webnovel

3. Lagi-lagi Bertemu

Andini menghempaskan tubuhnya di atas kasur, rasa lelah seakan menjalari seluruh tubuhnya. Tampak raut wajah penuh amarah tergambar di wajahnya. Ini seakan menjadi awal yang buruk untuk karirnya di Brainly High School.

Sejak awal dirinya sudah harus bertemu dengan Gibran, anak yang sudah bersikap kurang sopan padanya sejak pertemuan pertama mereka di restaurant. Ia bahkan dengan lantangnya menyebut Andini pelakor di dalam kelas.

Di tambah semua guru kini mengasingkannya karena tidak ingin terlibat dengan permasalahan antara Andini dan Gibran. Kesialan lain yang terjadi, pakaiannya justru ketumpahan minuman oleh siswa yang sama tidak sopannya di hari pertama ia mengajar, akhirnya Andini terpaksa harus mengajar dengan pakaian yang bernoda.

"Apa anak-anak di sekolah itu tidak ada yang di ajari sopan santun?!" Gerutu Andini kesal, dia merasa kesal karena harapannya untuk mendapatkan kedamaian di sekolah baru justru berbanding terbalik.

Sejak awal Andini memang mengincar sekolah-sekolah swasta. Salah satu alasannya karena gaji yang diberikan lebih manusiawi dari sekolah negeri. Meskipun, seleksi untuk mendaftar menjadi guru di sekolah swasta juga tidak bisa di bilang mudah. Itu sebabnya Andini ragu jika harus menyerah mengajar di sana karena keberadaan Gibran.

"Ahhh, bagaimana bisa aku berhenti mengajar di sana? Untuk bisa bergabung menjadi guru disana saja sudah sangat sulit dan butuh waktu berbulan-bulan." Pekik Andini kesal, di garuknya kepalanya yang tidak gatal sama sekali, hingga rambutnya terlihat acak-acakan. Dia menghela napas dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya.

"Hufffffttt.. Tidak bisa, aku sudah sangat lama menunggu pekerjaan ini. Aku tidak akan mundur hanya karena berandalan satu itu. Ayo kita lihat, jika dia berniat mengajak perang maka aku akan menghadapinya dengan berani." Gumam Andini berapi-api. Tekadnya kini sudah bulat untuk menghadapi Gibran apapun yang terjadi.

***

Gibran baru saja tiba dari sekolah, saat suara Bi Lastri menghentikan langkahnya.

"Aden, Tuan ingin berbicara dengan Den Gibran di ruang makan." Kata Bi Lestari dengan raut wajah ketakutan. Gibran terlihat acuh mendengar ucapan Bi Lestari, sepertinya dugaan Gibran benar, bahwa ayahnya sudah kembali dari luar kota hari ini.

"Apa mungkin dia sudah tau?" batin Giibran menerka-nerka.

Dengan langkah gontai ia berjalan kearah meja makan, di lihatnya ayahnya tengah menikmati makan siang. Ia tidak berniat menyapa ayahnya, dia justru langsung duduk dengan malas di kursi yang berada tepat di ujung meja. Kini mereka saling berhadapan, suasana terasa dingin dan asing.

Setelah selesai menyantap makan siangnya barulah ayahnya Vino Darendra menatap wajah Gibran. Terlihat jelas darimana ketampanan Gibran di dapatkan, wajah ayahnya terlihat sangat tampan, dengan setelan jas bisa menunjukan sisi maskulin dan penuh kewibawaan. Wajahnya jauh dari kata menua, ia bahkan terlihat seperti kakak beradik dengan Gibran.

"Apa ada yang ingin kau katakan kepadaku?" tanya Tuan Vino pada putra semata wayangnya tersebut.

"Aku? Bukankah Ayah yang memanggilku kesini? Sudah jelas Ayah yang ingin berbicara denganku." Jawab Gibran datar.

"Sepertinya kau tidak menyadari kesalahanmu." Ucap tuan Vino, Gibran terdiam ia bisa membaca arah pembicaraan ini.

"Apa yang membuatmu sampai berani selancang itu?" nada suara Tuan Vino yang tadinya santai, terdengar mulai ada penekanan.

"Apanya?" Gibran berpura-pura tidak paham dengan ucapan ayahnya.

"Apa maksudmu menemui wanita itu? Apa menurutmu kau berhak mencampuri urusan pribadiku?"

"Wanita siapa? Aku tidak mengerti ucapan ayah." Gibran terlihat semakin berani berbohong.

