webnovel

4. Mengakhiri dengan Browniesku

"Jadi sejak kapan kamu menunggu?" todong Felli. "Yuki, kalian pacaran lagi?"

"Aaahh.. enggak aaah.. ini tadi ketemu secara ngga sengaja pas istirahat usai saintek tadi kok..." aku membela diri.

"Iya, tadi kami kebetulan ketemu aja..."

"Lalu kamu nggak cerita ke kami gitu?" Felli masih sewot.

"Lhaaa.. aku tadi pusing abis ujian, yaa ngga ingat juga." Ku pandang wajah Zaki, cowok yang memiliki wajah imut dengan mata langsung hilang saat tersenyum dan tertawa ini, "Kan aku sudah nyuruh kamu pulang? Kenapa masih nunggu?"

"Kan aku sudah bilang, aku lagi kangen sama kamu..."

"Kamu lihat sendiri kan, aku bareng teman-teman.. Lihat tuh, mereka jadi marah ke aku kan..."

Felli melotot padaku, lalu membuang muka. Felli adalah orang yang tak setuju aku pacaran dengan Zaki. Jadi selama aku pacaran gaje dengan Zaki, Felli selalu nyinyirin aku dan nyindir aku.

"Maaf ya Kak," ucapnya lesu kepada kedua kawanku. "Tadinya aku hanya ingin mengajak Yuki pulang bersama saja. Tapi jika memang aku mengganggu, aku pergi saja..." lalu dengan enggan, dia bangkit dari duduknya.

"Tunggu..." perintah Felli dengan suara ketus.

"Ada apa lagi kak?"

"Yuki, kamu mau ikut dengan dia?" tanyanya padaku. Aku hanya mengangkat bahu, karena aku sendiri merasa tak punya apa-apa untuk dibahas lagi dengan dia.

"Lalu kamu Zaki, ada urusan penting apa sampai mau nungguin dia lama-lama kayak gini?"

"Aku hanya ingin membahas hal yang masih jadi tanya besar di kepalaku, kenapa tiba-tiba saja dia memutuskanku dengan sepihak. Hanya lewat SMS..."

"Jadi, kamu masih suka dengannya?" Zaki hanya diam seribu bahasa.

"Jadi beneran mau bawa dia dulu?" Felli masih menodong kayak orang tua yang posesif sama anak gadisnya.

"Aaahh.. Fel.. biarin aja aaah.. kamu malah bikin Zaki takut!" timpal Chesi, Zaki masih diam seribu bahasa.

"Zaki...." suara Felli dengan tegas.

"Kalau diizinkan aku pinjam Yukinya dulu..."

"Kamu sendiri gimana Ki?"

Kulihat tatapan Zaki yang penuh harap.

"Kamu mau ngomong apa lagi? Bukankah kita sudah berakhir?"

"Aku mohon kamu ikut dulu denganku, biar kita bicarakan masalah ini berdua."

Kulihat ke arah Felli dan Chesi, Chesi mengangguk, dan Felli hanya mengibaskan tangannya menyuruhku pergi dengan wajah tak rela.

"Ya udah, aku pergi dulu ya..." pamitku pada mereka.

"Hati-hati jagain teman kami!" cetus Felli, dan Zaki hanya mengangguk kikuk.

Sebelum mulai jalan, dia menyerahkan helm, "Kawan-kawanmu sungguh sangat posesif..." celetuknya.

"Hehehe, gitu ya..."

***

Kami berhenti di sebuah kafe, dia menyilakan aku masuk dan duduk. Hmmm, ini berapa bayar makan di sini ya? Duuuh, sial.. aku nggak bawa uang lebih.. bener-bener hanya untuk ongkos, batinku.

"Kamu mau makan apa?"

"Hmm, aku nggak usah.. tadi udah makan sama yang lain kan?"

"Udah makan? Bukankah tadi kalian belum sempat mesan makanan?"

"Ooh, iya.. hmmm...kalau gitu es teh manis aja..." mungkin untuk itu masih cukup.

"Kamu mengkhawatirkan uang ya? Tenang.. aku yang bayarin.."

"Jangan...!! Nggak usah.. Kita kan hanya bicara sebentar..."

"Tapi kamu pasti lapar, kan habis meras otak..." benar sih katanya.

"Nanti aku makan di rumah aja.."

"Tapi aku kan mau bicara..."

"Lhooo.. bicara kan cuma sebentar...."

"Yaaa...ini kita udah lama nggak ketemu kan, dulu pun kita jarang sekali ketemu. Kalau pun ketemu, kamu udah buru-buru minta pulang."

