webnovel

Second Love (Duda Pilihan Papa)

Menikah dengan duda? Tidak pernah terbayang sebelumnya jika aku akan benar-benar mengalaminya. Aku seorang gadis berusia 26 tahun, terpaksa harus menerima jodoh yang dipilihkan oleh papa. Statusku berubah dalam kurun satu waktu, menjadi seorang istri sekalibus ibu bersamaan. "Aku mungkin bisa memberikan perhatian dan baktiku sebagai seorang istri dan ibu, tapi maaf tidak untuk cintaku." —Nisya Kailandra— "Hidup tidak melulu tentang cinta, satu yang aku tawarkan jika kamu menerima perjodohan ini. Aku akan selalu ada saat kamu butuh, dan akan jadi orang pertama yang melindungimu." —Ryan Ahmad Salim—

OryzaSativa · Urban
Not enough ratings
21 Chs

~9~ Amarah Menguasai

Sudah beberapa hari ini aku jadi rutin mengunjunginya lagi, setelah kemarin-kemarin tidak bisa karena terhalang oleh aktivitasku yang tidak sebebas dulu. Aku letakkan setangkai bunga yang aku bawa, bersebelahan dengan bunga dari Sena, dia tidak bisa ikut karena sedang ada acara dengan keluarganya Mas Biru.

Selanjutnya aku akan menjemput, Al, di rumah ibunya Mas Ryan sebelum pulang, tapi beberapa hari ini Al sudah mulai agak berubah kepadaku entah karena apa, dia jadi lebih pendiam dan nggak lagi suka bermanja denganku.

"Al, kenapa sekarang nggak pernah cari bunda lagi kalau bangun tidur?" tanyaku sesaat setelah keluar dari rumah mama. Jarak rumah mama tidak terlalu jauh dari kediamanku sehingga aku berani membonceng anak ini menggunakan motor.

"Kata ayah nggak boleh ganggu bunda lagi," ucapnya disela-sela perjalanan kami.

"Kapan ayah bilang begitu?"

"Kemarin, pas Al rewel terus ayah yang datang katanya mulai sekarang nggak boleh lagi manja sama bunda," jujur Alshad kepadaku.

"Bunda, kata ayah perempuan kemarin itu adalah mamanya Al, ya? Terus bunda siapanya Al?" lanjut Alshad bertanya padaku.

"Bunda, kan bundanya Alshad, memang betul orang yang kemarin itu adalah mama yang sudah melahirkan Al. Jadi mulai sekarang Alshad nggak boleh marah-marah lagi ya, sama mama," ujarku menjelaskan.

"Tapi, Al, nggak mau tinggal sama mama Bun, Alshad mau tinggalnya sama Bunda dan ayah saja."

"Emangnya kata siapa kalau Al mau tinggal sama mama?"

"Kata ayah tadi pagi Bun, pas ngantar Al sekolah sama mama."

Oh, jadi Mas Ryan sudah sejauh ini dan tidak melibatkanku sama sekali. Oke jika memang ini kemauan kalian. Mulai sekarang aku juga bisa kok bertindak semauku sendiri.

Sampai rumah aku langsung menyuruh Al untuk bersih-bersih, sementara aku menyiapkan makanan untuk kami makan malam nanti. Sudah lewat waktu Maghrib dan Mas Ryan belum juga sampai rumah, aku memutuskan untuk mengajak Al, makan terlebih dahulu kasian jika harus menunggu ayahnya yang entah pulang atau tidak.

Ketika kami sedang asyik bermain di ruang tamu Mas Ryan terlihat memasuki rumah tetapi pemandangan di belakangnya membuatku memendam rasa kesal yang teramat. Dia tidak datang sendiri melainkan bersama Mbak Sarah, jadi mereka sudah dekat kembali? Kenapa perasaanku seperti tidak rela jika Mas Ryan dekat dengan mantan istrinya.

Aku memilih untuk segera pergi, dari pada di sini membuatku muak dengan drama yang dibuat oleh Mbak Sarah nantinya. Tapi tiba-tiba Mas Ryan mencegahku setelah tahu jika aku akan beranjak dari posisiku.

