webnovel

2. Guru Baru

Andini memandangi wajahnya di cermin, ia nampak cantik dan berwibawa dengan setelah pakaian kemeja putih dan celana hitam. Ia mencoba membentuk senyum semanis mungkin di bibirnya. Tapi semakin ia tersenyum lebar, semakin terlihat terpaksa senyum yang ditunjukannya. Ia terus melatih senyumnya hingga terlihat semanis mungkin, ia sepertinya ingin mengubah image guru Killer yang selama ini tersemat didirinya selama mengajar di sekolah yang lama.

"Ahh, Kenapa sulit sekali untuk tersenyum ramah. Wajahku sepertinya sudah terlahir dengan wajah sangar dan galak." Gerutu Andini kesal.

Tok. Tok. Tok.

Terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya, Andini mendengus sebal. Ia tau pasti siapa sosok yang mengetuk pintu kamarnya pagi-pagi seperti ini. Andini terlihat tidak berniat membukakan pintu kamarnya. Ketukan itu terus berulang, dari mulai pelan hingga berubah lebih keras.

"Diiinnnn, maafin aku dong." Rengek Kiran dari balik pintu, Andini tidak menggubrisnya. Ia terus melakukan ritualnya sebelum berangkat bekerja.

"Diiiinn, aku benar-benar tidak tau kalau dia ternyata bukan duda, melainkan pria beristri." Jelas Kiran dari balik pintu. Andini tetap tidak meresponnya, ia mengambil earphone miliknya. Ia ingat, sudah hampir 3 hari ia marah dan memboikot Kiran, tiga hari yang lalu sepulang dari restaurant Andini langsung meluapkan amarahnya kepada Kiran. Dia menganggap Kiran sudah membohongi dan membodohinya.

"Bisa-bisanya kamu menyuruhku kesana untuk di permalukan sebagai pelakor di hadapan banyak orang? Bahkan bocah itu pun berbicara dengan lancang dan tidak sopan padaku! Aku tidak akan memaafkanmu Kiran!" itulah kata-kata yang di ucapkan Andini pada Kiran beberapa waktu lalu.

Sebenarnya Andini berniat pergi dari rumah itu, namun karena ia masih harus fokus mempersiapkan hari pertama ia mengajar di sekolah baru, terpaksa ia mengurungkan niatnya dan yang terjadi adalah Andini selalu mengabaikan Kiran. Ia bahkan hampir selalu berada dikamarnya sepanjang hari, sementara Kiran seperti yang terjadi saat ini. Dia tidak berhenti mengetuk pintu kamar Andini. Andini melangkahkan kaki menuju keluar kamar, melihat Andini membukakan pintu Kiran langsung menahannya.

"Dinn, benar aku berani sumpah aku tidak tau kalau dia sudah beristri. Aku bahkan baru tau kalau dia adalah duda dengan anak satu beberapa waktu belakangan ini. Walau ternyata informasi itu tidak sepenuhnya benar" Jelas Kiran memohon pada Andini, ia menarik tangan Andini. Matanya terlihat sembab dan bengkak. Sepertinya ia sering menangis karena Andini sahabat satu-satunya kini marah besar kepadanya. Andini menghela napas, di tatapnya mata Kiran yang sembab dengan penampilannya yang kacau.

"Lepas!" bentak Andini sedikit kasar. Ia langsung berlalu meninggalkan Kiran yang terdiam menahan tangis, sebenarnya ia tidak tega jika harus bersikap kasar dengan sahabatnya itu tapi karena kekesalannya belum hilang Andini berniat untuk membiarkannya sedikit lebih lama untuk memberi pelajaran kepada Kiran agar tidak selalu lari dari masalah, apalagi sampai mengorbankan temannya sendiri seperti yang terjadi malam itu.

Sesampainya disekolah Brainly High School Andini langsung menuju keruang kepala sekolah, ia disambut ramah oleh Bu Gracia. Setelah mendapat beberapa arahan, Andini langsung di persilahkan untuk mulai mengajar hari ini. Saat jam pelajaran di mulai, Andini langsung menuju kelas 11 B, diliriknya ruangan tersebut dari balik Jendela luar. Sepertinya kelas ini cukup normal.

"Semoga saja tidak akan ada yang membuatku emosi didalam kelas ini." Batin Andini, sejujurnya sejak awal berangkat entah mengapa perasaan Andini rasanya sudah tidak enak, namun ia mencoba untuk terus berpikiran positif. Saat Andini masuk di dalam kelas, semua mata tampak tertuju padanya. Para Siswa yang awalnya ribut kini berubah jadi hening seketika.

