webnovel

ARAGA 2

"Sudah baikkan?" Akhirnya suaraku dapat muncul sesaat setelah aku memberhentikan langkahku di depannya yang sedang duduk

"Ya," cicitnya kecil

Kurasa dia lemas. Aku membiarkan dia istirahat sementara waktu

"Bolehkan aku menuntunmu sampai ke ruangan Profesor?" Lanjutku setelah aku memastikan bahwa dia bisa menjawabnya dan waktu istirahatnya cukup

Dia mendongkak ketika aku mengulurkan tanganku maksudnya untuk mengajak dia bangkit dari duduknya di situ. Tapi dia langsung diam ketika menatap wajahku. Apakah ada yang aneh dengan wajahku? Apa ada noda liur karena tadi sempat tertidur? Apa ada mata panda di bawah mataku? Oh ayolah. Bukan hal seperti itu yang harusnya aku pikirkan.

"So?" Kataku kemudian untuk memastikan dia mendengar apa yang aku katakan.

Tapi dia menggeleng. Tidak mau?

"Why?" Kataku tidak mengerti maksudnya

Aku bermaksud mensejajarkan tubuh ku dengan tubuh dia yang duduk. Aku berjongkok dengan satu lutut menyentuh lantai di depannya dengan senyum tak lepas dari bibirku. Sudah ku bilang bukan, ini adalah kebiasaan yang aku berikan jika bertemu seseorang. Bermaksud ramah pada setiap orang. Itulah yang ada di pikiranku.

"Maksudku, ya silahkan," katanya setelah cukup lama tak bergeming sambil menatapku.

"Untuk?" Aku masih tidak mengerti

"Menuntunku," aku diam, "ruangan Profesor?" Ah jadi itu maksudnya. Aku sedikit mengantuk mungkin jadi pikiranku kacau.

Aku tersenyum. Jadi aku dan dia sedikit pusing. Okay aku memakluminya. Pasti sangat melelahkan berkelana di dunia mimpi. Hanya saja aku penaSairan apa yang ada di kepalanya saat pembaca pikiran itu terpasang padanya. Untuk saat ini jangan ditanyakan dulu.

Aku menegakkan kembali tubuhku. Berdiri dan menggantungkan tanganku di depan wajahnya lagi bermaksud menuntunnya. Cukup lama ia membalas uluran tanganku.

Aku tersenyum semakin lebar. Bukan bahagia. Tapi cukup senang dia menerima tanganku. Lalu menuntunnya ke ruangan profesor di lorong lain. Cukup jauh tapi aku rasa aku akan 'menikmatinya'.

Aku tidak banyak bicara. Aku hanya bisa merasakan tangan hangatnya mengenggam tanganku. Aku sempat merasa cocok dengannya. Tangannya sangat pas aku genggam. Entahlah perasaan darimana ini. Tapi setidaknya aku merasa nyaman di dekatnya.

Aku berhenti di ujung lorong dengan pintu ruangan yang tinggi berwarna coklat yang kontras sekali dengan tembok berwarna putih. Aku melepaskan genggamanku, rasanya aku seperti kehilangan karena sedari tadi aku menggenggamnya. Tangannya maksudku.

Aku menekan tombol di samping pintu itu, memasukkan beberapa digit nomor sebagai kata sandi untuk bisa masuk ke dalam sana. Dan setelahnya pintu terbuka lebar secara otomatis.

Aku menarik gadis itu masuk kedalam. Kembali menggenggam tangannya. Dan aku rasa dia tidak keberatan. Di dalam sini terdapat meja besar yang menghadap langsung ke pintu utama tadi. Dan kursi putar yang bisa berputar 360°.

Papan nama Profesor Gemma C terpampang di atas mejanya. Sampai saat ini aku tidak berani bertanya dan tidak tau apa huruf C di belakangnya itu. Sebenarnya cukup penaSairan tapi siapakah aku yang bisa seenaknya menanyakan masalah pribadi seseorang?

"Permisi Prof, aku membawakan gadis yang kau minta tadi."

Sebenarnya, kata-kataku barusan seakan aku akan menyerahkan gadis kecil pada seorang pria tua untuk adegan nakal. Tapi bagaimana lagi, aku sudah mengeluarkan suaraku seperti itu. Tidak bisa ditarik lagi.

Aku melepaskan tangannya karena cukup lama aku menggenggamnya.

Profesor Gemma yang sedari tadi duduk membelakangi pintu utama, berputar menghadap ke arah kami. Maksudku aku dan gadis di sampingku.

