webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantasy
Not enough ratings
16 Chs

The Corpse

Malam sudah larut. Kami baru selesai membersihkan meja makan. Ibu Jane memberitahu bahwa asisten rumah tangganya hanya bersedia bekerja selama siang saja. Dia tertawa saat bercerita alasan penduduk sekitar menakuti kawasan yang mereka jaga.

"Mereka takut dengan hantu. Padahal lebih menakutkan lagi manusia jahat," ucap ibu Jane dengan tawa masih berderai.

Aku dan Lido sangat menikmati berbincang-bincang dengan wanita yang sangat ramah ini. Tidak terkesan bahwa ibu Jane adalah warga asing. Pengetahuannya mengenai seluk beluk hutan di Indonesia sangat mengagumkan.

Pukul 11:12 malam, Pak Hartono kembali dengan kedua stafnya. Keringat dan baju kotor penuh dengan lumpur menghiasi tubuh ketiganya.

Ibu Jane seperti terbiasa dengan pandangan itu menyuruh ketiganya untuk membersihkan diri.

Aku masih penasaran karena Bea belum juga kembali. Tidak berapa lama, Pak Hartono keluar dan berganti baju santai.

"Maaf ya, Dek. Serangan pertama pada musim hujan, nih." Pak Hartono duduk sembari menyalakan rokoknya.

"Banyak hal dan pekerjaan yang harus kita selesaikan. Alas Purwo sangat luas. Saya beserta tim selalu kewalahan patroli," keluhnya sambil menjentikkan abu rokok di asbak.

"Iya Pak, kami bantu semampu kami. Ngomong-ngomong tadi saya lihat ...,"

"Bea?" potong Pak Hartono, aku mengganguk. Lelaki separuh baya itu tersenyum.

"Putri kami memang special. Dia terlahir dan besar di hutan belantara ini. Hewan yang tadi mungkin adik lihat adalah salah satu sahabatnya. Argon, seekor macan tutul yang sudah menjadi temannya sejak kecil. Ada lagi Balu, banteng liar yang menguasai wilayah utara Alas Purwo. Bersiaplah, kita bukan hanya menjaga hutan ini. Tapi satwa, budaya dan seluruh mahkluk yang menghuni Alas Purwo," pak Hartono memandang kami bertiga dengan penuh keseriusan. Lido menelan ludah.

"Tenang, selama hati kita bersih dan nggak macem-macem, amaaaan bangeeet," timpal Mas Rudi yang keluar dengan handuk membungkus kepalanya. Baju bermotif bunga merah jambu mengalihkan fokus kami. Lido hampir tersedak saat minum teh hangat.

"Kenapa, Dek Lido? Aduuuh ati-ati, nanti game over lhooo," canda Mas Rudi menggoda Lido. Kami terbahak. Suasana yang tadinya tegang, berganti menjadi menyenangkan kembali.

Mas Rudi dan Mas Pur segera kembali ke rumah dinas yang lokasinya tidak jauh dari kantor pos penjagaan mereka. Malam itu aku istirahat dengan berbagai spekulasi liar.

Keesokan pagi, setelah sarapan kami bertiga berkumpul di kantor pos penjagaan. Hari pertama, ditemani Mas Pur, sebagai kepala keamanan, mengelilingi pos-pos yang biasa dikunjungi wisatawan.

Tidak pernah menyangka bahwa Alam Purwo di kelola sedemikian rupa hingga menjadi taman nasional yang tidak kalah menarik dengan taman di afrika.

Jalanan di Alas Purwo ternyata mudah dilalui, walaupun hanya sebagian saja diaspal. Kesanku seketika berubah, kawasan ini tidak seangker yang diberitakan. Atau, mungkin karena mereka belum memahami seperti kami sebelumnya.

Mas Pur meminta kami berjaga di pos pertama, Sadengan. Sekitar dua kilometer dari pos masuk pertama.

Sadengan adalah sebuah kawasan savana yang membentang seluas 84 hektar. Pagar dibangun sekeliling untuk menjaga wisatawan agar tidak menganggu hewan liar yang asyik merumput.

