webnovel

ARAGA 1

Peraturan masih sama ya, Araga sekarang menjadi karakter 'aku' di sini. jangan sampe bingung.

---------------------------------------

Aku sedang berada di belakang Profesor Gemma saat ini. Memperhatikan wajahnya yang sudah muram karena setelah tiga hari hanya mendapat satu siswa yang menurutnya pikirannya normal. Aku masih tidak mengerti yang Profesor Gemma cari. Tapi, pendaftaran seperti ini sudah diterapkan dari yang lalu-lalu. Termasuk padaku.

Aku adalah siswa terbaik menurutnya. Dan mungkin bisa dibilang aku adalah orang penting karena berada di sini. Karena bisa satu ruangan dengannya. Duduk di sampingnya. Menguji beberapa orang sampai tiga hari. Dan menghasilkan siswa yang baik.

Aku sempat tertidur dan Profesor Gemma tidak pernah marah. Mungkin dia mengerti yang terjadi padaku. Aku juga bisa lelah. Dan hebatnya Profesor Gemma, aku tidak melihatnya mengantuk.

Aku sudah melihat beberapa pikiran dan impian-impian orang dengan berbeda-beda tetapi intinya sama. Harta, tahta dan kepuasan duniawi. Mungkin itu yang dikatakan gagal oleh Profesor Gemma.

Siswa yang pikirannya normal adalah memikirkan orang lain dan tidak memikirkan dirinya sendiri. Aku hampir lupa, ah bahkan lupa waktu masuk ke sini memimpikan apa. Alat Profesor Gemma memang tidak di ragukan. Orang-orang pasti lupa apa yang mereka pikirkan disini.

Ini sudah hari ketiga. Dan hari ini mungkin sama sekali tidak ada siswa yang akan diterima seperti kemarin.

Profesor Gemma sama sekali tidak bisa percaya kepada siapapun untuk urusan pendaftaran. Aku pernah memberikan usulan bahwa pendaftaran tidak harus dilakukan setiap pergantian musim. Bagaimana jika hanya setahun sekali atau setahun dua kali paling cepat. Dia mengangguk dan setuju. Tetapi itu akan di terapkan tahun depan setelah pendaftaran ini selesai.

Aku di sini sudah dua tahun. Delapan musim aku lewati dengan latihan ekstreem dan misi luar biasa. Pelatih di sini dipercayai Profesor Gemma melatih anak didiknya menjadi mata-mata dan secret agent yang hebat dan hampir tidak terkalahkan. Aku memang ingin cepat lulus. Tapi setelah mengetahui fasilitas di sini memuaskan dan memadai rasanya aku ingin terus-terusan berada di sini.

Tapi di sisi lain aku merindukan orangtua juga adik kecilku. Sudah dua tahun ini aku tidak bertemu dengan mereka. Seperti yang seharusnya, tidak pernah ada yang keluar masuk seenaknya dari sini. Keluar hanya untuk menjalankan misi. Setelah itu kembali kedalam rutinitas pelatihan dan latihan. Dan itu adalah aturan yang sangat berbanding lurus dengan fasilitas di sini. Dimana di luar sana mungkin sangat dingin. Tapi di sini tidak pernah sedingin itu. Juga makanan yang mungkin tidak akan pernah habis.

Sekarang aku dan Profesor Gemma tengah menunggu orang ke 610. Gracilda dan Tara menunggu di pintu kiri ruangan kaca menerima calon siswa. Dan bertugas memasang alat pembaca pikiran dan impian kepada si calon siswa. Aku berharap siswa ini adalah siswa berbakat yang dapat masuk ke sekolah ini. Nomor antriannya sama denganku waktu aku masuk ke sekolah ini.

Di dalam ruangan kaca ada Rico sang ahli komputer menjalankan aksinya. Pikiran dan impian akan secara langsung masuk ke layar di hadapanku dan Prof Gemma.

Sedangkan Daniel dan Jack di sisi kanan bertugas melepaskan alat dan membawa sang calon siswa duduk di ruang tunggu sebelum masuk atau keluar gedung setelah lolos atau tidak lolos test pertama.

Aku menemani Profesor melihat impian dan pikiran sang calon siswa. Memperhatikan mana yang akan di masukkan atau yang tidak di loloskan. Memilih siswa dengan selektif yang harus dan tidak perlu di terima.

