webnovel

Gh

Tidur menjadi sarana untuk melupakan sejenak betapa omong kosong hidup ini.

Seingatnya, tadi dia ada di atas ranjang setelah melewati hari yang cukup melelahkan. Pertengkarannya dengan Bisma, tindakan manis yang Alan lakukan, dan jangan lupakan konversasi singkat yang dia lakukan dengan Galang. Tapi entahlah, Gia tak benar-benar tahu kenapa dia berada di tempat yang dulu pernah menjadi saksi dari rasa sakitnya. Berdiri dengan tubuh yang nyaris terjatuh, keringat bercucuran dengan napas yang tersengal.

Sosok itu nampak memuntahkan isi perutnya, terduduk di atas lantai kamar mandi yang airnya terus mengalir hingga membuat lantainya basah. Gia tak tahu kenapa suaranya seolah menghilang, pun lidah yang terasa begitu kelu. Sosok yang masih berjongkok itu, seolah tak menyadari keberadaannya. Rambut panjang yang berantakan, beberapa helai bahkan dibiarkan tercelup ke dalam lubang toilet itu. Gia nyaris ikut memuntahkan isi perut, sebelum akhirnya tersentak tatkala sosok itu berbalik dan menatapnya tajam.

Gia nyaris memekik, tapi sosok itu sudah lebih dulu berdiri dan mencekik lehernya erat. Tatapan tajam dengan manik memerah, bibir pucat yang nampak mengelupas, pun lingkaran hitam yang terpampang jelas di depan mata. Perempuan itu adalah dirinya, sesosok Gia yang menyedihkan dengan manik semerah darah. Menatapnya tajam, bercampur kesedihan, dan kekecewaan. Detik berikutnya, ada darah yang mengalir dari manik itu. Pun, suara isakan pilu yang membuat Gia bergidik ketakutan.

"Kenapa kau melakukan ini padaku, Gia? Kenapa?!" Tanyanya, sedikit memekik sementara yang ditanya tak dapat menjawab sebab lehernya masih tercekik. "Bayi itu mati, dia bahkan tak sudi melihatmu di dunia ini!"

Gia terus mencoba melepaskan tangan itu dari lehernya, bahkan dia yakin lengan sosok ini sudah terluka disebabkan oleh kuku tangannya. Tidak, perempuan itu memang tak terlalu suka kenyataan di mana dia masih saja hidup berkeliaran dan menjadi beban di muka bumi ini. Tapi, dia masih ingin hidup untuk beberapa hal yang belum dia raih. Mati di tangan sesosok yang menyerupai dirinya barangkali tak akan terdengar keren. Mendadak Gia berharap semuanya hanyalah mimpi dan seseorang segera membawanya kembali ke dunia nyata, sebab dunia mimpi terlalu menakutkan.

Orang bilang, hanya di dunia mimpilah kita dapat menjadi seseorang yang kita inginkan. Tidak, dunia mimpi selalu membawanya pada ketakutan. Gia bahkan membiarkan dirinya tak tidur beberapa waktu, membuat sang kakak terpaksa membawanya kembali pada pria itu. Melakukan beberapa treatment, sebelum akhirnya diberikan obat yang lagi-lagi berakhir seperti candu untuknya.

"Kenapa kau masih hidup, huh?! Kenapa kau hidup hanya untuk menjadi beban di dunia ini?!" Gia tanpa sadar menitikkan air matanya, bahkan perlawanannya sudah tak sekuat tadi. "Kau masih menyukai pria itu, 'kan? Kau masih berharap padanya, 'kan?"

