webnovel

Lucknut 6

Berapa tahun yang lalu

Pesta resepsi pernikahan Rayan dan Dhena sudah selesai digelar. Saat ini pasangan pengantinnya sedang dalam perjalanan menuju ke sebuah hotel berbintang yang akan menjadi tempat mereka menghabiskan dua malam kebersamaanya.

Senyum bahagia masih belum hilang dari wajah keduanya. Pakaian pengantin adat sunda yang dipakai selama resepsi pun masih menempel di tubuh mereka. Dengan diantar sebuah mobil yang sudah dihias sedemikan rupa, dan dua motor petugas pengawal dari pihak kepolisian yang sengaja dipersiapkan keluarga Dhena.

Sampai di hotel, sudah ada seorang petugas yang menyambut dan mengantar mereka naik ke lantai tiga. Tak perlu lagi mengikuti prosedur ini dan itu karena semua sudah dipesan dan dipersiapkan jauh-jauh hari.

Sampai di dalam kamar Dhena dan Rayan sempat terperangah beberapa saat, takjub. Ternyata kamarnya sudah didekor dan dipenuhi dengan berbagai aneka bunga segar yang sangat segar dan cantik. Kelopak mawar merah dan putih bertaburan di lantai dan tempat tidur. Di atas ranjang bahkan terdapat hiasan sepasang angsa yang saling berhadapan membentuk hati.

"Wah, ini siapa yang nyiapin, Dhen?" tanya Rayan takjub.

"Emang kamu gak tau, Yan?" Dhena balik bertanya.

"Eh, Uda kan gak tahu apa-apa, hehehe?" Rayan sedikit cengengesan.

"Ini kan kemarin Noviar sama yang lainnya yang nyiapin."

"Oh ya? Kok Noviar gak bilang-bilang ya? Pantesan kemarin dia sama Mas Bayu ngilang seharian sampe malam, ternyata ke sini ya?"

"Iya, tapi sih katanya dibantu juga sama isterinya Kak Adit dan beberapa keponakan. Pastinya Della ikut, soalnya ada angsa."

"Kok Dhena tahu?" Rayan kembali melongo.

"Tau dong, Della dan Noviar paling tahu kalau angsa itu binatang favoritku, kamu gak ngitung ya, ada berapa pasang angsa di temat resepsi tadi, hehehe."

"Wah, kok aku gak tahu ya?"

"Kita baru saling kenal setengah tahun, Yan. Nanti kan kita akan hidup bersama, tentu lama-lama akan saling tahu selera masing-masing, iya gak?"

"Iya ya, hehe."

"Ya udah, aku bersih-bersih dulu ya? Kata petugas hotel tadi kan sejam lagi mau dianterin makan malam ke sini." Dhena melepas pegangan tangan Rayan di pinggangnya.

"Oh iya iya. Kamu duluan aja, ya," balas Rayan seraya mengecup kening gadis super cantik yang tadi pagi pukul 09.18 WIB sah menjadi istrinya.

Sesaat kemudian Dhena masuk ke kamar mandi setelah mengambil baju ganti dari lemari. Sebelumnya memang Noviar dan beberapa orang dari keluarganya sudah membawa pakaiannya dan juga pakaian Rayan ke kamar hotel. Rayan tahunya kalau Noviar hanya mengantarkan pakaiannya, tidak tahu kalau sampai menghias kamar ini juga.

Saat Dhena sedang berada di dalam kamar mandi, Rayan mengamati kondisi kamar. Kamarnya cukup luas, dan ini kamar terbaik dan termahal di hotel ini. Rayan tidak tahu pasti berapa tarif permalamnya, bukan dia yang mengurusi. Dia juga tidak ada niatan untuk bertanya kepada Dhena, bukan saat yang tepat untuk membahas hal seperti itu.

Yang jelas, kamar tipe ini adalah satu-satunya yang ada di hotel ini, dan biasanya hanya disewa oleh tamu-tamu penting saja, atau untuk acara seperti ini, seperti Rayan dan Dhena sekarang.

Cukup lama Dhena berada di dalam kamar mandi. Rayan memakluminya, mungkin Dhena sedang mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk melewati malam ini bersama dirinya. Diapun berdiri di depat jendela, melihat pemandangan kota Bandung, yang lampu-lampunya sudah mulai menyala menyambut petang.

Rayan tersenyum sendiri, masih tak percaya dengan status barunya. Sekarang dia adalah seorang suami dari seorang wanita cantik anak seorang mantan Direktur BUMN ternama.

Rayan sangat merasa beruntung bisa mendapatkan wanita secantik dan sebaik Dhena. Dia benar-benar bersykur untuk hal itu, apalgi menurut cerita semua teman dan keluarga Dhena, Rayan adalah cinta pertama Dhena.

Malam ini, Rayan akan menjalani sebuah ritual sakral. Ritual yang sebenarnya dulu sudah sering dia lakukan dengan mantan-mantannya, juga dengan beberapa wanita lain, termasuk dengan beberapa sahabat Dhena. Tapi kali ini Rayan merasa berbeda.

Rayan akan melakukan itu dengan sah, dengan istri sahnya. Meskipun sudah cukup banyak pengalaman, tak bisa dipungkiri kalau saat ini dia pun sangat gugup. Padahal dia akan melakukannya tanpa beban dan tanpa perasaan bersalah, karena Dhena sudah sah menjadi istrinya.

Tapi entah mengapa Rayan justru merasa jantungnya berdetak begitu cepat.

