webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantasy
Not enough ratings
16 Chs

The Tarzan Girl

Gadis blasteran berambut ikal panjang itu berpacu dengan seekor macan tutul dewasa di sepanjang sungai Segoro Anak.

Suara tawanya yang riang dan ceria, tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun.

Dengan terengah-engah, dia pun berhenti. Kakinya telanjang dan bajunya mirip gadis indian.

"Argon, aku capek!" seru gadis itu. Macan tutul yang berukuran hampir dua kali lipat darinya berhenti dan memutar kembali. Ajaib, hewan buas itu dengan jinak berbaring di sebelahnya.

Gadis itu bernama Beata Rusli. Gadis berusia tujuh belas tahun, putri tunggal dari kepala pengelola Taman Nasional Alas Purwo, Hartono Rusli.

Hartono Rusli menikah dengan seorang ahli biologi dari Australia, Jane Trevor Rusli. Minat yang sama membuat keduanya jatuh cinta dan memutuskan untuk mendedikasikan hidup menjaga Alas Purwo.

Hartono sendiri sudah bertugas sebagai kepala pengelola selama 17 tahun. Didampingi Jane, istrinya, mereka menjaga kelestarian Alas Purwo, termasuk satwa yang dulu sering diburu liar.

Masyarakat sering bertanya dalam hati, bagaimana mereka bisa bertahan di Alas Purwo yang terkenal sebagai tempat terangker di pulau Jawa.

Kisah ini tentang seorang pemuda yang menjadi penyelamat gadis dan keluarganya, dari menuntaskan tugas sebagai pelindung Alas Purwo.

Aku menggaruk kepalaku dengan kesal.

"Kapan wisuda?" tanya Andin, mahasiswi yang seangkatan denganku.

"Dua minggu lagi, tapi barengan sama nikahan kakak gue," keluhku. Siomay di piring tak kusentuh, pikiran ini terlalu kusut.

Andin tersenyum simpul.

"Derita Loe, deh," ejeknya sambil berlalu. Baru saja aku beranjak dari kantin, suara cempreng Lido berteriak dari ujung.

"Biiii, Bian!" pipinya yang gembul bergoyang saat berlari.

"Kenapa? Berisik banget!" sahutku sambil terus berjalan keluar kantin.

"Kata Bu Nora, lamaran Loe di perhutani diterima, gue termasuk. Daftarnya di dinding kampus A," Lido terus berlari sambil mengejarku. Aku berputar menghadapnya.

"Serius?" tanyaku menyakinkan.

"Sumpeh dah, serius. Eh busyet capek banget gue," Lido menata napasnya dengan susah payah. Aku meninju perutnya pelan.

"Ntar kalo dah bertugas di Perhutani, olahraga Loe tiap hari ama gue," candaku.

"Iya, iya. Udah buruan, ditunggu kita buat tanda tangan kontrak," ajaknya tidak sabar.

"Berangkat!"

Kami menuju Kampus A dengan semangat.

Kututup telepon dengan berat hati. Ibuku terus menerus menuntutku untuk mengambil alih usaha Bapak tiriku.

Ya, ibu menikah dengan bapak tiriku tujuh tahun yang lalu. Pernikahan mereka tidak dikaruniai anak karena masing-masing membawa anak dari pernikahan sebelumnya.

Dari pihak ibu, aku, Biantara Sudrajat. Sedangkan bapak membawa mbak Priantina Nur Dewi.

Aku sangat beruntung, bapak tidak pernah membedakan kami. Bahkan usaha transportasinya diwariskan sepenuhnya kepadaku.

Dengan pertimbangan karena aku laki-laki dan calon kepala keluarga. Mbak Tina sendiri memilih ikut suaminya bertugas di luar negeri. Suami kakakku adalah sekretaris kedutaan Indonesia di Dubai.

Tapi saat ini, aku ingin mencari pengalaman bekerja sendiri. Alhasil, berdalih ijin pada ibu untuk mencari pengalaman, aku melamar di perhutani sebagai tenaga relawan di Alas Purwo selama enam bulan.

Setiba di kantor pos masuk Rawabendo, kami diantar dengan mobil jeep ke dalam Taman Nasional Alas Purwo. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi dan berjejer rapi. Hewan liar tampak berlarian. Lido sempat histeris kesenangan sewaktu melihat rusa betina berjalan dengan anggun diantara pohon.

Dua puluh menit berselang, kami memasuki sebuah pekarangan rumah yang luas. Halaman itu penuh dengan bunga dan rumput teki yang terpotong rapi, dengan pemandangan hutan disekeliling. Mobil terparkir di atas halaman paving (mirip batu bata tapi terbuat dari semen). Aku dan Lido keluar mobil dengan ekspresi terkesima.

Diapit oleh dua buah pohon oak berukuran maha besar, rumah panggung kayu itu sangat besar, kokoh dan cukup megah. Kedua sisi rumah dibuat menyatu dengan pohon. Sembulan batang pohon raksasa di atap, membuat rumah itu tampak seperti rumah pohon dengan tangga kayu naik yang cukup tinggi. Tak heran, yang mendesain adalah seorang wanita asing kebangsaan Australia, Jane Trevor, istri dari kepala perhutanan.

Kami disambut langsung oleh Pak Hartono dan diantar ke rumah panggung yang terletak tepat di sebelah rumah utamanya. Aku baru menyadari rumah tempat tinggal kami ternyata menjadikan pohon sebagai poros tengahnya.

