak di hadapan dan mengusap sampulnya lembut. Manik tertuju bagi ukiran emas di permukaan kulit itu dan mulai membuka halaman demi halaman.

Sesekali Hela ikut berdiri mengikuti instruksi Pendeta, namun tak sedikitpun bibirnya terbuka untuk ikut melantun lirik seperti yang dilakukan orang-orang. Telinga mendengar melodi dari piano yang menggema mengisi ruangan, tapi si mata hazel hanya diam dan mengikuti tata acara ibadah minggu pagi itu.

Dia menginginkan satu bagian dari acara ibadah itu, sebuah bagian yang hanya bisa dilakukannya di tempat ini.

Jadi ketika semua orang memejamkan kelopak mata dengan kepala tertunduk dan jari-jari terjalin, Hela lantas mendapatkannya.

Dia hanya ingin berbicara pada seseorang yang mereka katakan sebagai Maha Pencipta, The Creator of Life.

"Hai.." dia bicara dalam hati. "Aku datang lagi hari ini, seperti minggu lalu. Aku juga mengenakan setelan yang sama seperti yang kupakai minggu lalu, selembar kemeja tua dan rok bahan lusuh serta satu-satunya sepatu kulit yang kupunya. Aku juga membawa mantel hitamku lagi. Ini konyol, tapi apa Kau benar-benar bisa melihatku?"

Diperdalam jalinan tangan itu erat-erat, lagi ditumpahkannya kalimat meski hanya sejauh benak.

"Maaf jika pakaian ku terlihat membosankan. Aku akan menabung untuk membeli selembar kemeja lagi." ia tunduk lebih rendah. "Aku tahu Kau juga sibuk mendengarkan doa orang-orang lain yang tentunya lebih baik dariku, jadi aku akan langsung saja."

Hela mengerutkan dahi.

"Bagaimana kabar ayah dan ibuku? Apa mereka sedang bersama dengan-Mu di sana sekarang? Apa mereka makan dengan baik? Dan juga, apa mereka masih ingat denganku? Aku tahu ini terlalu merepotkan. Tapi, tolong katakan pada mereka kalau aku merindukan semuanya. Aku merindukan mereka yang mengomel karena aku memecahkan vas bunga, tentang mereka yang menjemputku ke sekolah, tentang mereka yang," napas si mata hazel memburu. "..yang mengecup dahiku sebelum tidur. Aku merindukan mereka, selalu, selama 12 tahun terakhir. Hanya itu. Bisakah?"

Sesuatu terasa memenuhi kelopak mata, mendesak untuk tumpah dari sana. Hela menggigit bibir bawah dengan sangat kuat, mencegah apapun untuk turun dari sana. Bahu bergetar dengan dada sesak sehingga jalinan tangan si gadis terus mengerat.

"Aku tidak tahu kenapa Kau mengambil mereka dariku. Aku tidak mengerti apa yang Kau inginkan untuk terjadi dalam hidpku. Aku tidak akan menyalahkan-Mu, aku terlalu rendah untuk melakukannya. Aku juga bukan orang suci. Jadi kumohon, tolong jaga mereka,"

["Mommy loves you, Daddy loves you, but God loves you the most."]

Suara itu melintas cepat di kepala. Wajah ibunya yang tengah tersenyum dalam setiap sisa napas, membelai wajah basah sosok Hela yang menahan kuat ratapan. Hela kecil mengusap hidung yang basah, memeluk sebelah tangan sang ibu.

["Hiduplah dengan bahagia, little bee.."]

Hela menggeleng, menahan lonjakan kesedihan yang berkumpul di tenggorokan.

"..karena aku mulai merasa tidak sanggup untuk terus bertahan.." ucapnya tertahan.

Ketika dia membuka matanya, gereja itu telah benar-benar kosong.

***

Suara degub musik yang terasa memukul dada berdentam-dentam memenuhi ruangan luas itu. Lampu disko berputar-putar cepat menjadi satu-satunya sinar yang menerpa kulit mereka di lantai dansa, bergoyang dengan tingkat kendali paling rendah dari otak sebagai pusat kendali. Peluh membasahi tubuh yang saling bergesekan diikuti tangan terangkat lepas ke udara, kaki menghentak cepat berlawanan lantai dalam balutan pakaian minim.

Tidak ada batasan, tidak ada akal sehat. Mereka yang menari di lantai dansa artinya bersedia disentuh secara sengaja ataupun tidak, bersedia menerima rangsangan di bawah kontrol alkohol dan bertukar udara yang bercampur peluh serta asap nikotin.

Musik menggila yang menaikkan adrenalin, hilangkan tekanan dari kepala mereka.

Hanya ada dua kemungkinan yang terjadi jika masuk dan menjadi salah satu dari orang di dalam sana; berhasil keluar tanpa bercinta, atau tidak.

Menerima sentuhan memabukkan, atau tidak.

Mendapatkan seks yang menyakitkan namun nikmat, atau tidak.

Pintu terbuka, sepasang kaki panjang berbalutkan ripped blue jeans datang dari audi hitam yang terparkir di pusat basement. Telapak dibalut sepasang sepatu kulit hitam kilat yang menggesek aspal keras saat melenggang keluar dari sana.

Rambutnya berwarna abu-abu tanpa wax juga menutupi sedikit dahi. Mata ditutup kacamata gelap frame kotak dengan hidung mancung yang menyanggahnya. Tubuh itu menegak, bahu lebar ditutupi kemeja biru tua dalam mantel abu-abu lantas merenggang dan segera berjalan jauh dari mobil.

"Menurutmu, apa membawanya ke tempat ini adalah ide yang baik?" si rahang tajam berbisik. Mata menyipit kecil sambil menyoroti bahu pria yang tengah berjalan lurus di depan.

"Ini lebih baik daripada membuat masalah dengan polisi karena jasad-jasad baru besok," Vernon, pria berdarah campuran dengan manik cokelat membalas ucapan pria itu.

Pria lain bernama Sehun yang tidak melepas tatapannya dari sosok itu pun mengangguk, tetap bergerak dipandu pemimpin mereka.

Si mantel abu, dengan pasukan bersetelan hitam bagaikan sayapnya kini menuju ke pintu utama dalam keheningan malam yang justru adalah mentari bagi dunia kelam dalam tiap sudut. Mereka berhadapan dengan tiga orang penjaga di depan pintu diskotik, disambut bungkukan hormat hanya bagi sosok menjulang pada barisan terdepan.

Sang pemimpin itu tidak bergerak, menyoroti ketiga penjaga pintu yang mulai membuka pintu untuk kedatangan mereka.

"Owner?"

Suara bass mengalir rendah, menyusur masuk ke dalam indra ketiga penjaga tersebut. Salah satu di antara mereka mengangguk tegas.

"Di ruangannya, tuan. Aku akan mengabarkan kedatangan kalian."

.

.

.

To Be Continued