webnovel

B

Perasaan adalah ambigu yang sebenarnya, membawa pada ketidakberdayaan untuk tetap melangkah maju atau berakhir mundur.

Dulu, pelukan lelaki ini adalah tempat paling nyaman untuknya menumpahkan semua luka yang dia rasakan. Tempat paling tepat untuk bersandar, beristirahat sebentar untuk menenangkan diri dari rasa penat terhadap dunia yang mengerikan. Mengadu, menangis tersedu-sedu, sebelum akhirnya terlelap bersama segala kelegaan yang dia dapatkan. Namun semuanya lantas berakhir, tatkala dia menyadari bahwa dunia adalah tempat di mana kepalsuan tumbuh subur.

Membuatnya tersadar bahwa berlebihan dalam segala hal itu tak baik, apalagi kalau sampai menaruh harap kelewat besar pada manusia. Pertanyaan lantas hadir bersama sebuah jawaban yang nyaris membuat Gia tertawa lepas--menertawai kebodohannya sendiri; kenapa agama menjadi bagian krusial dari kehidupan manusia? Sebab, manusia suka sekali menaruh harapan pada manusia lainnya.

Lantas setelah dikecewakan, mereka akan berakhir menangis dan menyalahkan orang lain. Maka Tuhan hadir, seolah menjadi pengganti yang dapat dipercaya dengan beragam doktrin untuk membuat mereka melabuhkan harapan. Dan keyakinan bahwa Tuhan adalah tempat terbaik untuk berharap, menjadi doktrin yang selamanya akan tetap ada.

Terlahir dengan beragam kisah hidup yang cukup melelahkan, membuat kepercayaan Gia terhadap Tuhan perlahan menghilang. Kenapa Dia tak kunjung menyembuhkan lukaku? Kenapa Dia kunjung membuatku bahagia? Kenapa Dia seolah senang sekali melihatku terluka? Orang bilang, hidup adalah tentang kesabaran. Gia bahkan tak bisa lagi menghitung sudah berapa kali dia bersabar, bahkan nyaris kehilangan kewarasannya sebab terus mencoba untuk bersabar.

Tuhan dan Alan adalah dua hal yang sempat dia jadikan sebagai muara harapan, tempat di mana dia bisa berbahagia tanpa merasakan yang namanya duka. Tapi pada akhirnya, dua hal inilah yang membuatnya kehilangan segala warna yang pada awalnya memang nyaris tak dia miliki. Hatinya membeku, tak tahu caranya mengekspresikan diri sendiri, dan lebih memilih untuk menjauh dari dunia. Meskipun begitu, dia tetaplah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk hidup. Maka seperti itulah Gia terbentuk sekarang.

Sama persis seperti saat di rest area, saat di mana Alan tiba-tiba muncul dan mengetuk pintu toilet untuk membawanya ke dalam pelukan yang teramat erat. Untuk kesekian kalinya nyaris membuat pertahanan Gia runtuh, lantas membalas uluran tangan pria ini untuk kembali menariknya pada dunia yang lebih mengerikan dari sebelumnya. Tapi Gia masih mencoba bertahan, tanpa pelukan pria ini dia masih bisa menghangatkan dirinya sendiri, tanpa bahu pria ini dia masih bisa bersandar sekalipun hanya pada kehampaan, tanpa tangan pria ini dia masih bisa menghapus air matanya sendiri.

Tadi, dia hanya ingin pergi menghindari orang-orang yang menatapnya penuh keterkejutan sebab menaikkan suaranya, tapi Alan malah tiba-tiba menghampiri dan membawa tubuhnya untuk dipeluk begini. Di belakang balai desa, tepat berhadapan dengan lautan luas yang berwarna biru. Angin berhembus lembut, menerpa tubuh yang membeku di atas pijakan. Jantung perempuan itu berdetak tak karuan, bertalu bersama dengan milik Alan yang terasa berdetak tak kalah kencangnya.

"Coba tarik napasmu," bisik pria itu, tapi Gia tak menuruti dan lebih memilih diam dengan menatap lurus.

Alan lantas melepaskan pelukan itu, kemudian menggenggam kedua tangan Gia sembari menatap lembut. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman hangat, matanya berkedip pelan dan membuat Gia memfokuskan tatapannya pada sosok Alan. Tatkala terdiam, Alan membalik tubuh perempuan itu dan membawa kedua tangannya untuk disilangkan di depan dada. Telapak tangannya terbuka, lalu Alan memberi instruksi untuk Gia memberi tepukan pelan pada pundak perempuan itu.

"Kau ingat ini, 'kan?" Tanyanya, sementara Gia hanya diam tak memberikan jawaban apa-apa. "Butterfly hug, metode yang baik digunakan untuk meredam emosi."

Alan masih berdiri di belakang perempuan itu, memberikan kehangatan dengan napas yang menderu di tekuk Gia. Sementara Gia sekarang sudah terlihat baik-baik saja, napasnya terdengar lebih beraturan. Menghela napas, Gia lalu mengulas senyum sembari mengatakan kalimat-kalimat positif di dalam hatinya. Dulu, Alan sering sekali melakukan hal ini saat dia sedang merasa kesal. Rasanya sedikit lebih nyaman, setidaknya dia bisa berpikir lebih jernih sekarang.