Aku dan Lido sangat mengagumi kamar kami. Dua tempat tidur yang besar dengan sprei dan kelambu putih. Furnitur klasik gaya rusty white, dengan meja juga lemari berwarna senada. Batang pohon yang berada di tengah kamar menjadi gantungan baju dan tas yang sangat unik dan kreatif.

Semua tampak apik dan tertata. Lido tersenyum bahagia saat mengetahui bahwa kamar itu juga dilengkapi seperangkat komputer dengan teknologi yang cukup canggih.

"Gila, ada fitur tracking devicenya, Bi. Liat nih," seru Lido memamerkan komputer yang langsung menjadi sasaran untuk ia utak atik.

"Dah mandi cepetan, nggak enak ntar ditungguin kita," ujarku sambil masuk kamar mandi.

Tak lama Ibu Jane berteriak dari bawah dan memanggil kami untuk makan malam.

Kami menuruni tangga rumah dengan sedikit kikuk, karena tidak terbiasa dengan pijakan kayu yang sebetulnya sangat kokoh dan kuat.

Sampai di bawah aku tertegun. Di tepi hutan, tak jauh dari rumah, seorang gadis sedang memeluk seekor macan tutul besar yang ukurannya dua kali lipat dari gadis tersebut. Kulihat gadis itu melambai dan berlari menjauhi hewan buasnya menuju arah kami,

"Bea, dia putri kami," cetus ibu Jane berdiri di pintu sambil tersenyum. Aku dan Lido mengangguk dengan kagum sekaligus ngeri.

Tidak menduga, bahwa hidup yang akan kami lalui di sini akan menjadi pengalaman yang luar biasa.

Menu makan malam di meja sangat mengugah selera. Bebek panggang, kentang bakar, sayur mayur dan jagung rebus serta beberapa pilihan menu lainnya. Lido membelalakkan matanya. Kudengar gemuruh di perutnya.

Selain kami, Pak Hartono juga mengundang dua staf tetapnya untuk membahas tugas pertama kami besok.

Aku duduk dengan canggung. Bea duduk di sebelah ibunya. Jujur, aku mengagumi wajahnya yang sangat rupawan. Matanya biru gelap, rambutnya ikal berwarna hitam agak kemerahan dan kulitnya putih seperti pualam. Mirip ibunya.

Kesederhanaan penampilan Bea yang hanya berkaos dan celana panjang menambah daya tarik gadis itu.

"Baik Lido dan Bian, kenalkan ini Mas Rudi dan Mas Pur staf saya yang sudah lima tahun ikut berjuang di sini," suara Pak Hartono membuyarkan pengamatanku pada Bea.

"Salam kenal mas, mohon dibantu ya," sahutku santun.

"Jangan segan tanya sama kita-kita, ya," ujar Mas Rudi yang ternyata agak sedikit kemayu.

"Makasih lho, Dek. Kita memang kekurangan tenaga banget, makanya sangat tertolong banget, nih," timpal Mas Pur.

"Mantap deh, kita sama-sama ya saling berjuang. Aduh, Bu. Ini enak sekali," puji Pak Hartono kepada istrinya, Ibu Jane tertawa renyah.

"Dimasakin tiap hari, komennya selalu dua hal. Enak dan enak sekali," balas istrinya dengan bahasa indonesia yang sangat fasih, kami tertawa.

'Mirip bapak,' batinku. Itulah bukti penghargaan suami kepada kekasih hatinya, sang istri.

Bea ikut tersenyum. Barisan rapi giginya menambah kecantikan Bea.

"Bian sendiri asal dari Semarang atau?" belum sempat kujawab pertanyaan Mas Pur, bunyi alarm berdering memenuhi ruangan. Aku dan Lido bingung.

Pak Hartono segera bangkit dan mengambil senapan mesin di lemari sambil memberi isyarat kedua stafnya untuk mengikuti.

"Kalian di sini aja, biasa perusak hutan," jelas Ibu Jane. Aku dan Lido mengangguk.

Kulihat Bea juga berdiri,

"Papa, let me call Argon and Balu!" teriak Bea.

"No you stay!" balas Pak Hartono sambil berlari keluar diikuti kedua stafnya.

Bea membanting lap makan dengan kesal,

"Mom, they're really need my help," gadis itu keluar menyusul ayahnya.

"Up to you ...," sahut ibunya santai sambil asyik menyantap makan malam. Aku bingung, gimana caranya dia bantu ayahnya?

Gadis itu berlari keluar seiring suara melolong seperti serigala bergaung dari depan rumah. Aku dan Lido berpandangan dan penasaran. Kami berlari ke depan menyusul.

Bea menunggang macan tutul serta memacunya menuju arah sinar senter di hutan.

"Gi-gila ...," desis Lido gugup.

Aku tertegun dan shocked. Ini bukan di afrika ataupun hutan amazon. Ini di Indonesia! Seorang gadis yang mirip tarzan versi perempuan menunggangi hewan yang tidak sedikit pun terlintas dalam pikiranku untuk menyentuhnya.

Beata Rusli, gadis misterius yang membuatku penasaran!

♧♧♧

Bersambung.....

Alas Purwo adalah hutan tertua di pulau jawa. Yang penasaran, monggo searching di google.

Kali ini, petualangan kita merambah ke alam dengan mengenal segala isinya. Jangan khawatir, sejarah dan misteri akan saya balut dengan semaksimal mungkin.

Semoga berkenan yaaa....

🙏🙏😇😍