webnovel

5

CHAPTER 5 — SAVIOR

October 21st, 1999

Daegu, South Korea

Pagi ini cuaca cukup sejuk, sejak ini adalah pertengahan musim gugur. Dari atas langit, semuanya terlihat sangat kecil seperti sedang menyusun maket. Siswa-siswi Kyuhak Highschool merayakan hari jadi sekolah mereka yang jatuh pada tanggal 21 Oktober, dan sekolah ini membagikan suka-duka bagi para korban patah hati di atap sekolah. Kebanyakan dari para lelaki yang malu-malu menyatakan cintanya dengan cara misterius di atap sekolah. Namun, tidak sedikit juga yang berakhir bunuh diri dengan loncat dari atap tersebut karena putus cinta atau cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Ada yang salah dengan Heesun. Wajahnya tidak seperti ketika ia melihat makanan favoritnya dihidangkan panas-panas di atas meja makan, atau seakan ibu dan ayahnya mengajaknya dan Jimin berkemah di pinggir sungai. Gadis itu terlihat sedang melakukan pemanasan sebelum lomba bola tangan dimulai. Dan Yoonseo, gadis itu juga mendaftar untuk lomba bola tangan saat ia tahu bahwa Heesun mendaftar untuk lomba bola tangan.

Hanya satu motif Yoonseo melakukan ini: pembuktian. Yoonseo juga ingin membuktikan bahwa dirinya, walaupun tidak sekaya Heesun atau tidak secantik Heesun, ia juga pantas mendapat atensi dari banyak orang di sekolah.

Bola tangan ronde pertama adalah pertandingan antara tim Heesun dengan tim Yoonseo. Tim Heesun terdiri dari seorang kakak kelas bernama Park Chaeyoung, kakaknya sendiri, dan dirinya. Sisanya adalah kakak kelas dan sebagian adik kelas yang samasekali tidak ia kenal. Sementara itu tim Yoonseo tediri dari orang-orang yang memusuhi Heesun, yang sama seperti apa yang dirasakan oleh Yoonseo. Sebagian guru ada yang turut ikut dalam kemeriahan ini dengan bergabung dalam pertandingan khusus antarguru dan sebagian lagi ada yang menjadi wasit.

"Siap?"

Suara menggelegar itu berasal dari seorang guru bernama Choi Kiwoong, guru BK yang terkenal sangat disiplin dan jika ada murid yang terlambat, ia takkan segan-segan membuat mereka makan rumput basah atau basah-basahan di kamar mandi.

Prit!

Pertandingan pun dimulai. Yoonseo mengeluarkan seringainya yang mengiritasi Jimin. Gila, Yoonseo terlihat sangat membenci kakak-beradik itu jika orang-orang menilai dari tatapannya saja.

Gadis itu mengoper bola pada salah satu temannya, kemudian temannya itu berlari untuk mencapai di pangkal lapangan di seberang sana. Guna menjebol gawang lawan, ia mengoper bola itu lagi pada Yoonseo yang sekarang berada di belakangnya dan menghindari Jimin yang hendak merebut bola. Namun, untung saja Heesun mengepung dari belakang dan Chaeyoung juga berada di samping, sehingga kemungkinan bola untuk berada di tangan salah satu pemain dari tim Heesun sangat besar.

Heesun menyeberangi lapangan dengan kepercayaan diri penuh. Memang gadis itu selalu percaya diri.

Yoonseo mengejar Heesun seperti ia akan memangsanya. Ia takkan terima jika ia harus kalah. Ia terlalu banyak menerima kekalahan dalam hidupnya. Heesun adalah salah satu yang ia benci selain keluarganya.

"Hati-hati, Heesun-ah!"

Jimin ingin sekali menggendong adiknya itu untuk menjauh dari Yoonseo. Tidak mengejutkan jika Yoonseo bermain curang, karena ia memang terkenal menghalalkan segala cara untuk mengalahkan lawannya.

Bukan fokus pada kekalahan, namun lebih pada seberapa tersakitinya sang lawan secara fisik maupun mental. Ya, ia punya kelebihan yang seperti setan tersebut. Seribu-satu orang yang bisa begitu, bukan?

"Park Heesun!"

Jantung Jimin seperti tergelincir dari perosotan. Wajahnya berubah pucat lantaran melihat adiknya terjatuh dan wajahnya menghadap tanah dan bersentuhan langsung dengan rerumputan basah. Sebuah jeda dengan peluit dibunyikan tanda pertandingan dihentikan untuk sementara, dan kini musuh-musuh Heesun tertawa dengan segala kemenangan di wajah mereka. Tak terkecuali Yoonseo yang memicingkan mata pada Heesun.

"Kau ini bodoh atau bagaimana?! Tidak tahu aturan bermain bola tangan, ya?!" teriak Jimin sementara tim medis sekolah langsung membersihkan darah yang bercampur tanah dari wajah Heesun.

"Tidak lelah menyebutku bodoh? Pernahkah kau menyebut adikmu sendiri bodoh, seperti sekarang? Kupikir tidak." Lanjut Yoonseo sembari berkacak pinggang, "Bagus. Sekarang, setidaknya aku termasuk salah satu gadis cantik di Kyuhak karena Heesun mendapat koreng di wajahnya setelah sembuh nanti. Hahaha."

Pak Choi langsung memanggil Yoonseo dengan nada bicara yang tinggi. Yoonseo tidak mempermasalahkan dirinya, apakah ia akan dihukum untuk makan rumput teki di halaman belakang ataukah ia harus membuang rontokan daun musim gugur sampai satu bulan lamanya. Satu kemenangan yang ia raih sekarang: membuat Heesun jelek, walau sementara.

