webnovel

SECOND TIME

Mario Pratama, Mahasiswa UI yang meninggal terbunuh di rumahnya sendiri. Mendapat kesempatan kedua untuk menemukan siapa pembunuhnya karena polisi telah menutup kasus ini sebelum kasusnya selesai. Alifya Zahranti, salah satu siswi SMA PERMATA di Jakarta. Hidupnya menjadi berubah semenjak bertemu dengan pemuda aneh dan tampan yang meminta bantuannya untuk mengungkap kasus kematiannya.

dian_nurlaili · Teen
Not enough ratings
18 Chs

Part 7

Ify terdiam dengan laptop menyala di depannya. Gelang yang kini berada di tangannya ia perhatikan lebih rinci. Siapa tahu ia menemukan petunjuk. Mungkin saja sang pemilik mengukir namanya di sini. Namun setelah sekian lama, ia tak juga menemukan apa yang ia cari. Gelang ini benar-benar licin tanpa coretan sedikitpun.

Ify tersentak saat mengangkat wajahnya, Rio sudah berdiri di depannya.

"Bisa nggak sih, nggak muncul tiba-tiba?" sungut Ify.

Rio mendesah kesal. "Terus aku harus gimana? Ketuk pintu dulu?"

"Ya kan bisa kamu munculnya dari jauh, nggak langsung di depanku gitu."

"Udahlah nggak penting. Gimana? Udah ada perkembangan?" tanya Rio.

Ify membalik laptopnya ke hadapan Rio, menyuruh pemuda itu untuk membaca. Ify mengamati ekspresi Rio yang serius membaca, sesekali keningnya mengkerut, terkadang matanya sedikit membola. Mungkin sama terkejutnya seperti ia dan Agni saat membaca pertama kali. Jika diperhatikan lebih dalam, Rio memang sangat manis.

"Bodoh!" Ify memukul kepalanya sendiri. Bisa-bisanya ia terpesona dengan makhluk tengil satu ini.

"Siapa yang bodoh?" tanya Rio dengan kening berkerut. Meski berbisik, Rio masih bisa mendengar karena jarak mereka lumayan dekat.

"Nggak ada. Emang siapa yang ngomong?" elak Ify.

Rio mengedikkan bahunya tak peduli dan memilih melanjutkan bacaan tentang gelang aneh yang ditemukan di taman belakang rumahnya.

"Ini ... serius?" Rio bertanya lirih setelah selesai membaca artikel tentang gelang itu.

Ify hanya mengangguk sebagai jawaban lalu keduanya terjebak dalam keheningan yang cukup lama. Baik Ify maupun Rio sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Yo!"

"Fy!"

Rio dan Ify berucap bersamaan.

"Duluan aja!"

Lagi-lagi keduanya berucap bersamaan. Setelahnya, tawa keduanya pecah bersamaan.

"Ladies first," ucap Rio pada akhirnya.

Ify terdiam sejenak. "Aku lupa mau bilang apa," katanya kemudian yang membuat Rio mendengus kesal.

"Katanya pinter, gitu aja lupa," cibir Rio sambil menoyor kepala Ify.

"Eh, tangan jangan kurang ajar, ya? Ini kepala bukan bola," sungut Ify sambil menepis tangan Rio yang nyatanya hanya menampar angin.

"Nggak adil, nih!" protes Ify.

Kening Rio mengkerut. "Kenapa?"

"Masa cuma kamu doang yang bisa pegang, sementara aku nggak?"

"Ya mana aku tahu!" Rio mengedikkan bahunya tak peduli.

"Nyebelin! Pergi sana!" usir Ify agar ia bisa tidur siang dengan nyenyak.

"Nggak! Aku nggak akan pergi, kita harus ke rumah Dea."

"Mau ngapain lagi?" tanya Ify dengan muka memelas. Ia sangat ingin tidur siang. Saat seperti ini, kasur adalah surga, daripada di jalan di panggang sama sinar matahari.

"Tentu saja cari tahu tentang gelang ini."

****

Siang panas yang terik membuat Ify sudah bercucuran keringat. Apalagi jarak dari rumahnya lumayan jauh, rumah Dea terletak di komplek Kebayoran Lama.

"Beneran masuk, nih?" tanya Ify ragu-ragu.

"Mau di sini terus?" Rio balik bertanya.

"Kamu aja, gih yang masuk. 'Kan nggak bakalan dilihat orang!"

"Mau masuk lewat mana, Ify?"

Ify menghentakkan kakinya kesal. Ia selalu saja lupa, kalau Rio tidak bisa menembus dinding. Tapi tunggu!

"Kamu bohong, ya?"

Rio mengangkat sebelah alisnya bingung. "Bohong apalagi?"

"Katanya nggak bisa nembus dinding tapi bisa masuk ke kamarku sesuka hati, lewat mana coba?"

"Udahlah itu nggak penting, masuk, gih!" desak Rio.