"Terima kasih Araga," kata Profesor tersenyum ramah.

Lihat? Profesor juga berusaha ramah pada setiap orang. Aku mengikutinya untuk bersikap sopan.

"Kalau begitu aku permisi untuk pamit Profe.."

"Tidak," katanya memotong perkataanku, "kau bisa di sini sebentar menemani gadis kecil ini," katanya melihat ke arahku

"Perkenalkan dirimu manis," lanjutnya

"Oh, aku Saira," katanya, "Saira Clayer." Suaranya cukup lembut untuk anak berumur lima belas

Aku melihat Profesor Gemma yang kaget. Entahlah, aku merasa agak canggung di sini. Hanya mereka yang bertatapan dan aku hanya menonton. Aku menggaruk tekukku pelan walau tidak gatal. Untuk menghilangkan rasa canggung saja.

"Clayer?" tanyanya

"Iya Prof," kata gadis itu. Masih seperti biasa dengan wajah datarnya tanpa senyum dan seperti tidak ramah.

"Oh baiklah, berapa umurmu?"

"Tahun ini enam belas Prof." Baiklah, perkiraanku benar

"Tepatnya?"

"Dua puluh tujuh di bulan Desember Prof."

Profesor mengangguk, "kau tak ingin tau mengapa kau dipanggil ke sini, Saira?" lanjutnya.

Aku yang penasaran. Kenapa? Harus ke ruangan Profesor. Tidak seperti biasanya. Tidak ada sebelumnya kejadian seperti ini. Sungguh. Hanya dia. Seistimewa itukah dirinya?

Gadis itu menggeleng. Oh mungkin dia bercanda.

"Kau tak ingin tau, huh?" tanya profesor

Lagi. Gadis itu menggeleng.

Apa dia benar-benar tidak penasaran? Oh ayolah.

"Kau." Profesor Gemma berdeham sedikit, lalu melanjutkan kata-katanya yang sempat terputus tadi, "aku akan bertanya langsung saja. Apa kau belajar memblokir pikiranmu?" kata Profesor to the point

"Apa?" kataku dan gadis itu dengan berbarengan. Benar-benar tidak sengaja dan itu refleks rasa kaget pada diriku dan mungkin dia juga

Profesor Gemma terkekeh kecil membalas pertanyaan aku dan dia.

"Kalian cocok."

"Apa?" lagi. Jawaban yang sama dilontarkan gadis itu dan a..aku?

Cocok apanya? Profesor menjadi tidak jelas setelah ini. Apakah dia lelah. Mungkin saja lelah.

"Seperti yang aku tanyakan sebelumnya. Apakah kau memblokir pikiranmu, nak?" kata Profesor tanpa menghiraukan aku yang berkata 'apa' yang keluar dari mulutku sangat kecil.

Gadis itu menunduk dan diam sebentar.

"Aku tidak pernah belajar," pada akhirnya suaranya keluar lagi

"Maksudmu?"

"Ayahku pun sama," katanya, "tidak pernah bisa membaca pikiranku."

"Oh apakah kau pembaca pikiran?" kata profesor membuatku kaget

Tentu saja kaget. Kalau benar dia pembaca pikiran, maka,

"Kau tau?"

Ah. Aku ingin mati.

"Tentu. Dulu anakku sama. Pembaca pikiran keturunan istriku," katanya tersenyum.

"Jadi selamat bergabung di Sekolah Mata-mata ini, Saira Clayer?" katanya

Aku terbengong seperti orang bodoh.

Pertama, gadis itu pembaca pikiran.

Yang kedua dia bersamaku dari tadi.

Dan ketiga dia ada di sekolah mata-mata?

Gadis itu melirikku.

Tatapannya datar.

Lalu beralih ke Profesor.

"Kau di terima. Kau memiliki keahlian langka," katanya, "Araga tolong bawa dia berkeliling. Aku yang akan melanjutkan mengurusi pendaftaran sampai selesai."

"Ba..baik, Prof" shit! Kenapa aku jadi gugup

"Tidak usah gugup seperti itu, Araga," kata profesor sambil terkekeh geli

Astaga.

Bagaimana kalau gadis itu membaca pikiranku tadi?

Nyaman dengannya?

Oh ayolaaaah.

Dan ditambah lagi sekarang harus berkeliling dengannya? Dan kenapa tadi pikiranku kacau.

Aku terus menerus memaki diriku dalam hati. Semoga saja gadis di sampingku tidak mendengarnya.

"Aku mendengarnya."

Ah. Aku ingin mati sekali lagi.