Iya, soalnya aku tu nggak nyaman jalan sama kamu. Hmmm.. mungkin sama kamu tu aku beneran pacaran, tapi hati aku tu nggak ada kamu...

"Kenapa diam saja?" tanyanya.

"Ya, lalu kenapa?"

"Nggak, aku hanya ingin kita selayaknya pasangan pada umumnya, jalan-jalan, nonton, makan bersama..."

"Yaaah, kamu lihat sendiri aku kan? Kamu masih sekolah, sedangkan aku pengangguran. Kalau kamu lihat temanmu begitu, kenapa nggak cari aja pacar kawan sebaya denganmu?"

"Kita sebaya kok, hanya saja kamu masuk sekolahnya kecepetan..."

"Maksudku kenapa ngga cari pacar anak sekolahan aja? Kan banyak tuh? Kami ganteng kayak oppa-oppa Korea kok.. pasti banyak yang suka..."

"Tapi aku sukanya sama kamu...!"

"Udah, kita kan sudah berakhir.. Kamu bebas memilih yang lebih baik daripada aku..."

"Aku maunya sama kamu.. Please terima lagi aku jadi pacar kamu, aku seperti kehilangan duniaku saat kamu mutusin aku secara sepihak dengan alasan fokus ujian masuk perguruan tinggi. Sekarang kamu sudah selesai kan, berarti kamu sudah ngga perlu lagi mikirin belajar buat tes PTN lagi..."

"Hmmm...masih mikir tuh, menunggu hasil..." Apa dia terlalu naif? Apa dia tidak berpikir itu hanya sekedar alasan buat mengakhiri semuanya? "Gimana tadi ujiannya?" kualihkan pembicaraan.

"Yaa lumayan..." jawabnya pendek dan memilih-milih menu makanan. "Aku aja yang pesenin ya, udah siang gini masa nggak mau makan.." aku hanya garuk-garuk pelipis tak memungkiri itu.

Akhirnya aku makan dengan menu yang dipesan kan mantan, makan penuh dengan rasa jaim.. 😂 duuuhh nyiksa banget makan kayak gini.

Zaki telah menyelesaikan makannya sedari tadi, aku baru menyelesaikan suapan terakhir. Gara-gara lapar, akhirnya rasa malu ditraktir mantan aku buang. Yang penting perut kenyang dulu. Nanti lanjut lagi bicaranya.

"Kamu nanti mau masuk mana ZaKi?"

"Aku lagi mencoba ambil di luar. Kalau nggak Undip, atau ITS..."

"Waaahh, jauh amat. Nanti malah besar ongkos bolak balik looh.."

"Iya, orang tua ngizinin kalau seandainya jebol di salah satunya."

" Ooohh..." ternyata anak olang kaya. Aku sendiri tak tahu dan tak mau tahu. Kenapa dia mau sama aku yang pengangguran kismin ini?

"Yuki, kamu masih mau kan terima aku lagi?"

"Kayaknya kita temenan aja deh Zaki, kamu bisa bebas untuk pacaran dengan siapa aja. Banyak cewek cantik loo.. Pasti banyak yang suka sama kamu."

"Kan tadi sudah aku bilang, sukanya sama kamu..."

"Tapi nanti kamu nya akan jauh lhoh?"

"Aku akan tetap setia sama kamu..."

Aku sudah menjalani kisah LDR, bagiku itu mudah, tapi belum tentu bagi laki-laki itu juga mudah. "Aku tak yakin... Lebih baik kita temenan aja ya Zaki, aku takut mengikatmu dalam sebuah hubungan. Nanti di sana kamu akan banyak menemukan cewek yang lebih cantik, lebih anggun, lebih ayu dibanding aku yang bukan apa-apa ini..."

"Yuki.. please.. terima aku.. aku akan jadi pacar yang setia untuk kamu..."

"Jangan memohon kayak gitu, aku tak pantas untuk dilakukan seperti itu.. Lihat lah kamu Zaki, kamu itu sempurna menjadi laki-laki. Tinggi, dan wajahmu tampan.. Pasti tak susah untuk dapat yang lebih baik dari aku.."

Rona wajahnya berubah, "Ayo kita pulang..." dengan dingin dia berjalan duluan menuju kasir dan membayar makanan.

Dia menunggu di parkiran, rasanya enggan untuk pulang dengannya saat dia sendiri dalam keadaan jengkel seperti itu. Ku dekati, dan dia bersiap untuk menghidupkan motornya. Karena aku tak kunjung naik dia kembali menoleh, "Naik lah, akan aku antar sampai dengan selamat.."

