webnovel

Chapter 4 [Dilema]

Aku masih ingat apa yang terjadi 7 tahun lalu. Disaat aku menjadi gadis bahagia yang mempunyai pacar sempurna, dalam sekejap semua itu berakhir tragis. Gara-gara lelaki itu, aku menjadi susah untuk berkencan dengan lelaki lain. Disaat aku mulai tertarik kepada lelaki lain, pada saat itulah kuingat apa yang telah terjadi kepadaku jika aku terlalu mempercayai pria.

***

Jenifer menjemputku seperti biasanya, kita juga pergi ke cafe seperti biasanya, dan hari ini ada Louis yang sedang menyiapkan beberapa kopi. Kuhampiri dia yang sedang sibuk membuat pesanan.

"Hei Louis, morning." Kusapa dia dengan senyum lebar selebar lebarnya.

"Oh, Kay, morning." Dia melihat ke arahku dan membalas senyumanku.

"Jadi, kamu bekerja di sini? Kenapa semalam aku tidak bertemu denganmu?" Dia tidak membalas pertanyaanku. Dia terlihat sibuk dan aku merasa bersalah telah mengganggu jam kerjanya.

"Maaf mengganggumu. Kalau begitu, aku permisi dulu." Segera kubawa kopi pesananku dan pergi meninggalkannya.

Louis menggangguk. 'Hati-hati ya' kulihat dia mengatakan itu tapi tidak mengeluarkan suaranya, hanya terlihat dari bentuk mulutnya. Aku tersenyum dan melambaikan tangan padanya dan pergi.

"Kamu sudah kenal dia??" Tanya Jenifer pensaran. "Oh ya ampun Kay, tidak kuduga bisa secepat ini"

"Ha? Apa maksudmu?" Aku bingung dengan pernyataan Jenifer yang mengatakan 'bisa secepat ini'

"Kamu, taksir dia kan?" Lagi-lagi pertanyaan Jenifer membuatku bingung.

"Kamu gila ya, mana mungkin, kan kamu tau sendiri kalo selama ini aku bakal susah buat date sama pria lain."

"Kamu serius??"

"Aku kadang hanya.."

"Hanyaa...??"

"Emmmm... Pokoknya, kalo kamu lihat dia kamu pasti berdebar-debar kan? Karena saking tampannya dia.. Iya kan??"

"Tidak tuh, kamu sendiri aja yang merasa seperti itu." Jenifer mengatakan begitu dengan tampangnya yang usil. "Mungkin dengan dekat sama pria di barista itu, siapa namanya.." Dia berhenti sejenak dan berpikir.

"Louis, his name Louis."

"Iya, Louis, kalau kamu dekat dengannya, dan mulai memikirkannya, kamu akan bisa melupakan Ryan. Bukankah begitu?"

"Tidak-tidak, ini sama aja seperti kasus-kasus sebelumnya, aku mencoba untuk dekat dengan pria lain, dan mereka mulai menyukaiku, tapi pada akhirnya, aku yang menjauh dari mereka karena tidak dapat menyukai mereka. Ini salah Jeni, aku tidak mau melakukannya lagi kecuali aku benar-benar menyukainya." Kujelaskan panjang lebar kepada Jenifer dan dapat kurasakan Jenifer mengerti.

Hanya Jeniferlah salah satu teman sekaligus sahabatku yang mengetahui perasaanku yang sebenarnya. Jika tidak ada dia aku tidam tau lagi kemana dan kepada siapa aku akan bercerita tentang keluh kesalku.

Aku tertarik kepada Louis, tapi itu bisa dikatakan karena wajahnya yang begitu sempurna. Bukan karena aku memang benar-benar tertarik dengan semua hal tentang dirinya. Aku bahkan belum mengenal lebih dalam dengannnya. Bagaimana aku bisa langsung suka padanya.

Aku benar-benar benci dengan perasaanku. Aku masih memikirkan Ryan Wade dan ingin bersamanya sekali lagi. Tetapi ada rasa di mana aku tidak mau jatuh kedalam kesalahan yang sama lagi jika aku mulai berkencan dengannya. Aku bingung dengan perasaanku. Sungguh.

***

"Kamu tau, semalam aku mendapat SMS dari Ryan." Kuceritakan pada Jenifer setelah kita sedang tidak ada kerjaan.

Jenifer terlihat terkejut dan mulai kepo. "Dia bilang apa? Bukankah dia akan menikah? Kenapa dia mencarimu?"

"Itu masih hanya rumor Jeni. Aku tidak mengenal nomor yang dia gunakan, tapi aku yakin itu dia."

"Jadi, kamu membalasnya?"

"Tidak.. Belum.. Aduhh.."

"Kamu mau membalas pesannya? Kamu yakin tidak?"

"Aku tidak tau. Apa yang harus aku lakukan??"

"Kalau kamu ingin membalasnya, balaslah, mungkin dia ingin mengatakan sesuatu. Kalau kamu tidak membalasnya, apakah kamu yakin kamu tidak akan menyesal? Semua terserah keputusanmu Kay. Aku akan tetap ada di pihakmu." Jenifer tersenyum tulus dan memegangi pundakku.

***

Aku bingung, maukah aku membalas pesannya atau tidak. Jika aku tidak membalas, aku takut akan menyesal nantinya. Jika aku membalas, mungkin ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Kubulatkan keputusanku untuk membalas pesannya. Kuambil HP-ku dan membalasnya.

