webnovel

Second Love (Duda Pilihan Papa)

Menikah dengan duda? Tidak pernah terbayang sebelumnya jika aku akan benar-benar mengalaminya. Aku seorang gadis berusia 26 tahun, terpaksa harus menerima jodoh yang dipilihkan oleh papa. Statusku berubah dalam kurun satu waktu, menjadi seorang istri sekalibus ibu bersamaan. "Aku mungkin bisa memberikan perhatian dan baktiku sebagai seorang istri dan ibu, tapi maaf tidak untuk cintaku." —Nisya Kailandra— "Hidup tidak melulu tentang cinta, satu yang aku tawarkan jika kamu menerima perjodohan ini. Aku akan selalu ada saat kamu butuh, dan akan jadi orang pertama yang melindungimu." —Ryan Ahmad Salim—

OryzaSativa · Urban
Not enough ratings
21 Chs

~8~ Aku, Bukan Dia

"Mau sampai kapan kamu diamkan mas seperti ini?"

Aku tidak menjawab dan tidak juga menoleh kearahnya, sudah aku bilang kan jika aku paling nggak suka ada orang yang semena-mena sendiri.

"Oke, mas minta maaf, mas ngaku salah kerena nggak bisa bersikap tegas sama Sarah," ucapannya lagi.

Dan aku masih tetap diam dan terus melanjutkan sarapanku, karena terlanjur malas dengan sikapnya itu. Mas Ryan, kuakui dia memang baik sebagai seorang suami, tapi kebaikannya itu juga yang menjadi kelemahannya. Selama menjadi istrinya tidak pernah sekalipun aku bersikap kurang ajar atau tidak sopan padanya, biarpun aku masih belum bisa sepenuhnya menerima dia sebagai suamiku. Tapi itu tidak menjadikanku alasan untuk bersikap semauku terhadapnya, bahkan aku cenderung menghormatinya sebagai laki-laki juga imam keluarga.

"Nisya!" Dia menarik lenganku, "mas janji ini yang terakhir mas bantu dia."

"Terakhir ya," responku lalu meletakkan kembali sendok yang kupegang.

"Setelah Mas mengijinkan dia masuk rumah, terus mengijinkan dia menginap di rumah ini, mengantar sekaligus membayar hotel tempat dia menginap. Terus sekarang minta dicarikan rumah untuk dia tinggal, lalu setelahnya meminta Mas untuk membelikan perlengkapannya, begitu saja terus dan mas dengan senang hati selalu menurutinya. Menurut Mas, apa itu tindakan yang benar? Terlepas dari hubungan kalian yang merupakan mantan suami istri, apa masih pantas Mas memperlakukan dia seperti itu disaat Mas sendiri sudah ada pasangan. Jika posisinya dibalik, apa Mas akan terima jika aku melakukan hal yang sama seperti apa yang Mas lakukan terhadap mantan istri Mas?"

"Mas cuma mau bantu dia Nis, kasihan ...."

"Memang, kasihan!" seruku dengan lantang. "Nggak punya suami, nggak punya anak, nggak punya orang tua, makanya mas yang selalu ada buat dia. Kenapa nggak sekalian Mas suruh dia tinggal di sini saja? Biar bisa jadi mantan suami yang siaga. Nggak apa-apa kalau pun aku yang harus keluar dari ruman ini, aku masih sanggup kok kalau cuma cari tempat tinggal saja, dan yang pasti nggak harus merepotkan suami orang!."

Mas Ryan hanya bisa diam, setelah mendengar luapan emosiku. Aku berharap dia segera sadar atas kekeliruannya selama ini. Namun harapanku sirna setelah mendengar suara ponsel yang berada di atas meja makan itu berdering. Ini sudah menjadi kebiasaan baru Mas Ryan belakangan ini setelah kembalinya Mbak Sarah. Dulu bahkan dia sendiri yang melarang tidak boleh ada aktifitas apapun selain makan di sini tapi sekarang?.

Aku sudah tidak ada selera lagi untuk melanjutkan sarapanku, aku tinggalkan Mas Ryan yang tengah sibuk dengan ponselnya dan bergegas untuk segera berangkat ke sekolah, itu lebih baik dari pada harus berhadapan dengan suami yang menutupi kebodohannya dengan kebaikan yang tidak pada tempatnya.

Tidak aku hiraukan suara panggilan darinya yang berusaha untuk menahanku, aku sudah cukup bersabar kemarin, tapi semakin kesini Mas Ryan sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Biar pun tahu aku sangat tidak suka dengan tindakannya itu tapi dia tetap saja selalu menuruti keinginan mantan istrinya.

Sesampainya di sekolah aku menjadi guru pertama yang datang, di susul oleh Sena yang kulihat kurang bersemangat seperti biasanya.

"Kenapa dengan wajahmu?" tanyaku pada Sena yang baru memasuki ruang guru.

"Kesel aku sama Mas Biru, dia seperti tidak serius sama rencana pernikahan kami."

"Mungkin dia lagi sibuk, Sen. Katamu abangnya juga mau menikah, kan?"

"Iya juga sih, eh tapi Nis, kamu tau nggak ternyata calon istrinya Bang Langit itu ibunya Alina, murid kesayanganmu."

"Oiya!"

Sena menganggukkan kepala semangat, "Pantas saja setan kecil itu ngotot mau pindah di sini."