Profesor menekan salah satu tombol memberi tanda kepada Gracilda dan Tara untuk memasukkan calon siswa ke ruangan kaca. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan kaca di depanku.

Calon siswa kali ini perempuan.

Dengan bola mata hitam, hidung mancung, kulit putih dan rambut pirang diikat ekor kuda. Gadis yang ku taksir umurnya 15 tahun itu melihat sekeliling. Jarang orang yang masuk ke sini memperhatikan sekeliling.

Biasanya mereka akan langsung mengalihkan pandangannya dan memperhatikan komputer yang membelakangi mereka dan melihat wujud Profesor Gemma dan tersenyum atau hanya mengangguk kecil sebagai tanda kesopanan.

Berbeda dengan gadis itu. Gadis itu memperhatikan kabel-kabel yang terpajang di dinding kaca. Bola matanya seakan menyisir seluruh ruangan.

Baru perhatiannya ke komputer dan profesor Gemma setelah diarahkan Tara dan Gracilda. Tidak ada senyum. Wajahnya datar. Tidak takut dan tetap tenang. Ah mungkin saja di hatinya dia gugup. Siapa yang tau? Hanya dia dan tuhannya tentu saja.

Aku tidak sabar mendengar teriakkannya. Aku bukan psikopat yang punya kepuasan setelah mendengar teriakan kesakitan. Hanya saja itu sudah menjadi makanan untuk telingaku jika ada pendaftaran seperti ini.

Dan sudah hal yang lazim mendengar teriakan orang yang tertusuk jarum di pelipis dan lehernya karena itu benar-benar menyakitkan. Untung saja ruanganku ini kedap suara. Sehingga teriakan yang terdengar tidak terlalu memekikkan telinga. Hanya sebagian kecil yang terdengar.

Rico mulai memainkan alat canggih digenggamanya ketika alat-alat yang dipasang Tara dan Gracilda siap. Alat transparan itu akan membuat si calon berteriak keras. Rico yang berada di bagian ruang kaca tersebut sudah memakai alat di telinganya untuk meredam suara teriakan dari sang calon.

Tapi setelah cukup lama menunggu. Aku sama sekali tidak mendengar teriakan dari sang calon. Dia menahannya. Aku berpikiran gadis itu kuat luar biasa menahan rasa sakit itu. Seingatku, aku juga berteriak keras saat jarum itu di tusukkan.

Layar di depan Profesor Gemma dan milikku menyala. Tapi tidak ada gambaran. Hanya putih. Putih. Bersih. Tidak ada gerakan atau gambar berjalan seperti yang biasanya terlihat.

"Apa maksudnya ini, Prof?" Tanyaku bingung karena baru melihat hal semacam ini

Bukan menjawab pertanyaanku ia malah menekan tombol hijau.

"Hentikan progamnya," katanya kepada Rico

Rico mengangguk dan mematikan proses pembaca pikiran. Profesor lalu menekan tombol kuning dan menahannya.

"Tunda orang yang masuk."

Itu kepada Gracilda dan Tara yang berada di luar ruangan.

Lalu profesor berdiri dan berkata, "bawa gadis itu keruanganku Araga."

Setelah itu Profesor Gemma meninggalkan ruangan.

Aku mengangguk. Tidak pernah ada kejadian ini selama satu tahun aku duduk di samping prof Gemma. Ini baru terjadi. Dan aku dibuat bingung dan takjub seketika.

Aku melihat Daniel dan Jack sudah keluar dari ruang tunggu meninggalkan gadis itu. Aku lalu masuk dengan senyum di wajahku.

Sifatku memang seperti ini. Murah senyum kepada siapapun. Ketika aku masuk, aku lihat gadis itu tengah meneguk air putih yang di berikan Daniel tadi sebelum keluar dari sini.

Melihatnya seperti ini membuat aku gugup. Bisa jadi dia berbahaya untukku dan bahkan untuk gedung ini. Tidak ada yang tau kalau dia jahat atau bahkan di bisa menghancurkan diri sendiri sekaligus gedung ini bukan.

Senyumanku menjadi canggung ketika aku semakin dekat dengan dia. Semoga saja pikiranku salah tentang dia. Bahkan dipertemuan pertama saja dia membuatku ketakutan.

"Sudah baikkan?" Akhirnya suaraku muncul