"Untuk apa kau menemui wanita yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu? Kau hanya anak kemarin sore yang seharusnya cukup sekolah dan belajar dengan benar!" nada suara Tuan Vino mulai meninggi.

"Tidak ada sangkut pautnya? Akhirnya ayah berani berbicara tentang wanita itu dihadapanku. Kenapa kemari ayah mati-matian mengelak saat ibu bertanya hal itu? Apa Ayah takut ibu akan marah dan membuat kakek mengambil kembali perusahaan dari tangan ayah?" tanya Gibran dengan mata yang memerah menahan emosi, tangannya mengepal mencoba mengontrol dirinya.

"Anak kecil sepertimu tau apa soal perusahaan?" tanya Tuan Vino dengan senyuman sinis.

"Hahahaha.." Gibran tertawa keras.

"Aku tau, ayah tidak akan ada di posisi ini jika bukan karena bantuan dari kakek, jelas saja kakek tidak akan membiarkan laki-laki yang sudah menyakiti anaknya tetap berada di atas awan seperti ini." Kata Gibran lantang, Tuan Vino terlihat emosi mendengar ucapan Gibran, urat-urat wajahnya tergambar jelas menandakan emosinya kini siap meledak.

"Jaga bicaramu Gibran!" kata Tuan Vino mencoba mengingatkan Gibran.

"Apa aku salah? Bukankan ayah menikahi Ibu hanya demi menyelamatkan perusahaan ayah dari kebangkrutan? Ayah hanya laki-laki tidak bertanggungjawab yang menggantungkan nasibnya pada seorang wanita yang bahkan tidak mampu ayah bahagiakan. Sangat menjijikan mengetahui darah ayah mengalir ditubuhku."

Prraaaanggg..

Terdengar suara pecahan kaca, Gibran tercekat. Ia terdiam dan mematung. Masih terlihat jelas bayangan gelas yang terbang melewatinya. Seandainya meleset sedikit, sudah pasti gelas itu melayang tepat di kepalanya. Namun beruntung gelas itu hanya melewatinya dan kini hancur karena berbenturan keras dengan dinding yang ada dibelakang Gibran.

"Sebaiknya kau jaga bicaramu, jika tidak ingin gelas itu melayang tepat di kepalamu lain kali." Kata Tuan Vino sebelum beranjak pergi. Gibran masih diam mematung. Kakinya terasa lemas membuatnya tiba-tiba kehilangan kekuatan untuk berdiri. Dengan cepat ia mencari kekuatan dari meja yang ada di hadapannya.

"Aden, kenapa Aden sampai seberani itu?" tanya Bi Lestari yang tiba-tiba muncul menghampiri Gibran.

Gibran tidak menjawab, tatapannya kosong. Ia terkejut ayahnya berani berniat melempari kepalanya dengan gelas kaca. Dengan cepat Bi Lestari dan Mang Parjo membereskan pecahan gelas yang berserakan di lantai. Gibran tidak menjawab, namun dengan segenap kekuatan yang tersisa didalam dirinya ia berjalan meninggalkan ruang makan.

"Aden mau kemana?" tanya Bi Lestari dengan raut wajah mengiba. Gibran terhenti, cukup lama ia diam sebelum akhirnya ia menjawab.

"Aku ingin menemui ibu." Kata Gibran dengan nada suara yang hampir tidak terdengar oleh Bi Lestari. Bi Lestari menatap penuh iba kearah Gibran, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Gibran meminta Mang Parjo untuk mengantarnya kerumah sakit, 15 menit kemudian mereka sudah tiba di rumah sakit. Gibran berjalan gontai, tatapannya kosong. Dia bahkan tidak memperhatikan sekeliling, saat tiba-tiba seseorang menyenggolnya.

"Ahh maaf dek, maaf saya tidak sengaja menyenggolmu." Kata wanita paruh baya tersebut, namun Gibran hanya diam seakan tidak mendengarkan wanita itu. Wanita itu menatap heran padanya.

"Ada apa bu? Ibu sedang melihat apa?" tanya Andini yang baru kembali dari toilet.

"Itu, ibu tidak sengaja menabrak anak itu. Tapi dia seperti tidak dalam keadaan baik." Kata Bu Tiara, ibunda Andini. Andini melihat punggung anak yang dimaksud oleh ibunya.

"Mungkin dia memang tidak mendengar ucapan ibu." Kata Andini. Namun saat akan pergi tiba-tiba seorang pria paruh baya memanggil anak tersebut.

"Den Gibran, tungguin mamang Den." Panggil pria tersebut, ia tampak menenteng almamater berwarna biru dongker dengan lambang Brainly High School yang sepintas terlihat oleh Andini.