'Ini siapa ya?' Kupura-pura tidak mengetahui dari siapa pesan sebelumnya dan menekan tombol send.

Tidak sampai satu menit sudah ada balasan yang masuk. 'Hei, it's me, Ryan. Kamu tidak lupa kan?'. Oh ya ampun, jantungku berdetak lebih kencang saat kumembaca namanya dalam hati. Kutarik nafas dalam-dalam dan membalasnya kembali.

'Oh.. Hai, kudengar kamu sudah kembali.'

'Iya, ada hal yang harus lakukan.'

'Contohnya?'

'Ini dan itu.'

'Apa maksudmu?'

'Tentang mimpiku, dan.. Kamu..'

Aku berhenti mengetik sejenak dan mulai berpikir. Apa yang ingin dia lakukan? Jika tentang mimpinya, mungkin aku tau, dulu dia pernah menceritakan mimpi-mimpinya kepadaku. Tapi dia kembali karena mempunyai urusan denganku. Tapi apa? Bukankah hubungan kami sudah selesai. Apa jangan-jangan dia ingin mengajakku kembali bersamanya?. Oh, aku harap dia tidak melakukan hal itu. Jika dia melakukannya, aku tidak tau harus berbuat apa. Saat aku sedang bingung untuk membalas pesannya, tiba-tiba dia mengirim pesan kembali.

'Sudah malam Kay, tidurlah... Mimpi indah.'

Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Oh ya ampun, bagaimana ini. Aku senang jika dia seperti ini kembali. Tapi, ahh.. Aku tidak tau. Padahal dia sudah pernah ketahuan selingkuh, tetapi kenapa aku masih mengharapkannya kembali. Sepertinya tidak ada wanita yang bodoh sepertiku yang mengharapkan lelaki brengsek sepertinya. Padahal sudah jelas-jelas pernah membuatku kecewa aku malah.. Sudahlah, kubuang pikiranku jauh-jauh dan segera tidur.

***

Ring Ring Ring.. Bunyi dering HP-ku terdengar saat aku baru keluar dari kamar mandi. Kulihat siapa yang menelepon, ternyata itu dari Jenifer.

"Ya, ada apa Jeni??"

"Kay, sepertinya aku telat masuk hari ini. Aku sudah memberi tau Madam Clark. Ayahku tiba-tiba bilang bahwa dadanya terasa sakit. Jadi aku hendak membawanya ke rumah sakit sekarang."

"Ya ampun, apakah ayahmu baik-baik saja??"

"Iya, aku harap dia baik-baik saja, kalau begitu, aku duluan ya Kay, sepertinya kamu harus naik Train lagi karena hujan sangat lebat pagi ini dan macet. Bye.. Hati-hati."

Setelah kututup teleponnya, segera aku bergegas siap-siap dan turun kebawah. Saat sudah di depan pintu keluar aku baru ingat. Oh ya ampun, Jenifer baru bilang sedang hujan, aku malah lupa membawa payungku turun. Tidak jauh dari apartemen, aku melihat Louis berjalan dikehujanan dengan payung hijau miliknya. Loh, kenapa aku tau jika payung hijau itu miliknya? Yang pasti aku tidak berpikir terlalu banyak dan kulihat dia sudah mulai mendekat ke arahku.

"Morning Kay.." Ucapnya saat sudah berada di depanku. Ada angin baik apa hari ini, pagi-pagi begini sudah disapa oleh lelaki super cakep. Walaupun dia hanya mengenakan kaos hitam polos dan celana joger, dia tetap terlihat sempurna.

"Morning Louis, kamu pergi beli roti ya?"

"Iya, kamu mau berangkat kerja kan?? Ini payung, pakailah." Tiba-tiba saja Louis mengambil tanganku dan menyerahkan payung yang tadi dia gunakan ke telapak tanganku.

"Ha,, Ap.. Apaa yang kamu lakukan?" Aku terkejut saat dia mengambil tanganku. Aku malu. Kuyakin sekarang wajah dan telingaku sudah seperti kepiting rebus.

"Kamu kenapa tiba-tiba? Wajahmu-" Saat kulihat tangannya hendak menyentuh dahiku karena mungkin dia pikir aku sakit, aku segera menutup dahiku dengan telapak tanganku.

"Akk...Akk.. Aku.. Tidak... Kenapa-napa.." Saat itulah telapak tangannya menyentuh kepalaku dan "Hati-hati ya Kay, jalanan licin. Dan mungkin hari ini kamu tidak akan melihatku di cafe." Dia pergi meninggalkanku di depan lobby. Aku menyentuh bagian kepalaku yang dipengang Louis tadi. Aku teringat hal yang mirip dengan kejadian hari ini.

Aku bergegas jalan ke Train Station dengan payung pinjaman dari Louis. Saat aku sudah berada di dalam Train, aku teringat. Dulu, saat aku melihat Ryan mencium dan menggenggam tangan gadis lain, aku menangis, berjalan pulang di kehujanan menuju Train station. Saat itulah tiba-tiba ada anak lelaki yang menyodorkan payung miliknya ketanganku secara paksa, memegang kepalaku dengan lembut, aku terkejut dan saat ingin melihat wajahnya, dia sudah berlari menjauh dari hadapanku, dan anak itu pelan-pelan menghilang di kehujanan.