Pintu kamar mandi terbuka. Dhena sudah selesai berganti pakaiannya. Masih dengan pakaian yang tertutup sampai kepalanya, karena memang nanti masih akan ada petugas hotel yang kemari mengantar makanan untuk mereka. Rayan melihat istrinya tanpa make up sama sekali, tetap tetap cantik dan mempesona.

"Da, kok malah bengong? sana mandi terus ganti pakaiannya."

"Eh iya, maaf. Aku terpesona sama kecantikan istriku, hehe."

Mendapat pujian dari Rayan, pipi Dhena langsung merona. Dia masih malu-malu, meskipun yang memuji adalah suaminya sendiri. Mengetahui hal itu, Rayan yang tak ingin membuat istrinya semakin malu langsung beranjak ke kamar mandi.

Tidak terlalu lama Rayan mandi, dan kini sudah berganti pakaian. Mereka hanya duduk sambil ngobrol menunggu makan malam datang. Tak lama kemudian, bel berbunyi. Rayan menuju ke pintu untuk membukanya. Ada tiga orang petugas hotel yang datang, satu orang lelaki dan dua orang lainnya perempuan.

Setelah menyapa, merekapun dipersilahkan masuk oleh Rayan. Dengan cekatan para petugas itu menyiapkan makan malam di meja yang sudah disediakan. Sebentar saja, makan malam sudah siap.

"Makan malamnya sudah siap pak, silahkan dinikmati." Ucap salah seorang dari ketiga pelayan itu.

"Terima kasih, Mas," balas Rayan seraya menganggukan kepala, membalas anggukkan ketiga pelayan itu.

"Iya sama-sama. Nanti kalau sudah selesai langsung telpon ke bagian room service saja, biar kami bereskan piring kosongnya, sesegera mungkin." Ramah sekali pelayan hotel itu.

"Iya, baik." Rayan pun kembali mengangguk membalas keramahannya.

Para petugas itupun meninggalkan kamar. Rayan mengajak Dhena untuk menyantap makan malamnya. Menu yang dihidangkan cukup banyak dan lezat. Rayan dan Dhena pun makan dengan lahap. Siang tadi mereka tak sempat makan banyak. Tamu yang terus berdatangan nyaris tak memberi kesempatan pada keduanya untuk sekedar makan dan beristirahat.

Rayan benar-benar makan dengan lahap. Hampir dua kali lipat dari porsi istrinya. Dia sengaja lakukan itu karena harus mempersiapkan staminanya. Rayan tak ingin mengecewakan Dhena di malam pertamanya.

Setelah selesai makan, Rayan menghubungi room service. Tak lama kemudian petugas yang tadi mengantar makanan datang untuk membereskan sisa-sisa piring kotornya.

"Pak Rayan, untuk sarapan besok pagi mau diantar ke sini atau turun ke restoran?"

Rayan tak langsung menjawab, dia menoleh ke Dhena. Dhena memberikan kode terserah pada Rayan.

"Besok dihubungi lagi aja ya, Mas?"

"Oh baik, Pak. Kalau begitu kami permisi dulu."

"Iya, terima kasih."

Setelah para petugas itu pergi, Rayan kembali duduk di sofa bersama Dhena. Duduk bersebelahan sambil menonton televisi. Beberapa saat keduanya hanya terdiam. Bingung mau ngomong apa. sebenarnya mereka pun tidak terlalu memperhatikan acara televisinya.

"Hmm, Dhen," ucap Rayan setelah cukup lama mereka terdiam.

"Iya, kenapa, Yan?"

"Kamu capek nggak?"

"Hemm?"

"Iya, masih capek gak setelah acara kita seharian ini?"

"Gak terlalu sih, cuma kaki sedikit pegel."

"Mau dipijitin?"

"Emang bisa mijat?"

"Gak bisa sih, tapi buat istri tercinta, apa sih yang gak bisa? hehehe."

"Iih malah ngegombal."

"Yaa gak papa dong, gombalnya sama istri sendiri kok, hehe."

Dhena hanya tersenyum menanggapi ucapan Rayan. Tapi kemudian dia mengangguk dan mengangkat kakinya. Rayan pun sigap meletakkan kaki Dhena di pangkuannya, dan perlahan memijat betis istrinya. Kembali mereka hanya terdiam. Rayan mulai memijat kaki istrinya.

"Da."

"Kenapa, Dhen?"

"Rasanya aneh ya?"

"Aneh gimana?"

"Yaa aneh aja. Hmm, kita sekarang udah jadi suami istri. Jujur aja, baru kali aku berduaan sama cowok di dalam kamar begini, hehe."

"Hehe, iya juga sih. Dari tadi aku juga mikir gitu, Dhen. Sekarang kita resmi jadi suami istri. Mulai sekarang kita harus membiasakan diri, bukan cuma sekedar aku atau kamu, tapi kita."

Dhena mengangguk, setuju dengan ucapan Rayan. Sebelum menikah, kemarin dia juga sudah banyak mendapat wejangan dari mamanya. Sama seperti Rayan yang mendapat wejangan dari bapaknya, tentang bagaimana menjalani hidup berumah tangga. Tentang bagaimana menjadi suami dan istri yang baik.

Setelah itu obrolan merekapun perlahan mencair. Ada beberapa hal yang mereka bicarakan, lebih banyak tentang acara mereka hari ini. Intinya mereka cukup puas, karena apa yang mereka dapat hari ini lebih dari apa yang mereka inginkan.

Saat inipun Rayan sudah tak lagi memijat kaki Dhena. Posisi mereka sudah berubah, Dhena merebahkan tubuhnya di dada Rayan, sambil sesekali tangan Rayan membelai lengan Dhena.

^^^