Setelah Heesun yang masih pingsan dibawa ke ruang kesehatan sekolah, beberapa siswa yang membantu Jimin menggotong tubuh Heesun kini kembali ke lapangan sementara Jimin berada di sana untuk menemani sang adik.

Di samping ranjang, duduk dan menatap wajah penuh lecet dan warna keunguan di beberapa tempat akibat bengkak seakan menjadi satu-satunya yang dapat ia lakukan untuk saat ini. Ia tak berbicara pada Heesun karena ia tahu, wajahnya terasa perih sekarang.

"Aku tahu ini sakit. Kau tak perlu berbicara dan biarkan aku yang berbicara saja."

Heesun membuka kedua matanya yang bengkak, menatap Jimin yang berwajah datar dengan tatapan lemahnya. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya sebanyak dua kali. Dan Jimin tahu apa arti dari kedipan itu.

Ia mulai berbicara lagi, "Aku akan memberi pelajaran pada Yoonseo. Lihat saja nanti, saeng." Dan Heesun hanya mengedipkan matanya satu kali, membuat Jimin mendengus kasar sembari memukul jidatnya kesal.

"Percuma," ujar Heesun lemah.

"Kubilang jangan bicara. Kau dengar aku atau tidak?"

"Dengar, kok."

"Jika kau berbicara sekali lagi, kau takkan kuanggap lagi sebagai adikku."

"Ha. Ha. Ha. Kau takkan benar-benar bisa tega melakukannya."

"Jadi, ini sebuah tantangan?"

"Bagaimana jika ini menjadi permainan di antara kita? Seperti latihan."

Jimin menautkan kedua alisnya. Apa yang dimaksud dengan latihan oleh Heesun? Jimin memajukan kursi yang didudukinya dan menatap Heesun lekat-lekat. Ia samasekali tidak terganggu dengan luka-luka itu. Menurutnya, apapun yang ada di wajah Heesun, itu akan tetap membuatnya tetap sama cantiknya.

"Latihan apa? Apa yang kaubicarakan?"

"Kau perlu banyak mengasah kepekaanmu, oppa."

"Jadi, ini latihan kepekaan?"

"Bukan."

Heesun menyentil dahi sang kakak dengan kekuatan yang minim. Namun Jimin, dengan segala kekuatan dalam dirinya menjadikan momen itu ekstra heboh, hingga Heesun tertawa di tengah rasa sakitnya wajah yang penuh luka. Dan itu bukanlah yang Yoonseo harapkan. Mereka seharusnya diam dan larut dalam rasa bersalah. Terutama Jimin.

Pikir Yoonseo, sebagai kakak ia harusnya merasa lalai dalam melindungi Heesun sehingga ia akan diam saja dan tenang sampai sembuh.

Yoonseo menatap mereka berdua dari celah pintu ruang kesehatan yang sedikit terbuka. Hanya ada mereka, dan Yoonseo tidak menyukai itu.

***

Siswa-siswi dipulangkan lebih awal pada pukul satu siang agar mereka dapat beristirahat untuk menyambut ujian-ujian yang akan diadakan hari Senin depan. Yoonseo berjalan dengan girang, keluar dari sekolah. Kaki-kaki bahagia itu terhenti oleh kehadiran seseorang yang menunggu Yoonseo. Lelaki itu bersandar di tiang rambu-rambu jalan yang menghimau agar tidak parkir di area tersebut.

Min Yoongi.

"Min Yoonseo. Wow sekali."

Yoonseo melihat kakaknya itu dengan sinis. Lanjut Yoongi, "Aku melihat pertandinganmu dari kejauhan tadi. Siapa teman yang kaucelakai itu?"

Yoonseo berdecih, "Dia bukan teman."

"Ckk. Apakah itu adalah orang yang membuatmu kesal?" Yoonseo mengangguk kecil.

"Mau apa melihatku, oppa?"

"Apakah aku tidak boleh menyaksikan adik kecilku ini bertumbuh?"

"Bukan seperti itu ... kukira kau datang padaku, sekarang ini, untuk meminta uang."

Yoongi memasang wajah terkejutnya yang lama-lama berubah menjadi sebuah seringai disertai dengan kekehan kecil yang terdengar cukup jahat. Ia menegakkan tubuhnya dan mendekati Yoonseo. Kini, wajah mereka hanya berjarak tidak lebih dari tiga puluh sentimeter.

"Aku memang berniat meminta uang padamu. Kemarikan."

Yoonseo memeluk tasnya yang tengah ditenteng. Untuk jajan dengan uang saku dari ibunya saja, ia enggan. Apalagi untuk diberikan pada Yoongi. Walau ia saudara Yoonseo, namun Yoonseo sendiri harus bersikap egois. Yoongi tidak mengerti keadaan keluarganya saat ini. Sebab itulah, Yoonseo tidak memberikan sepeserpun dan berlari begitu saja.

Sial. Yoongi berhasil mengejarnya dan kini, Yoonseo meronta akibat genggaman di pergelangan tangan yang cukup kencang. Yoongi begitu banyak menggunakan kata-kata ancaman, dan itu menarik perhatian seseorang yang tengah berlalu di jalan tersebut.

"Bajingan mana yang berani menyakiti seorang perempuan?"

Di mata Yoongi, lelaki yang memergokinya tersebut hanyalah seorang siswa biasa yang sangat menjengkelkan. Yoonseo tidak tahu harus berkata apa, karena yang memerhatikannya saat ini adalah kakak dari orang yang ia benci.

Bagaimana Yoonseo harus bersikap?