Tidak, tidak, aku tidak melakukan hal itu. Tapi diam-diam isi hatinya tengah bergejolak melawan logika, pertengkaran di dalam dirinya membawa Gia kembali pada ingatan tadi siang. Tentang pelukan Alan, caranya memberikan ketenangan saat dia sedang marah tadi, dan tatapannya yang memberikan ketenangan. Lagi, untuk kesekian kalinya Gia gagal membatasi dirinya untuk tetap di garis yang sudah dia buat. Dia gagal melawan keinginan logikanya untuk kembali pada saat-saat sebelum pertemuan sialan itu terjadi, dan Gia menyerah bersama keegoisannya yang telah kalah.

Air mata kembali menitik, melewati sisi wajahnya dengan dirinya yang sudah memejamkan mata. Seolah pasrah untuk apa yang terjadi selanjutnya, bahkan di alam mimpi seperti sekarang dia sangat lemah. Maka tatkala tangan itu terlepas dan membuat tubuhnya tersungkur jatuh, Gia merasakan tubuhnya diguncang oleh seseorang. Matanya terbuka, lantas bangkit sebelum akhirnya meringis dengan keringat yang sudah membasahi keningnya.

"Kau tidak apa-apa, Kak?" Keyza, anak gadis dari kepala desa bermata bulat itu menatap khawatir pada Gia yang napasnya tersengal-sengal itu. "Butuh air minum?"

Gia menggeleng pelan, lalu tersenyum. "Apa tadi aku mengigau?" Tanyanya pada Keyza.

"Iya, sudah hampir sepuluh menit aku coba bangunkan tapi Kak Gia tidak juga bangun. Aku hampir berlari keluar meminta pertolongan orang lain," jawabnya, nyaris turun dari ranjang tapi Gia lebih dulu mencekal pergelangan tangan gadis itu.

"Mau ke mana?"

"Mengambil air untuk Kakak,"

Gia menggeleng, masih dengan sebuah senyum yang terukir di wajahnya. "Tidak usah, biar aku saja. Kau lanjut tidur saja, Key. Maaf sudah membangunkanmu,"

Keyza tak langsung bereaksi, bibirnya terkatup rapat sebelum akhirnya membalas dengan suara yang sarat akan kekhawatiran. "Kakak benar-benar tidak apa-apa, 'kan?"

"Tidak," jawab Gia, lalu turun dari ranjang dengan kasur dari kapuk itu. "Aku memang seperti itu, tidak usah khawatir." Lanjutnya, sebelum melangkah pergi meninggalkan Keyza yang menatapnya bingung.

Malam ini rembulan bersinar begitu terang, nampak begitu bulat di atas langit dan membuat beberapa awan yang bergerak pelan terlihat. Cahaya dari rembulan bahkan menyelusup masuk lewat cela jendela yang terkatup dengan gorden itu, terlihat cantik dengan lautan yang bersinar diterpa cahaya rembulan itu. Setelah keluar dari kamar, Gia pergi keluar menyusuri rumah yang dindingnya terbuat dari kayu ini.

Tadi sore, setelah menghilang sebentar dengan Alan, kepala desa membawa mereka untuk menginap ke rumah ini. Sesekali berbincang dengan Pak Delio, sosok yang akan menjadi juru kunci untuk membawa mereka ke tempat itu. Katanya, tempat itu cukup keramat untuk di datangi oleh orang asing. Jadi, mereka tidak boleh sembarangan masuk ke sana. Walaupun tidak terlalu percaya, mereka harus tetap mengikuti instruksi supaya bisa ke sana dan menyelesaikan tugas tepat waktu.

Rumah ini sangat nyaman, definisi dari pedesaan yang masih asri. Orang-orangnya juga ramai, beberapa dari kepala rumah tangga bertandang untuk mendengarkan cerita dari orang kota yang jarang sekali mengunjungi mereka. Katanya, desa ini jarang sekali tersentuh pembangunan sebab lokasinya yang jauh dari ibu kota. Padahal, banyak sekali tempat-tempat yang berpotensi mendatangkan laba jika bisa memanfaatkannya.

