webnovel

Ditolong Pak Gadut

Anak-anak yang lain sepulang sekolah bisa bobo siang, bobo cantik, dan bisa bermain. Aku? Begitu balik dari sekolah, aku mesti buru-buru makan siang, kadang kalau tidak sempat aku mesti membungkus nasi dan lauk di dalam wadah yang dibuat mamakku dari anyaman daun bengkoang. Mamakku jago sekali dalam hal ini! Sering tidak punya lauk, jadi cuma bawa nasi, garam dan cabai rawit hijau dan merah. Kalau lagi ada maka dibungkus di dalam plastik. Sering juga bawa ikan asin dan ikan tri.

Pernah beberapa kali aku malas menggembala lembu-lembuku. Aku sembunyi di tengah-tengah tanaman jagung yang tingginya sudah lebih satu meter. Kadang juga di atas atap rumah. Atap yang berupa dahan-dahan rumbia yang sudah kering dan disusun rapi lalu diletak di bawah atap seng agar terik panas tidak lansung terasa oleh seisi rumah.

Ayahku, sepulang dari bekerja menderes kebun karet di gunung, ia mendapati lembu-lembu kami masih di kandang, bahkan Cimun sudah melompat sejak tadi sebab telat dibukakan kandang. Cimun memang sering tidak sabaran, locatnya setinggi satu meter kadang membuat pagar yang tingginya satu setengah meter menjadi rusak. Perbaiki lagi dan rusak lagi.

"Balik ke rumah, Daud, makan, makan!" kata ayahku, dia tahu aku mendengarnya dan dia tahu aku sembunyi di dalam tanaman jagung. Begitu cara ayahku marah. Menyuruh pulang dan makan saja usah ngapain-ngapain, begitu maksudnya. Tentu makna sebenarnya tidak begitu. Mungkin dia menebak, sebab aku lumayan sering sembunyi di situ. Aku merasa bersalah, ayahku yang lelah sepulang kerja harus menggembalakan lembu lagi hingga sore hari, kira-kira selama lima jam lebih.

Sering sekali sewaktu aku pergi menggembala, anak-anak sekolah berpaspasan dengan kami. Mereka naik angkot, memang jamnya anak SMP pulang. Kami yang SD sudah pulang setengah jam lalu. Tak jarang juga diketawain, diejek, anehnya aku tidak sakit hati, juga tidak malu sebab masih SD, bodo amat dengan malu pada orang yang lebih tua dariku.

Pastinya aku melewati rumah teman-teman sekelasku yang di tepi jalan raya. Terkadang mereka makan siang sembari melihat orang-orang lewat. Aku pun malu-malu tersenyum gitu. Apalagi saat mata kami saling bertemu, terlebih apalagi dia adalah cewek, apalagi yang cantik itu, yang rumahnya berdampingan dengan teman cewek juga, si Ifah dan Uni.

Ifah tinggi, putih, cantik manis, kurus. Uni pendek, itam, manis berisi sikit. Percuma aku malu berlebihan, dia tak suka padaku aku pun tak suka pada dua orang itu, tapi herannya aku sedikit malu. Anak kecil memang diuntungkan usia, malu tapi tidak berarti karena suka. Malah aku suka diam-diam pada seseorang, tidak pendek, tak pula tinggi, sedang-sedang saja, cantik, oh tapi malu sekali jika ia tahu aku suka. Bukan Eni, yang gara-gara dia aku dipukul sampai susah jalan itu! Eni memang cewek paling berbobot dari segi pisik, putih, tinggi tidak kirus, cantik, manis juga, orang Gayo, cocok kalau sudah besar nanti jadi pramugati. Tapi entah kenapa aku punya dendam benci padanya gara-gara pristiwa ribut di kelas itu. Cuma aku yang ribut, Eni? Sungguh tak kusangka!

Untuk Eni, jika kelak kau membaca tulisanku ini, kuharap kau minta maaf pada dua malaikat pencatat amal buruk dan amal baik. Aku sudah memaafkanmu, Eni, tapi perlu kiranya kau beristighfar dan menyadari kesalahanmu, agar catatan itu dihapus malaikat. Sebab kau telah membenciku sendirian, padahal kawanku yang lain juga ribut. Tak dendam si, cuma kalau diingat-ingat, agak kesel dikit aja. Cuma aku yang ribut? Tak kuduga! Aku sampai dipukul Pak Arat dengan gagang sapu, sapunya sampai patah. Aku tidak bisa jalan dengan baik. Memang salahku ribut di kelas, tapi kenapa cuma aku? Oh ya? Kudengar cerita kawan yang lain, Eni pacar pak Arat, padahal kami masih kelas enam SD, tapi memang Eni tinggi, seakan ia sudah cocok jadi anak SMP.

Sebelum jembatan Pante Dona jadi, jembatan penghubung yang melintang memanjang di atas sungai alas itu, suatu hari ada berita orang hanyut.