Di Sadengan, pengelola menyediakan tiga buah menara kayu berlantai tiga, untuk menikmati pemandangan dari atas.

Seketika aku jatuh cinta. Ini hidup yang kuinginkan! Menjaga alam dengan isinya dan menjadi bagian dari mereka.

Mas Pur meninggalkan kami berdua, dengan daftar pekerjaan yang harus kami lakukan. Aku dan Lido dengan bersemangat menuntaskan pekerjaan kami.

Menjelang sore, aku melempar buku dan memanjat menara hingga lantai paling atas.

Hembusan angin menyapu wajah dan rambutku. Segarnya bau rumput dan pohon gaharu sangat menenangkan dan memulihkan tubuh yang berkeringat.

Beberapa saat aku membiarkan terpaan alam di tubuh. Lido memberitahuku dari bawah, ada seseorang menuju arah kami. Aku membuka mata dan melihat Bea berlari dari jauh dengan banteng di sampingnya. Aku pun bergegas turun dengan gugup. Lagi-lagi gadis ini hadir dengan cara mengejutkan.

"Hai! Mas Bian, bisa bantu aku?!" tanya Bea setengah berteriak.

"I-iya, bisa, bisa," tak pikir panjang segera kuiyakan. Dia memberi isyarat untuk melompat pagar. Aku sempat bingung.

"Ayo cepat, Mas," ajak Bea mulai cemas wajahnya, aku pun melompat dan mengikuti dia.

Lido berdiri dengan mulut terganga dan memandang kami yang berlari menjauh.

Melihat aku yang mulai terengah-engah, Bea berhenti dan bersiul, banteng itu pun mengambil posisi merunduk.

"Naik, Mas. Aku dengan Argon!" perintahnya. Kaget bukan kepalang! Naik banteng? Tidak melihat tanda-tanda Bea bercanda, aku dengan ragu dan gemetar naik ke atas banteng serta memeluk lehernya.

"Pegang tanduknya!" seru Bea sambil melompat ke atas macan tutul yang muncul dari hutan.

Bagaikan adegan film heroik, Bea menunggang macan tutul dengan sekali lompatan indah. Seperti melayang, kami dibawa masuk ke hutan belantara yang semakin rimbun oleh pepohonan.

Aku menjepit perut banteng keras-keras dan memejamkan mata. Perasaan menjadi campur aduk, berharap bahwa ini adalah mimpi dan semoga aku tidak terjatuh. Duh, pengecut sekali aku!

"Mas Bian, turun!" seru Bea.

Kubuka mata perlahan. Kami sudah berada di depan sebuah pohon yang luar biasa besar dengan lubang di tengahnya. Entah seberapa tua pohon tersebut. Lumut memenuhi seluruh batang pohonnya.

Aku melorot turun. Yakin, gaya itu pasti konyol sekali. Tapi siapa pun pasti bertindak serupa. Bea segera masuk ke dalam lubang dan berteriak dari dalam.

"Mas Bian, lihat sini."

Bau kayu apak dan anyir menyerbu hidungku, dengan sedikit membungkuk aku masuk dan melihat ke arah Bea menunjuk.

Seketika perutku mual, dan mata memanas. Aku refleks mundur ke belakang dengan pandangan ngeri.

Mayat dalam posisi duduk, mukanya sudah hancur sebagian dan tubuhnya digerogoti belatung!

"Ke-kenapa di-dia," tanyaku bodoh.

"Pertapa gagal. Aku mau evakuasi, tapi harus lapor ke penjaga terdekat. Jadi aku panggil Mas Bian," jawab Bea tanpa terlihat terganggu dengan pemandangan mengerikan itu.

Aku menutup mulut dan dengan cepat berjalan mundur. Tanpa bisa menahan gengsi, aku lari menghambur keluar, seiring isi lambungku.

♧♧♧

Bersambung.

Kalo saya yang ada di situ, mungkin pingsan. Hehehehe...

Semoga berkenan ya.

Krisarnya ditunggu, feedbacknya dinanti.