Andini kembali menoleh kearah anak tersebut, kini barulah ia bisa melihat jelas wajah anak tersebut. Saat Gibran berbalik melihat kearah asal suara yang memanggilnya, Andini sontak berbalik dan menutupi wajahnya dengan topi yang dikenakannya sejak tadi.

"Sedang apa anak itu disini?" pekik Andini panik.

"Ada apa Andini?" tanya Bu Tiara heran.

"Ahh tidak ada apa-apa ibu. Ayo kita pergi." Kata Andini mengajak ibunya untuk beranjak pergi meninggalkan rumah sakit. Tapi tiba-tiba Andini menghentikan langkah kakinya.

"Andini." Panggil Bu Tiara.

"Bu, bisakah ibu tunggu sebentar disana? Ada yang Andini ingin lihat sebentar saja." Kata Andini sembari menunjuk kearah kursi pengunjung yang ada di Lobby rumah sakit. Bu Tiara terlihat mengangguk dan menuruti perintah putrinya tersebut. Andini berlari mencoba mencari sosok Gibran, namun sekuat apapun ia mencari tetap saja ia tidak menemukannya.

"Cepat sekali perginya. Apa ibunya di rawat dirumah sakit ini?" gumam Andini sembari terus memperhatikan sekeliling mencari keberadaan Gibran dan pria paruh baya yang di lihatnya tadi, ia ingat Gibran sempat menyinggung perihal ibunya yang harus di rawat dirumah sakit. Setelah mencari cukup lama akhirnya Andini menyerah, dia tidak dapat mengetahui kemana perginya Gibran di tengah-tengah rumah sakit sebesar ini.

"Kemana saja kamu nak?" tanya Bu Tiara melihat anaknya terlihat kelelahan dengan keringat bercucuran.

"Tidak kemana-mana kok bu. Ayo kita pulang." Kata Andini dengan nafas tersengal.

"Kenapa kamu berkeringat seperti itu? Kamu habis lari?"

"Tidak Bu." Jawab Andini berbohong, saat mereka keluar dari rumah sakit, Gibran muncul dan menatap kepergian Andini dan ibunya, bahkan saat Andini dan ibunya masuk kedalam taksi, ia masih terus menatapnya.

"Huuuhhh, hampir saja. Kenapa bisa aku bertemu dengan wanita itu disini?" gumam Gibran merasa legah.

Ternyata ia sempat melihat Andini saat mang Parjo memanggilnya, ia juga melihat Andini yang mencoba memalingkan wajahnya saat tak sengaja melihat ke arahnya. Mengetahui hal itu Gibran segera bergegas pergi. Namun saat tengah menunggu pintu lift terbuka, ia kembali melihat sosok Andini berlari ke arahnya berada. Dengan cepat ia menarik mang Parjo ke toilet pria.

"Siapa wanita itu Den? Pacar Aden yah? Kenapa Aden sembunyi dari dia?" tanya mang Parjo polos. Gibran tercekat mendengar mang Parjo mengira Andini adalah kekasihnya.

"Bukan lah, mamang ini sembarangan saja kalau ngomong. Ayo cepat kita jenguk ibu." Ajak Gibran, perasaannya berubah ngeri membayangkan wanita keras dan sangar itu menjadi kekasihnya.

Gibran berjalan pelan menghampiri seorang wanita cantik yang terbaring di ranjang rumah sakit, wanita itu terlihat sudah berumur, namun garis-garis kecantikannya seakan tidak termakan oleh usianya. Wanita itu adalah Nyonya Elsa ibu dari Gibran, ia terlihat tidur dengan lelap. Gibran mendekati ibunya, ia duduk perlahan disamping ranjang, sepertinya ia takut membangunkan nyonya Elsa yang tertidur lelap.

Mang Parjo sendiri hanya melihat sepintas, lalu kemudian memilih menunggu di luar ruangan. Gibran menatap sedih ke arah Nyonya Elsa. Dia bisa melihat wajah cantik ibunya, kini nyonya Elsa hanya menghabiskan waktunya di rumah sakit. Ayahnya yang juga pemilik rumah sakit ini sengaja membiarkan istri yang tidak di cintainya ini di rawat di sini akibat dari sakit yang dideritanya.