"Selamat pagi semua, salam kenal. Sebelumnya perkenalkan saya guru matematika baru kalian. Nama saya Andini Mahira." Sapa Andini, dia berusaha memberikan senyum terbaiknya dihadapan para siswa dikelasnya.

"Sebelum kita mulai pembelajaran hari ini, bagaimana kalau kalian lebih dulu memperkenalkan diri kalian. Agar kita bisa saling mengenal sehingga pembelajaran bisa berjalan dengan baik." Kata Andini. Mereka akhirnya mulai memperkenalkan dir mereka masing-masing. Sampai tiba pada satu orang siswa yang terlihat menelungkupkan kepalanya di atas meja. Andini baru memperhatikan anak ini, karena sebelumnya ia tertutup oleh siswa yang ada di hadapannya.

"Jery. Coba bangunkan teman di sampingmu itu." Perintah Andini, siswa bernama Jery itu duduk tepat disebelah siswa yang tertidur itu. Ia tampak ragu untuk membangunkannya, terlihat gambaran ketakutan diwajahnya.

"Jery, apa kamu tidak mendengar saya?" tanya Andini. Jery hanya menggelengkan kepalanyaa seakan menolak perintah Andini. Andini menarik napas dalam, mencoba untuk tidak terpancing emosinya. Dengan cepat ia melangkah mendekati siswa tersebut, ia kemudian memukul-mukul mejanya berusaha membangunkan siswa tersebut. Namun siswa itu tidak bergerak sama sekali.

Brraaakk.. Brraakkkk. Brraaakkk.

Pukulan Andini semakin keras, seisi kelas memandang penuh takut kearahnya.

"Bu, sebaiknya ibu biarkan saja dia. Kalau tidak ibu bisa dapat masalah." Kata Jery pelan. Andini memandang penuh keheranan.

"Apa maksudnya itu? Memangnya dia ini siapa?" tanya Andini mulai kesal. Ia kini mulai memukul pundak siswa tersebut.

"Bangun. Apa kamu pikir kelas ini seperti kamar bagimu?" seru Andini kesal.

"Berisik!" siswa itu balik memarahi Andini, ia bahkan tidak berniat mengangkat kepalanya. Andini mulai kehabisan kesabaran. Ia langsung menarik kerah baju siswa tersebut dengan keras, membuat siswa tersebut akhirnya terpaksa bangun.

"Saya bilang bangun yah bangun!" Teriak Andini. Mata Andini sontak terbelalak, ia yang awalnya terlihat penuh amarah sontak melepaskan kerah baju siswa tersebut.

"Apa-apaan ini? Apa kamu ini bocah yang kemarin?" tanya Andini seakan tidak percaya. Siswa tersebut terlihat menggaruk-garuk rambutnya. Ia kemudian baru melihat jelas wajah Andini. Kini ia sama kagetnya dengan Andini, ia bahkan sontak berdiri dan mendekati Andini.

"Pelakor! Sedang apa kau ada disini?" Seru siswa yang bernama Gibran tersebut. Ternyata siswa tersebut adalah Gibran Darendra pria yang ditemui Andini di restaurant beberapa hari yang lalu. Semua mata sontak terbelalak kaget mendengar julukan pelakor yang di berikan oleh Gibran untuk Andini. Andini yang kaget langsung menatap Gibran tajam. Dengan cepat ia menarik tangan Gibran keluar dari kelas. Anak-anak didalam kelas mulai berbisik-bisik melihat Andini menarik tangan Gibran.

"Apa katamu? Pelakor? Bukankan sudah ku katakan kalau aku bukanlah orang yang kau maksud?" bentak Andini saat mereka berdua berada diluar kelas.

"Ohh, kalau begitu bagaimana jika ku panggil teman Pelakor saja?" kata Andini

"Hey, sudah ku katakan kalau temanku tidak tau kalau ayahmu adalah laki-laki beristri. Jangan bicara sembarangan yah."

"Oh yah? Bagaimana bisa dia tidak mengetahuinya selama beberapa tahun menjalin hubungan." Kata Gibran dengan wajah tengilnya. Andini seakan kehabisan kata-kata menghadapi bocah ini.

"Terserah kau saja" kata Andini hendak pergi meninggalkan Gibran, namun tiba-tiba Gibran menarik tangannya.

"Apa kamu pikir aku akan membiarkanmu tenang disekolah ini?" tanya Gibran terdengar mengancam. Andini yang memiliki mental yang kuat itu justru seakan merasa tertantang dengan ucapan Gibran.