Dicari-cari selama tiga hari berturut-turut. Kronologinya dia sedang memancing di sungai, lalu pancingannya tersangkut, ia ambil, tak pandai berenang, akhirnya terbawa arus. Menurut dukun setempat, jasadnya masih di sekitar situ, tidak dibawa arus, padahal sudah tiga hari dicari tidak ketemu. Bahkan air sungai sangat bening sekali. Tiba di hari keempat, ketemulah mayat itu. Benar mayatnya tidak dibawa arus. Mayatnya nyangkut di pohon besar yang menetap di tengah sungai yang dalamnya lebih lima meter. Sudah membusuk dimakan air. Bagian wajah sudah hancur, hampir tak dapat dikenali. Ketika itu aku masih kelas lima Sekolah Dasar. Aku lihat jelas depan mataku. Orang begitu ramai berdatangan. Beritanya viral sekabupaten.

Begitu pulang ke rumah sewaktu sore, selepas menggembala, aku masih teringat-ingat, terlintas terus di memoriku, menghilangkan nafsu makan. Harusnya memang anak di bawah umur dilarang melihat. Tapi begitulah kejadiannya, bahkan lebih bocil dariku, digendong emaknya, dia juga melihat, tahun 2005 kejadian itu.

Kami yang orang penggembala, sering dan akrab dengan sungai pasang, baik bening atau warna kuning seperti tanah sebab hujan. Kami tetap menyeberangi arus. Agar tidak dibawa arus kami akan berpegangan dengan lembu, memegang ekornya. Sebab badan lembu tidak bisa dipegang, tidak dapat pula dipeluk, kecuali lembu jantanku si Boguh, tapi Boguh juga kadang tahu bahwa aku akan minta tolong ke dia. Sebab dia punya undakan di badannya buat aku pegang.

Cepat-cepat Boguh menyeberang duluan agar ia tidak dibebebani olehku. Kalau aku tetap ingin mengejarnya, maka bisa jadi lembu-lembu yang belum menyeberang tidak mau ikut menyeberang. Maka aku harus ikut lembu terakhir. Sudah pastilah ikut si Khonjang, si paling gemoy dan si paling lambat. Khonjang adalah ketua rombongan yang disengani, tak satu pun yang berani padanya, cukup ia lirik, lembu yang lain paham akan kesalahannya lantas tak jadi berbuat salah. Tapi kalau soal makan, mereka semua sepakat bahwa tak ada kata siapa duluan dia dapat, semua sama rata, tidak ada lagi kesenjangan sosial setelah keluarga Mbulan berkuasa. Seperti Cimun misalnya yang selalu lari ke depan dan makan-makan tanaman orang seenaknya, harusnya Khonjang memarahi dia, tapi sering juga Khonjang malah ikutan makan tanaman orang sewaktu aku lengah.

Sungai alas sudah banyak memakan korban. Aku saja hampir meninggal dunia pada tahun 2006 akhir tahun. Aku kelas enam SD. Aku dibawa arus yang berputar-putar, aku tertelan ke bawah. Kebetulan celana yang aku pakai adalah celana jin panjang, padahal sudah tahu tidak boleh memakai celana panjang yang menyerap air banyak, sudah pasti berat. Aku bersusah payah mengayuh dengan kedua tangan menuju tepian, napasku hampir babis, badanku lemah dan lelah.

Tiba-tiba muncul lah Pak Gadut, orang yang dikenal lihai dalam segala situasi sungai. Orangnya bekulit gelap, jauh lebih gelap dati kulitku. Gara-gara terkena sinar matahari dan keluar masuk sungai. Tinggi sekali, kurus, tapi bertenaga, kerjanya menangkap ikan dengan jala. Tak pandang musim hujan atau kemarau, setiap hari menangkap ikan. Bahkan hingga malam tiba. Sebagian orang melabeli beliau sebagai hantu sungai. Beliau melihatku lalu mendekatiku, beliau mengulurkan tangannya, alhamdulillah aku tertolong, aku selamat dari tenggelam. Padahal tinggal lima meter ke tepi, tapi aku tidak mampu lagi berkayuh.

Tiba di darat aku langsung rebahan, aku pejamkan mata, berkunang-kunang, napasku setengah-setengah. Lama aku rebahan. Pak Gadut lanjut menjala. Tak ada satu patah kata pun dari dia. Begitu aku sudah baikan, sudah ada tenaga, kulihat ia masih menjala di sekitarku, lalu aku ucapkan terima kasih banyak, kemudian aku pergi menemui lembu-lembuku dan teman-temanku yang sudah pergi duluan sejak tadi.

Allah belum memanggil ajalku, Allah kirimkan sosok yang aku kenal menolongku. Hingga hari ini aku tidak dapat melupakan beliau, kalau beliau masih hidup semoga Allah sehatkan dan mudahkan segala urusannya, jika beliau telah tiada, semoga Allah lapangkan kuburnya, Allah berikan rahmat padanya sebab pernah monolongku, orang yang beliau tolong, kelak akan masuk pesantren Darul Amin dan bahkan belajar agama ke negeri nabi Musa, masih ada ataupun telah tiada, alfatihah untuknya.

Kejadian ini adalah sewaktu menyeberang ke pulau tempat kami menggembala, di pulau ini terdapat tanaman tebu, ubi akar dan ubi jalar.