"Mau kemana? Di sini dulu saja ada Sarah, nggak enak sama dia kalau kamu tinggal pergi."

"Bukanya kalian sudah biasa ya berkumpul tanpa melibatkanku, maaf aku ada kerjaan Mas lagian ini antara keluarga kalian berdua sedangkan aku hanya orang luar dan tidak masuk di dalamnya."

Usai mengatakan itu aku langsung menuju kamar yang sebenarnya tidak ada kerjaan sama sekali, pilihan yang tepat dari pada harus menyaksikan drama keluarga yang nantinya malah membuatku muak.

Tapi aku salah, ternyata Mas Ryan menyusulku ke kamar, "Nis, bisa nggak kamu bersikap baik sama Sarah?" pintanya padaku.

"Nggak bisa!" seruku tanpa pikir panjang, "dia saja nggak bisa menghargaiku sebagai istri Mas, lantas kenapa aku harus bersikap baik padanya? Sebegitu cintanya Mas sama dia sehingga selalu menuruti kemauannya? Termasuk memberikan nomor pribadiku tanpa ijin, apa itu tindakan yang benar?"

"Mas minta maaf sudah lancang memberikan nomormu pada Sarah, dia bilang hanya ingin lebih dekat dengan kamu dan meminta tolong supaya kamu mau membantunya untuk dekat dengan Alshad."

"Dan Mas percaya? Apapun alasannya harusnya Mas meminta ijin dariku dulu, tapi sepertinya keberadaanku sudah tidak kalian anggap lagi di sini!"

"Bukan begitu Nis, mas hanya nggak mau ribut dengan Sarah."

"Jadi Mas lebih memilih ribut denganku, dan memilih untuk menuruti kemauannya? Apa itu juga tindakan yang dibenarkan, Mas Ryan!"

"Hanya nomor telepon, Nis. Biar kalian juga bisa berhubungan baik apalagi menyangkut Alshad."

"Dan yang Mas bilang 'hanya' itu sangat menggangu privasiku Mas Ryan! apalagi kalau kukasih tau apa yang sudah diucapkannya padaku, pasti Mas juga nggak bakal percaya sama aku, kan?"

"Lagian, kenapa harus minta bantuanku? Apa dulu Nisya juga meminta bantuan Mas, ketika pertama kali dipertemukan dengan Alshad?" sambungku.

"Sarah, dia tidak dekat dengan Al selama ini Nisya, kamu tau sendiri kan, kalau selama ini mas yang selalu mengurusnya?"

"Terus selama ini apa Nisya sudah pernah kenal Alshad sebelumnya, Mas," cetusku tak mau kalah.

"Dia nggak suka sama anak kecil, makanya selama ini dia tidak mau dekat dengan Alshad."

"Ya itu urusan Mas, kenapa membiarkan seorang ibu yang tidak mau mengurus darah dagingnya sendiri? Di mana posisi Mas sebagai suami saat itu, apa diam saja melihat kelakuan istri Mas yang semena-mena itu?"

"Cukup Nisya! bentaknya.

"Jika tidak mau membantu tak apa, nggak usah bicara apapun yang tidak kamu ketahui," ucap Mas Ryan yang terlihat tidak terima dengan perkataanku barusan.

"Kenapa? Mas nggak terima jika aku yang melakukan perlawanan? Tapi jika dia yang melakukan itu kenapa mas seolah-olah terima dan membiarkannya?"

"Nggak ada hubungannya dengan Sarah Nisya, mas cuma nggak mau kamu terlalu kasar omongannya, apalagi ini menyangkut masa lalu mas."

"Jadi menurut Mas omonganku kasar? Lalu apa kabar dengan Mbak sarah?"

"Bukan seperti itu, Nisya!"

"Mas nggak terima jika aku menjelekan Mbak Sarah dihadapan Mas, tapi kenapa Mas diam saja ketika Mbak Sarah bicara yang tidak baik tentangku dan malah membiarkannya saja. Apa memang aku tidak layak untuk Mas bela? Padahal apa yang keluar dari mulutku memang benar adanya, tapi Mas seolah menutup mata dan telinga sehingga selalu saja membenarkan apa yang Mbak Sarah perbuat, baik itu dulu maupun sekarang."