"Oh yah? Kalau begitu lakukan saja sebisamu untuk membuatku pergi dari sekolah ini. Itupun jika kau bisa." Jawab Andini dan langsung menepis tangan Gibran. Ia berlalu meninggalkan Gibran. Saat akan kembali ke kelas tiba-tiba Andini berpapasan dengan salah seorang siswa, siswa itu langsung menyapanya.

"Sedang apa anda disini?" tanya siswa tersebut, Andini yang tadinya memasang wajah kesal kini berusaha tersenyum kearah siswa tersebut.

"Ohh. Kamu kan yang tadi pagi yah?" tanya Andini mencoba mengkonfirmasi, bahwa ia tidak salah orang.

"Iya, kamu sedang apa disini?" tanyanya penasaran.

"Aku mengajar disini, kamu berarti siswa disini juga yah?" tanya Andini yang memperhatikan seragam yang dikenakan oleh anak itu.

"Woow, berarti aku harusnya memanggilmu dengan panggilan ibu. Dengan ibu siapa?" tanyanya sembari mengulurkan tangan. Andini tertawa melihat tingkahnya.

"Andini. Aku lupa kita belum saling mengenal tadi." Jawab Andini sembari meraih tangan siswa tersebut.

"Aku Miko."

"Ohh Miko, kamu kelas berapa sekarang?" tanya Andini.

"Kelas 11 C bu."

"Hmm, sepertinya aku punya jadwal mengajar dikelasmu juga."

"Benarkah?"

"Yah, aku punya jadwal mengajar mata pelajaran matematika."

"wooww matematika yah." Kata Miko, wajahnya berubah kecut. Ia seakan punya perasaan tidak senang mendengar Andini mengatakan bahwa dirinya mengajar pelajaran matematika. Saat tengah berbicara berdua tiba-tiba Gibran muncul dan mengganggu percakapan mereka.

"Lagi apa kau disini Mik?" tanya Gibran, raut wajah Andini sontak berubah kesal. Ia pun langsung pamit pergi meninggalkan Miko dan Gibran.

"Sedang apa kau dengan guru itu?" tanya Gibran penasaran.

"Ohh, tadi pagi aku bertemu dengannya dijalan. Kebetulan ban motorku bocor, untung saja dia membantuku mendorong motorku hingga ke bengkel. Tapi aku tidak menyangka ternyata dia guru baru disekolah kita." Jawab Miko menjelaskan, terlihat senyum aneh diwajah Miko.

"Udah, balik sana ke kelasmu." Perintah Gibran ketika melihat Miko masih sibuk memperhatikan Andini yang sudah masuk dalam kelas.

"Kau sendiri kenapa tidak masuk kelas?" tanya Miko penasaran.

"Ini baru mau masuk, udah sana balik ke kelasmu." Gibran kini mendorong Miko untuk bergegas pergi dari depan kelasnya. Miko yang merasa heran melihat tingkah Gibran akhirnya beranjak pergi. Gibran menatap dingin kearah Andini.

"Kita lihat, seberapa lama wanita ini bertahan?" gumam Gibran pelan.

***

Andini baru saja selesai mengajar, saat dirinya masuk kedalam ruang guru. Semua menatap aneh kearahnya, beberapa bahkan seakan menghindar darinya. Seingat Andini para guru disini terlihat begitu ramah padanya pagi tadi, mereka bahkan menyapa dan menyambut baik kedatangan Andini.

"Apa yang salah? Kenapa mereka semua menatap aneh kepadaku?" gumam Andini heran. Tiba-tiba seorang wanita yang usianya sama dengannya memanggil, sepertinya dia merasa iba melihat Andini sudah di asingkan sejak hari pertamanya mengajar.

"Bu Andini." Panggil wanita tersebut. Andini yang tidak mengenal wanita itu lantas menatapnya penuh tanda tanya. Ia melambai-lambaikan tangannya seakan memberi tanda kepada Andini agar Andini mengikutinya. Meski kebingungan, Andini tetap mengikuti langkah kaki wanita tersebut hingga mereka berhenti di sebuah ruangan yang sepi.

"Perkenalkan saya Widya, saya guru bahasa inggris. Saya juga mengajar di kelas 11 bu." Katanya memperkenalkan diri.

"Ohh iya bu Widya, ada apa ibu memanggil saya?" tanya Andini penasaran.

"Mmm, sepertinya ibu sadar perubahan sikap guru-guru lain didalam. Saya hanya ingin menjelaskan yang terjadi karena sepertinya ibu kebingungan." Katanya sembari tatapannya sibuk memperhatikan sekeliling. Mungkin ia takut jika ada yang melihat atau mendengar percakapan mereka. Hal itu semakin menambah kebingungan Andini.

"Saya tau kalau ibu habis ribut dengan siswa di dalam kelas."