Gibran menatap wajah nyonya Elsa dengan seksama, sudah lama sejak terakhir kali ibunya bisa berbicara santai dengannya. Wajah Gibran memerah, matanya terlihat berkaca-kaca menahan tangis. Rasanya hal paling terberat baginya adalah berpura-pura ceria di hadapan sang ibunda, meskipun ingin ia tidak bisa menangis dihadaapan ibunya sendiri. Perlahan mata nyonya Elsa terbuka, ia kemudian berpaling melihat Gibran yang menatap senang ke arahnya.

"Ibu." Panggil Gibran dengan suara bergetar. Nyonya Elsa terus menatapnya. Tergambar raut kebingungan di wajahnya.

"Kamu siapa dik? Kenapa kamu ada di ruangan saya?" tanya nyonya Elsa bingung.

"Aku.."Gibran terlihat ragu untuk berbicara.

"Aku Gibran bu." Kata Gibran mencoba mengingatkan ibunya.

"Gibran siapa?" tanya nyonya Elsa, ia berusaha bangkit untuk duduk dan Gibran pun membantunya.

"Aku anak ibu." Kata Gibran lagi.

"Gibran? Kamu jangan mengaku-ngaku yah. Saya ingat wajah anak saya tapi wajahnya berbeda dengan wajahmu." Kata nyonya Elsa.

"Gibran anak saya tidak sebesar ini. Dia masih duduk di bangku SMP kelas 2." Kata nyonya Elsa berkeras dengan pendapatnya. Gibran menarik napas dalam, dadanya terasa sesak melihat ibunya berkata demikian. Ia bahkan tidak lagi di kenali oleh sosok yang dulu melahirkannya.

"Bu, Gibran sekarang sudah SMA." Jelas Gibran masih mencoba mengingatkan ibunya memori tentang dirinya.

"Tidak, Tidak dik. Kamu pasti salah orang. Ya ampun, kasian sekali kamu dik, sepertinya kamu lupa ingatan atau tersesat dan akhirnya terpisah dari ibumu yah. Biar tante panggilkan suster untuk membantumu." Kata Nyonya Elsa mencoba untuk bangkit dari duduknya, ia berniat memanggil suster untuk memintanya mengantar Gibran menemui orang tua sungguhnya.

"Tidak perlu tante. Saya akan mencari orang tua saya sendiri." Kata Gibran lirih, dengan berat hati ia bangkit meninggalkan nyonya Elsa. Pertemuan dirinya dan nyonya Elsa memang selalu singkat. Meski kadang bisa sedikit lebih lama jika beruntung dan nyonya Elsa dapat mengingatnya saat ia datang menjenguk.

Nyonya Elsa mengalami Amnesia Disosiatif, ia kehilangan beberapa ingatan dan memory nya dikarenakan depresi dan trauma yang di alaminya beberapa tahun yang lalu. Trauma itu berkaitan dengan perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya.

Nyonya Elsa awalnya mencoba untuk memungkiri kemungkinan fakta tersebut, namun Gibran yang masih duduk di bangku SMP tidak bisa menahan emosinya mengetahui ibunya di khianati. Pertengkaran antara Gibran dan ayahnya membuat ayahnya naik pitam, ayahnya yang memang temperament memukuli Gibran di hadapan nyonya Elsa.

Tekanan akibat mengetahui suaminya selingkuh, di tambah melihat putra semata wayangnya di sakiti oleh suaminya sendiri membuat nyonya Elsa sejak saat itu mengalami depresi serius hingga akhirnya ia seringkali kehilangan ingatannya. Sesekali ia bisa mengingat Gibran, namun sering kali ia lupa. Ia hanya ingat putranya saat duduk di bangku SMP. Kadang ia bahkan tidak bisa mengingat Gibran sama sekali. Hal itu membuat Gibran merasa terpukul melihat kehidupan menyedihkan ibunya. Bahkan saat ini nyonya Elsa harus menjalani perawatan dirumah sakit sendirian.

"Den, apa nyonya tidak ingat lagi?" tanya mang Parjo yang melihat Gibran keluar dari kamar ibunya, ia bahkan belum lama masuk kedalam. Itu artinya nyonya Elsa tidak mengingatnya hari ini. Gibran tidak menjawab. Ia hanya mengajak mang Parjo untuk pulang kerumah.

"Ayo kita pulang Mang, biarkan ibu istirahat hari ini." Kata Gibran sembari berjalan pelan meninggalkan ruangan tersebut.

Mang Parjo hanya menatap iba kearah Gibran lalu kemudian mengikuti langkah Gibran dari belakang. Hari ini Gibran pulang dengan perasaan sedih. Saat itu Gibran tidak menyadari sosok yang tengah memperhatikannya dari kejauhan.