"Nanti aku akan ganti uang makan yang kupinjam tadi."

"Tak usah! aku ikhlas.. Naiklah!"

"Pasti akan kuganti, tapi kamu pulang lah sendiri. Aku akan naik angkot."

"Naiklah! Aku tak mau dibilang tak bertanggung jawab tidak mengantarkan mu pulang dengan selamat setelah membawamu pergi!"

"Tenang, nanti kalau mereka nanya aku bilang kamu ngantar aku dengan selamat.."

"Ayo naik!!" bentaknya, membuatku kaget dan takut. Aku mundur dan segera ke arah jalan lalu menyeberang. Dia mengejar dan angkot jurusan rumahku sudah datang. Dia datang, dan aku segera naik angkot, dia terus menatap ke arahku dengan wajah kecewa dan marah.

Kamu boleh marah Zaki, semoga dengan ini kamu tak menginginkan ku lagi. Kamu bebas bisa berpacaran dengan siapa saja. Kamu itu sempurna sebagai laki-laki. Hanya hatiku tak bisa memaksakan kamu masuk karena sudah terisi oleh satu nama, meski itu sesuatu yang tidak mungkin.

***

Pengumuman setelah perjuangan satu tahun akhirnya datang juga. Tapi semalam aku sudah tahu, melalui internet bahwa aku lulus di Ilmu Hukum Universitas Andalas. Langsung ku lihat untuk Chesi, tapi… ternyata… sedih juga mengatakannya… Chesi tidak lulus seleksi.

Sebenarnya aku sempat kecewa, kenapa aku lulus di Hukum ini? Kenapa tidak di Pendidikan Bahasa saja? Sungguh… aku sangat mencintai dunia sastra… tapi… aku lulusnya di pilihan kedua… kenapa tidak Sastra aja yang ku letakkan di pilihan kedua ya? Kalau Kesehatan Masyarakat, aku sudah yakin tidak akan Jebol… untuk kemampuan Alam, aku hanya bisa berdoa "mudah-mudahan tidak minus."

FLASH BACK OFF

***

Saat ini, aku sedang tidur-tiduran di atas sofa teringat semua masa lalu yang ku lewati setahun terkhir ini. Aku sedang istirahat, karena kemarin sore adalah hari terakhir OSPEK jadi mahasiswa baru. Namun, kali ini namanya bukan OSPEK, namanya diubah jadi perkenalan kampus mahasiswa baru, tapi prinsipnya sama dengan OSPEK. Aku merasa sangat lelah, dan kesal selama OSPEK kemarin senior suka kali ngerjain aku, walau pas terakhirnya mereka semua minta maaf…

Cincin kesayangan pemberian Harry hilang karena ada senior memaksa membuka cincin kesayangan yang sudah melingkari jari manisku sejak dikirim dulu padaku pasca kami jadian. Padahal itu cincin yang terbuat dari emas putih, dimana aku sangat menyayangi cincin itu.

Besok adalah hari pertama kuliahku. Ternyata… perasaan setelah menjadi mahasiswa, jauh berbeda dengan perasaan menjadi seorang ex-pelajar yang mencari kerja di sana-sini. Agak sedikit norak, kulukiskan dalam tulisan

Bagaikan berada di puncak paling tinggi

Hati laksana terbang ke surga

Fikirku akan terisi

Oleh kematangan dunia

Dan serasa akan jadi lebih dewasa, pikiran akan lebih maju dari sebelumnya, yang jelas aku akan sibuk dalam dunia pekuliahan ini.

Entahlah… aku berdoa bisa bertahan hingga tamat nanti, karena… HUKUM ini hanya asal pilih saja. Dahulu, besar sekali harapanku di Pendidikan Sastra, karena aku senang menulis, menulis apa saja… kalau nggak otakku sudah asyik berada di negeri antah berantah sehingga orang-orang melihatku seperti orang bengong. Padahal otakku sibuk berputar-putar menciptakan dunia sendiri, karena itu dari pada bengong langsung ku ambil buku dan bulpen lalu langsung ku tuliskan semua isi otakku dalam buku. Selesai ku tulis, tulisan itu langsung diketik, dan membuatku bercita-cita menjadi seorang sutradara ataupun penulis dan kerja sampingannya sebagai guru pelajaran Sastra yang mengajarkan siswa tentang keindahan sastra. Tapi… lebih baik lulus di Hukum dari pada jadi orang yang terombang-ambing dalam kebingungan.

*bersambung*