"Mmm, yah, saya memang baru saja menegur siswa yang seenaknya tidur dikelas saya. Bahkan dia terlihat sangat tidak sopan." Kata Andini tanpa ragu bercerita.

"Nah iniiii, ini dia masalahnya bu." Sahut Bu Widya dengan wajah ketakutan.

"Apa masalahnya?"

"Ibu sudah menegur orang yang salah, ibu menegur Gibran bukan?" tanya Bu Widya. Andini mencoba mengingat-ingat nama anak tersebut.

"Sepertinya benar namanya Gibran."

"Aduhh, apa ibu tidak tau kalau dia itu disini dianggap seperti…" Bu Widya mencoba mendekatkan mulutnya ke telinga Andini.

"Devil." Bisik Bu Widya.

"Apa? Devil? Apa maksudnya itu?" tanya Andini dengan nada suara keras, sontak Bu Widya meletakkan jari telunjuk kemulutnya sendiri. Memberi tanda agar Andini tidak berbicara terlalu keras.

"Bu Andini, Gibran itu anak dari pemilik sekolah ini, bahkan Bu Gracia sangat berhati-hati memperlakukannya." kata Bu Widya menjelaskan, Andini mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.

"Ahh, jadi dia anak pemilik sekolah ini yah."

"Iya, sebaikknya ibu berhati-hati sama anak itu. Sudah beberapa guru yang dipecat karena ulahnya. Itu sebabnya para guru di sini menganggapnya seperti itu. Para guru pasti sudah mendengar kabar ibu yang ribut dengan Gibran, itu sebabnya mereka menjauhi Ibu." Ucap Bu Widya, Andini menghela napas dalam. Ia lalu tersenyum kearah Bu Widya.

"Baiklah, terimakasih atas informasinya yah Bu Widya, kalau begitu saya permisi karena saya masih ada jadwal mengajar lagi siang ini." Kata Andini pamit pergi, Bu Widya terlihat heran melihat sikap Andini yang biasa saja, ia bahkan tidak terkejut sedikitpun mengetahui dirinya habis bermasalah dengan anak pemilik sekolah.

"Apa dia terlalu syok yah? Sampai dirinya terlihat biasa saja tanpa ekspresi kaget sama sekali?" gumam Bu Widya heran. Sementara Andini terlihat berjalan menuju keruang guru, saat tiba-tiba seorang siswa tanpa sengaja menyiramkan minuman ke arahnya. Andini tampak terkejut melihat pakaian putihnya kini berwarna coklat karena minuman tersebut.

"Upppsss, ya ampun. Tuh kan, kamu sih Merry sengaja kan menahan kakiku? Aku sampai hampir jatuh dan minumannya jadi kena ibu guru." Kata siswa perempuan tersebut, dia terlihat merasa bersalah.

"Loh, kok aku sih?" kata siswa lain yang bernama Merry tersebut.

"Maaf yah bu." Ucap siswa tersebut dengan tatapan aneh, dia meminta maaf tapi terlihat tengah menahan tawa. Andini menarik napas dalam, mencoba menahan emosi yang siap meledak kapan saja.

"Tidak papa, lain kali berhati-hatilah saat berjalan." Pesan Andini sebelum beranjak pergi meninggalkan kedua siswa tersebut.

"Lisya, kamu sengaja kan menumpahkan minuman itu ke baju guru itu?" tanya Merry menebak raut wajah aneh Lisya.

"Hahaha.. yah iyalah. Dia kan guru yang sudah berani cari masalah dengan kesayangan aku Gibran?" Jawab Lisya sambil tertawa.

"Aduhhh, kamu ini. Untung saja guru itu tidak marah." Kata Merry ketakutan.

"Memang kenapa kalau dia marah? Dia tidak mungkin berani memarahiku." Kata Lisya dengan senyum jahat.

"Iya sih, tidak akan ada yang berani melawan anak kepala sekolah." Kata Merry membenarkan ucapan Lisya. Lisya memang adalah putri dari Bu Gracia, dia terkenal sangat berani karena posisi ibunya sebagai kepala sekolah sekaligus kepercayaan Tuan Vino ayah dari Gibran.

"Mulai sekarang sasaran kita adalah dia." Kata Lisya menunjuk kearah Andini yang baru saja masuk kedalam toilet, ia mencoba membersihkan pakaiannya namun noda bekas minuman itu tetap terlihat jelas.

"Apa tidak masalah kita mengganggu guru lagi?" tanya Merry.

"Memangnya kenapa? Dia bukan guru pertama yang jadi sasaran kita bukan?" tanya Lisya dengan senyuman licik.