webnovel

Bab 2 : Malaikat

Jangan percaya dengan siapapun! Karena yang harus dipercayai manusia adalah hatinya sendiri.

Carlisle tidak ingin bicara denganku setelah kejadian foto usang itu. Aku bingung mengapa dia bersikap seperti itu padaku.

Aku tidak merasa bersalah padanya dan aku juga tidak melakukan hal yang menurutku buruk.

Mungkin memang benar, Carlisle adalah anak emas panti ini. Jadi dia tidak ingin terlibat masalah apapun yang ku timbulkan.

Dan aku tidak masalah dengan hal itu, jika Carlisle tidak ingin berteman denganku maka aku juga tidak ingin berteman dengannya.

Aku sempat menatap matanya saat kami sedang sarapan pagi dan dia hanya menolak memandangku. Aku sering bertengkar dengannya dan aku sudah terbiasa dengan keacuhan sikapnya.

Aku duduk dengan tenang dan tidak ada satupun yang ingin duduk denganku, tapi aku tidak peduli.

Desas desus tentang diriku yang nakal dan aneh selalu membuatku sulit mendapatkan teman. Aku pikir mungkin karena mereka tidak ingin mendapatkan masalah karena bermain bersamaku tapi ternyata aku salah. Mereka bukannya tidak ingin bermasalah karena ku, mereka hanya tidak ingin membuat para perawat disini menyukaiku.

Mereka melawanku dengan cara menyingkirkan ku secara diam-diam.

Hanya Carlisle sebenarnya yang tidak pernah melakukan hal itu, namun sepertinya dia akan segera melakukannya.

Aku makan dengan lahap meskipun semuanya terasa hambar.

Andai aku tidak terlahir dari orang tua yang tidak menyukaiku maka aku seharusnya baik-baik saja saat ini.

Mengapa semua yang mereka lakukan membuatku terasa bahwa mungkin mereka tidak pernah mencintaiku.

Aku menoleh ke arah sekitar dan melihat Carlisle sedang menatapku dengan tatapan tajamnya, aku kembali menatapnya tapi dia segera melepaskan tatapannya.

Selama berteman dengannya, aku semakin curiga bahwa dia tidak begitu menyukaiku secara penuh.

Ada masa dimana kami saling menatap dan tatapan yang diberikan olehnya adalah tatapan kebencian, ketakutan dan rasa sakit. Tatapan yang kadang diberikan padanya untukku juga membuatku merasa bersedih padahal aku tidak pernah tahu apa yang ku lakukan.

Kemungkinannya hanya satu, mungkin dia merasa aku lebih unggul darinya sehingga dia masih merasa bahwa aku ancamannya.

Tapi sebenarnya kami baik-baik saja, terlepas dari apa yang dia sering lakukan. Carlisle adalah teman yang baik.

Perawat tiba-tiba masuk dan langsung meminta mereka membacakan doa sebelum makan dan mereka kembali ke tempat mereka masing-masing.

Tidak ada hal yang istimewa dan aku terbiasa dengan itu.

Setelah makan pagi, aku langsung menuju kamar untuk memulai kegiatan bersih-bersih dan mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut tentang foto yang ku temukan kemarin.

Tapi tidak ada hal-hal yang bisa membuatku menangkap apa maksud dari foto usang yang ku temukan itu.

Carlisle belum menemui ku, mungkin memang dia marah besar denganku. Aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa dengan kemarahan yang dia miliki untukku tapi saat ini bagiku sendiri itu semua tidak masalah.

*****

Di sore hari, ketika aku sudah mengerjakan semua tugasku. Aku duduk di pohon yang biasanya selalu ku duduki jika aku mulai bosan dengan kegiatan panti.

Pohon itu rimbun dan sangat nyaman untuk tidur di bawah dedaunannya.

Aku biasanya menggambar atau bahkan menulis sesuatu yang ku sukai. Jika bosan, aku hanya akan duduk dan menunggu sampai rasa kantuk menyerang ku.

"Pstttstttpsttt." Suara desisan yang aneh muncul dari balik pohon itu, aku yang kaget segera mencari sumber suara.

Tidak ada apapun selain kegelapan total dari hutan belakang panti.