"Aku juga sering melakukannya pada istriku," ucapan Alan yang mendadak itu membuat Gia menghentikan kegiatannya, tatapannya mendadak kosong dengan kepala yang terasa seperti ada sesuatu yang menghantamnya.

"Kenapa berhenti?" Tanya Alan lagi, yang di balas berupa gelengan oleh Gia.

Perempuan itu lantas menjauhkan tubuhnya, berkedip cepat dan membalik tubuhnya untuk menghadap pada Alan yang masih menatapnya seperti beberapa menit yang lalu. "Aku sudah lebih baik," ujarnya.

"Syukurlah," Alan lantas menghela napasnya lega, "mau ke sana lagi untuk meminta maaf atau di sini dulu untuk menenangkan pikiran?"

Gia terdiam sejenak, matanya menelisik sekitar sebelum akhirnya dia memberikan jawaban. "Di sini dulu,"

Alan mengangguk, lalu tersenyum. "Baiklah, biar aku temani. Kita duduk di sana saja, ya?" Telunjuknya lantas mengarah pada sebuah pohon besar di tepian jurang yang menghadap langsung pada lautan.

Setelah duduk, tak ada lagi konversasi yang mereka lakukan. Keduanya terdiam, mungkin menikmati pemandangan indah di depan sana. Angin terus bertiup pelan, debur ombak terdengar seperti nyanyian yang membuat nyaman. Namun keheningan itu lantas terpecah, tatkala Alan kembali memulai konversasi di antara mereka.

"Pemandangannya indah, bukan?" Gia menoleh, lantas tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tapi Lia pasti tidak akan suka, karena dia benci ketinggian."

Nama itu lagi, tatapan itu lagi, senyum itu lagi. Semuanya nyaris membuat Gia berdiri, lalu meninggalkan Alan sendirian. Tapi, dia kembali mencoba untuk sadar bahwa dirinya tak boleh bertindak bodoh dengan menunjukkan ekspresinya. Kalau sudah begini, dia lebih memilih untuk diam sekalipun hatinya terenyuh sakit. Untuk kesekian kalinya, dia merasa hidupnya dipermainkan oleh semesta.

"Apa kau mencintai perempuan itu?" Pada akhirnya, pertanyaan itu benar-benar terucap dari bibirnya.

Alan menoleh dengan kening yang berkerut, walaupun sedetik kemudian sebuah senyum kembali terukir di wajahnya. "Tentu saja,"

Setelah itu, Gia terdiam dengan bibir yang memaksa sebuah senyum. Tangannya lantas terulur, membuat Alan kembali mengerutkan keningnya dengan alis yang terangkat sebelah. "Untuk ucapan selamat yang terlambat," ujarnya kemudian.

Alan terkekeh, lantas membalas uluran tangan itu. Setelahnya, mereka saling melepaskan genggaman tangan mereka dan menatap dalam sorot yang berbeda. Bibir keduanya terkatup, seolah isi kepala dipenuhi oleh banyak hal tapi tak tahu yang mana yang harus dikatakan. Nyaris dua menit mereka terdiam sembari saling menatap, Alan kemudian mengatakan sesuatu yang membuat Gia memalingkan wajahnya.

"Aku berharap kau juga bahagia dengan seseorang yang kau cintai,"

Aku kehilangan hati untuk jatuh cinta.

Namun Gia hanya diam, tak memberikan reaksi apa-apa. Alan lalu menatap lautan biru di depan sana, langit nampak berubah warna tatkala matahari perlahan tenggelam. Nelayan nampak berlalu-lalang di bibir pantai, mempersiapkan diri untuk melaut ketika malam tiba. Anak-anak kecil terlihat berlarian, bermain air laut dengan tawa yang mengudara bersama bising dari burung camar yang mencari makan.

"Aku lupa mengucapkan terima kasih dan maaf sewaktu kau pergi, Gia. Jadi sekarang, di kesempatan ini, aku ingin mengucapkan kedua hal itu. Walaupun aku tahu terima kasih dan maaf tidak akan cukup untuk apa yang sudah aku lakukan padamu,"

Gia lantas menoleh pada sosok itu, sebelum akhirnya mengalihkan tatapannya tatkala Alan ikut menoleh dan mempertemukan manik mata keduanya. Perempuan itu mengigit bibir bawahnya, lagi-lagi merasa terenyuh dengan apa yang Alan katakan. Meskipun begitu, memori yang nyaris merenggut kewarasannya kembali hadir dan berputar di dalam kepala.

Pada akhirnya, Gia kembali mempertanyakan tentang perasaannya sendiri tatkala bibir itu mengucapkan sesuatu yang membuat Alan membeku di tempatnya.

"Yang seharusnya meminta maaf adalah aku, Alan. Sebab aku tak mampu melupakanmu dalam waktu yang cukup lama. Semua kenangan itu, masih terpatri di dalam kepalaku dan nyaris membuatku gila."

Hidup itu seperti wahana roller coaster, Gia.

To Be Continued