"Sudah ya Nis, mas capek setiap hari harus bahas ini terus yang tidak akan ada ujungnya, mas cuma nggak mau kamu berubah menjadi kasar, mas nggak suka mendengar kamu selalu bicara dengan nada tinggi akhir-akhir ini."

"Kenapa Mas bisa bersikap seperti ini hanya sama aku saja? Kenapa tidak bisa setegas ini kepada Mbak Sarah? Apa masih sekuat itu perasaan Mas terhadap Mbak Sarah? Jika iya, aku bisa ...."

Ucapanku terpotong saat tiba-tiba Mas Ryan mencium bibirku dengan kasar, sebelum aku menyelesaikan perkataanku yang mungkin saja tidak ingin di dengar olehnya. Aku hanya bisa pasrah menerima perlakuan dari Mas Ryan, karena memang tidak punya kekuatan untuk melawannya, terlihat kilat emosi yang ditunjukan Mas Ryan melalui ciumanya yang cenderung kasar dan terburu-buru.

"Mas minta maaf jika kedatangan masa lalu mas membuatmu terluka, tapi please Nis, jangan katakan apapun yang berhubungan dengan perpisahan, karena mas nggak mau mendengar itu keluar dari mulut kamu."

Aku terdiam setelah Mas Ryan selesai dengan ucapanya barusan, sedikit kaget karena baru pertama kali aku melihat emosi yang di tunjukkan Mas Ryan kepadaku, yang selama ini tidak pernah dilakukan olehnya.

"Bunda!!!" teriakan Alshad tersengar dari luar pintu kamar. Aku ingin membukanya tapi ditahan oleh Mas Ryan.

"Istirahatlah biar mas yang mengurusnya, maaf jika mas sesikit berbuat kasar," ucapnya sambil mengusap ujung bibirku yang mungkin masih berbekas akibat perbuatannya tadi.

Bukannya diam, suara tangisan Alshad masih bisa kudengar dari sini, aku yang merasa kasihan lantas menyusul dan melihat ada apa yang terjadi diantara mereka semua.

Kulihat Mas Ryan tengah memarahi anaknya, yang selama ini jarang sekali dilakukan olehnya, sementara Mbak Sarah hanya diam dan terkesan masa bodo dengan apa yang terjadi dihadapannya.

Melihat aku datang Alshad langsung berlari dan bersembunyi dibalik tubuhku sambil terus terisak.

"Apa seperti ini cara kalian mendidik anak kecil? Mas Ryan! sudah berapa kali kamu memarahi Alshad belakangan ini, yang dulu bahkan hampir nggak pernah Mas melakukanya?!"

"Jangan membelanya terus Nisya! apa kurang jelas apa yang mas suruh tadi?"

"Sangat jelas, Mas Ryan! dan aku tidak membelanya, kapan aku pernah membelanya ketika dia berbuat kesalahan Mas? Apa Mas Ryan ingat aku pernah membela Alshad ketika dia berbuat salah? Katakan Mas!" ucapku penuh emosi dengan bahasa yang tidak biasanya aku pakai saat bicara dengan Mas Ryan.

"Nggak bisa, kan? Karena aku bukan Mas yang akan membenarkan setiap kesalahan yang dilakukan oleh orang tersayangnya, aku memang sayang sama Alshad, tapi jika dia berbuat salah aku akan selalu mengingatkannya, tidak seperti Mas yang malah membenarkan setiap kesalahan yang dilakukan oleh orang dihadapan Mas itu," ucapku sedikit menyinggung Mbak Sarah.

Setelah mengatakan itu, aku langsung membawa Alshad untuk pergi ke kamarnya, tidak aku hiraukan panggilan dari dua orang itu yang terus memanggilku dan Alshad bersamaan, kubiarkan saja mereka karena aku sudah begitu muak melihat tingkah mereka berdua belakangan ini.

Mas Ryan yang tidak bisa bersikap tegas, juga Mbak Sarah yang memanfaatkan kebaikan Mas Ryan selama ini.