Aku tidak tahu mengapa para perawat dan biarawati tidak mengijinkan anak-anak disini untuk bermain di dalam hutan. Tapi satu yang ku ketahui, aku benar-benar tidak ingin melanggar aturan itu.

Aku berusaha mengatur posisiku lagi, berharap itu semua hanya halusinasi ku yang terlalu sedih karena tidak memiliki satupun teman.

Tapi nyatanya suara itu kembali lagi.

Aku yang tidak ingin dipermainkan langsung berdiri menatap sumber suara itu.

"Ya, melangkah lah kedalam dan temui aku."

"Siapa disana?" Aku berusaha bertanya dengan nada rendah yang tidak bergetar.

Aku tidak pernah takut pada siapapun, tidak ketika aku sudah mengalami semua yang terjadi di dunia ini.

"Itu aku, kau hanya bisa melihatku disini.... Jangan berdiri di bawah cahaya itu!"

"Apa maksudmu?"

Aku melangkah dengan hati-hati, berusaha masuk ke dalam hutan yang gelap.

Tapi ketika aku baru melangkah ke depan pintunya, suara Carlisle lah yang mengagetkanku.

"Hei!"

"Astaga!" Aku hampir terjerembab karena kaget dengan suara yang Carlisle berikan.

"Apa yang kau lakukan?"

"Carl? Mengapa kau mengagetkanku?" Aku hampir marah padanya karena dia benar-benar membuat jantungku berdetak kencang.

"Aku melihatmu terus menatap ke arah hutan! Aku khawatir maka dari itu aku menemui mu!"

Aku tidak memperhatikan Carlisle, aku fokus pada apa yang sebenarnya memanggilku sedari tadi.

"El? Apa yang terjadi?"

Aku menggeleng, "aku tidak tahu Carl, ku pikir saat ini aku benar-benar lelah. Bisakah kita kembali?"

Carlisle melihatku dengan tatapan tak percaya, tapi dia kemudian mengangguk.

"Tentu saja, kita bisa kembali."

Aku dan Carlisle kembali, tanpa menatap ke arah kegelapan itu lagi.

*****

"Ku pikir kau marah padaku." Ucapku pada Carlisle yang kini memimpin jalan di depanku.

"Aku tidak pernah marah padamu, betapa bodohnya dirimu itu huh."

"Kau tidak memandangiku dan bahkan tidak mengatakan apapun padaku. Maka tentu saja aku berpikir kau marah padaku."

Carlisle dengan terheran memandangiku, "serius kau merasa aku marah padamu hanya karena hal itu? Aku pikir kau yang marah padaku."

"Bagaimana mungkin kau berpikir begitu?" Aku mulai kesal dengan Carlisle yang sepertinya tidak ingin disalahkan.

"Ya, kau menatapku dengan tatapan tajam mu dan langsung berpaling ketika aku menatapmu tadi pagi."

"Kau yang berpaling duluan Carl!"

"Aku tidak!"

Aku mendengus kesal karena pertengkaran antara aku dan Carlisle tidak pernah bisa berhenti jika kami tidak saling mengalah.

"Baiklah itu salahku."

Carlisle tersenyum jenaka ketika aku akhirnya mengalah padanya.

"Yah, bagaimanapun akhirnya kau harus menyadarinya."

Mataku menyipit dengan nada Carlisle, tapi dia kembali menepuk kepalaku.

Aku dan dia memiliki tinggi yang hampir bisa dibilang sama, mungkin hanya berbeda sekitar lima sampai tujuh centi, tapi Carlisle adalah orang yang selalu menyombongkan tinggi badannya sehingga aku tidak kaget dengan hal itu.

"Aku bercanda, aku minta maaf karena menghindari mu... Aku benar-benar berpikir bahwa mungkin jika aku tidak menanggapi isi otakmu kau hanya akan bosan. Jadi bagaimana jika aku meminta maaf kepadamu dengan cara membuatkan cokelat panas untukmu?"

"Cokelat panas?"

"Ya."

"Tapi darimana kau mendapatkannya?"

"Kau lupa siapa diriku? Ini Carlisle."

Akhirnya aku lupa, bahwa Carlisle adalah malaikat ku. Entah bagaimana tapi aku selalu bergantung padanya.

Dan aku berharap di masa depan pun, aku dan dia akan tetap bersama-sama.