Kakinya lantas berhenti tatkala mendengar sebuah suara yang tak asing dari arah balkon yang menghadap langsung pada laut, asap putih mengepul dan menghadirkan bau menyengat yang tak pernah Gia sukai. Cahaya rembulan menerpa tubuh lelaki itu, punggung tegapnya terpampang di depan mata dan membuat Gia berkhayal tentang betapa nyamannya jika bisa bersandar di sana.

"Aku juga merindukanmu," ucap Alan sembari mengulas senyum manis, lalu tersentak tatkala melihat sosok Gia yang memperhatikannya dari dalam rumah. "Sudah dulu, ya, Sayang. Lebih baik kau tidur, hari juga sudah larut. Hm, aku juga mencintaimu." Lantas setelahnya sambungan telepon kembali terputus, membuat Alan buru-buru memasukkan kembali benda itu ke dalam saku celananya.

Gia kembali membawa kakinya, kali ini tidak ke tempat yang ingin dia tuju tadi; dapur. Melainkan keluar, ke tempat di mana Alan berada. Wajahnya masih terlihat datar, tak berekspresi sama sekali sementara Alan kini tersenyum canggung padanya. Perempuan itu lantas menyandarkan kedua sikunya pada pembatas balkon, lalu memejamkan mata menikmati angin yang berhembus menerpa wajah.

"Kenapa tidak tidur?" Tanya Alan pada akhirnya.

Perempuan itu lantas membuka matanya, tersenyum kecil sebelum akhirnya menolehkan kepalanya. "Terbangun karena mimpi buruk," jawabnya jujur.

"Dan sekarang malah tak bisa tidur?" Sambung Alan yang langsung dibalas berupa anggukan, "coba hitung domba saja, sudah?"

Gia terkekeh, lalu membalik tubuhnya guna menyandarkan punggungnya pada pembatas balkon dengan kepala yang menoleh pada Alan. "Tidur hanya akan membuatku kembali bermimpi buruk,"

"Mimpi buruk apa memangnya?"

Mendengar pertanyaan itu terlontar dari ceruk bibir Alan, membuat Gia terhenyak kaget dan buru-buru memalingkan wajahnya. Bibirnya mendadak terkatup, bersamaan dengan lidah yang terasa kelu. Mencoba memutar otak, perempuan itu lantas tersenyum lebar sembari menatap ke arah Alan lagi.

"Tadi itu siapa? Istrimu, ya?"

Percobaan yang bagus, walaupun berakhir membuat dada jadi sakit dan sesak.

Alan mengangguk, ikut memposisikan dirinya seperti Gia, lantas menjawab. "Tadi dia tiba-tiba menelpon dan mengatakan kalau dia melihat kecoa naik ke kasur," Alan menjeda ucapannya, terdiam sejenak guna menatap perpotongan wajah Gia dari samping sebelum akhirnya menghela napas. "Kalau itu kau, tentu saja tidak akan menghubungi untuk sesuatu yang tidak begitu penting seperti itu, 'kan?"

Gia terdiam sejenak, mencoba mencerna kalimat yang Alan ucapkan sebelum akhirnya terkekeh pelan. "Setiap orang itu punya sifat yang berbeda, yang pada akhirnya membawa kita pada kebiasaan yang berbeda juga. Menurutku, kalau kau sudah memberanikan diri untuk memiliki ikatan yang serius dengan seseorang, kau harus mencoba untuk menerima sesuatu yang tak kau sukai darinya..."

"...bukan maksud menggurui, tapi lebih baik ketimbang kau membandingkan istrimu dengan orang lain."

Setelah mengucapkan itu, Gia membawa langkah kakinya untuk pergi dari sana menjauh dari Alan yang masih terkejut. Ya, seperti inilah seharusnya. Tidak boleh lunak pada masa lalu, harus melawannya sebisa mungkin. Jangan biarkan masa lalu kembali membawamu pada ketakutan itu lagi.

"Selamat tidur, Alan."

To Be Continued