Meski bersungut-sungut, Ify tetap memencet bel yang terletak di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya tampak tergopoh-gopoh membuka gerbang. Setelah gerbang terbuka, wanita paruh baya itu mengernyitkan keningnya sambil mengamati Ify dari atas sampai bawah.

Ify yang dipandang sedemikian rupa menjadi risih. Ia merasa seperti ditelanjangi.

"Em, maaf, benar ini rumahnya Dea Ananda?" tanya Ify sopan.

"Kamu siapa? Ada perlu apa?" Wanita paruh baya itu bertanya sinis.

"Saya temannya Dea, bisa saya bertemu sebentar?" Ify mencoba menahan emosinya dan tetap mempertahankan sikap sopan, karena bagaimanapun ia berhadapan dengan orang yang sudah tua.

"Maaf, Non Dea tidak ada di rumah." Wanita paruh baya itu hendak menutup pintu pagar, tetapi Ify segera menahan.

"Tolong, ada hal penting yang harus saya kasih tahu ke Dea." Ify tetap mencoba bernegosiasi meski hatinya dongkol tak karuan. Jika tidak mengingat ia sudah terlanjur menyanggupi, ia tak akan pernah mau seperti ini. Membuang waktu berharganya saja.

Wanita paruh baya itu menghentikan kegiatannya menutup pintu pagar, tetapi tak juga membukanya untuk Ify. Pandangannya kembali menelisik Ify lalu berkata lirih, "Non Dea sudah meninggal."

Selesai berucap, pintu pagar tertutup sempurna. Wanita paruh baya itu masuk ke dalam rumah meninggalkan Ify yang kebingungan dan Rio yang mematung kaku.

Ify memandang Rio meminta penjelasan, tetapi tak sedikitpun Rio bergeming. Sedetik kemudian Rio lenyap meninggalkan Ify yang kepalanya berasap karena kesal. Ia sangat menyesal menuruti kemauan Rio. Bisa-bisanya ia ditinggalkan dengan pertanyaan yang belum terjawab?

Dengan menahan dongkol, Ify memesan ojek online untuk pulang. Ia berjanji kepada dirinya sendiri, jika pun Rio merusuh, ia tak akan pernah menganggap pemuda itu ada. Sungguh ia sangat kesal hari ini.

Sepuluh menit kemudian, Ify sampai di rumahnya. Baru saja ia membuka pintu rumah, ia dibuat terkejut dengan kondisi rumah yang sangat berantakan. Bungkus snack yang berceceran dimana-mana, stik PS yang tergeletak begitu saja, TV yang masih menyala dan dua makhluk yang tidur dengan wajah tanpa dosanya.

"RAAYYYYYY, DEVAAAAA!!!!"

Teriakan menggelegar Ify membuat dua makhluk itu terlonjak kaget. Dengan nyawa yang masih setengah, mereka berlarian kesana kemari entah mencari apa. Sesekali mereka bertabrakan dan mengaduk, membuat suasana menjadi lebih berantakan karena meja yang terus bergeser.

"RAAYYYYYY!!!"

Teriakan kedua Ify membuat mereka berhenti berlarian. Dengan napas ngos-ngosan, Ray dan Deva mencoba mengembalikan kesadaran mereka dengan penuh.

"Apa yang kalian lakukan, hah?" hardik Ify sambil menjewer telinga Ray dan Deva.

"Aduh, Kak. Sakit tahu!" ringis Ray sementara Deva tak berani menjawab. Ify saat marah, seperti singa yang mengamuk.

"Sakit, hm? Sekarang Kakak tanya, apa yang kalian lakukan?" tanya Ify sekali lagi. Ia sudah melepaskan jewerannya, sebagai ganti, ia berkacak pinggang sambil melotot ke arah Ray dan Deva.

"Tidur, Kak," jawab Ray polos.

"Sebelum tidur?"

"Main PS."

"Sambil main PS?"

"Makan ... snack." Jawaban Ray semakin melirih saat ia sadar sudah membuat rumah berantakan.

"Beresin sekarang!"

Ray dan Deva mengangguk tanpa protes. Ify terlihat tak main-main, sedikit saja mereka membantah, mungkin PS kesayangan mereka akan tamat hari ini. Jadi, lebih baik mereka menurut saja daripada terkena hukuman lebih.

Ify mengurut keningnya. Entah kenapa ia sangat emosional hari ini. Semua gara-gara Rio, pria menyebalkan itu sudah membuatnya meninggalkan tidur siang.

Gadis berdagu tirus itu memperhatikan Ray dan Deva yang saling membantu membersihkan rumah. Memunguti bungkus snack dan menyapu. Keduanya bekerja dalam diam, tak berani memandang Ify yang masih mengawasi mereka dengan garang. Gadis itu memandang jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore. Jam tidur siang sudah lewat, tapi ia sangat lelah. Akhirnya, Ify memilih untuk tidur meski jam tidur siang sudah lewat. Ini akan lebih baik daripada ia terus melampiaskan kekesalannya.

****

See u next chap 👋👋

Thanks

_Dee

Sidoarjo, 09 Maret 2020