"Memang, apa hubungannya?"

"Ck, kamu nggak tahu aja Nis, jika setan kecil itu juga getol banget ngedeketin Alina."

Obrolanku dengan Sena terhenti ketika bel sudah berbunyi, artinya kami harus mulai mengajar. Aku beruntung bisa mengajar di sini, setidaknya dengan berada di sini aku bisa bertemu dengan banyak orang dan juga para murid yang setiap anak mempunyai karakternya sendiri, itu cukup menjadi hiburan tersendiri buatku, apalagi dengan masalah rumah tanggaku yang semrawut ini.

Menjadi guru matematika tak banyak murid yang kadang kala merasa kesal denganku jika sudah kuberi soal latihan yang kata mereka sangat menguras isi kepala. Bahkan ada yang terang-terangan bilang tidak sanggup untuk mengerjakan dan memilih untuk berdiri di depan kelas dari pada harus berlama-lama mengerjakan soal yang pasti tidak akan bisa mereka selesaikan.

"Bu Nisya!" panggil salah satu siswa yang sedang berdiri di depan pintu kelas di mana aku mengajar.

Aku lantas menghampirinya, "Iya, ada apa?"

"Itu bu, ada yang mencari Bu Nisya di depan katanya suami ibu."

"Oke, terima kasih, ya."

Segera aku keluar untuk menemuinya, tapi sebelum itu aku ijin terlebih dulu kepada murid-muridku. Ada apa Mas Ryan tiba-tiba datang kesini? Biasanya nggak pernah jika bukan aku yang memintanya untuk menjemputku.

"Ada apa," ucapku setelah mencium punggung tangannya. Dengan semua masalah yang terjadi aku masih menjalankan tugasku sebagai istri yang baik, bukan.

Tidak menjawab pertanyaanku Mas Ryan lantas membuka pintu mobil dan mengambil sesuatu. Bukan masalah apa yang diambil Mas Ryan yang menjadi pusat perhatianku, melainkan bau yang keluar dari mobil Mas Ryan sepertinya sudah sangat kukenali.

"Ini, kebetulan mas lewat dekat sini nanti bisa buat kamu makan siang bersama teman-temanmu, sengaja mas beli banyak tadi," ucapannya sambil menyerahkan beberapa kotak makanan dari salah satu restoran dekat sini.

Aku tersenyum sinis kearahnya, "Aku bukan Mas, yang begitu mudahnya dibodohi, sudah hampir satu tahun Mas aku jadi istrimu jadi taulah kebiasaan Mas selama ini. Berikut juga bau parfum yang biasa Mas pakai, aku sangat-sangat hapal betul." Sarkasku.

"Aku sangat tau Mas Ryan! bau parfum siapa yang tertinggal di dalam mobil Mas ini, juga untuk apa Mas lewat sini, bersama siapa Mas pergi aku sangat sangat tau Mas Ryan!" ucapku penuh penekanan di setiap kata yang terucap dari bibirku.

"Nis, mas cuma ...."

Aku memberi tanda agar Mas Ryan tidak melanjutkan perkataannya, dengan mengangkat tangan di depannya. Karena sudah bisa kutebak apa yang akan diucapkannya.

"Terimakasih sudah mau repot membelikan, dan mengantarkan makanan ke sini. Cuma lain kali Mas, nggak perlu melakukanya lagi karena aku bukan dia yang suka sekali merepotkan suami orang!"

Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi meninggalkan Mas Ryan yang berdiri mematung di samping mobilnya. Mungkin Mas Ryan tidak mengira jika aku akan mengetahuinya.

Sayangnya Mas Ryan berhasil mencekalku, karena tidak ingin orang tahu jika kami sedang terlibat permasalahan rumah tangga, akupun pasrah dan menurut saat Mas Ryan memintaku untuk berhenti.

"Maaf jika kebaikan mas menyakitimu, perlu kamu ketahui jika semua yang mas lakukan itu murni hanya membantu Sarah tidak lebih. Jadi jangan anggap jika mas masih menyimpan perasaan padanya karena saat ini mas hanya punya kamu."

Selanjutnya Mas Ryan yang lebih dulu pamit untuk kembali ke kantor, meninggalkan aku yang masih mencerna setiap kata yang diucapkannya barusan. Dia bilang hanya punya aku, ini apa maksudnya?.

Dari pada pusing mikirin masalah rumah tangga yang tak ada habisnya, mending aku makan saja karena jam istirahat juga sudah berbunyi.

"Al, mau kemana?" tanyaku saat berpapasan denga Alina.

"Mau ke perpus, Bu," jawabnya sopan.

"Ikut ibu yuk Al, kita makan dulu sebentar," ajakku.

"Terima kasih tawarannya, Bu. Alin bawa bekal kok."

"Sudah nggak papa, ayo!" kutarik paksa Alina agak mengikutiku.

Setelah sampai di kantin aku menyuruhnya untuk membelikan minum, sementara aku menghubungi Arsena untuk menyusulku ke sini.

"Tumben Nis, dapat dari mana?"

"Mas Ryan."

"Kesini? Kapan?"

"Barusan."

"Hallo Alina, ayo dimakan Al, habis gini kita akan sering ketemu ya Al, tapi tolong ya kalau lagi kumpul jangan panggil ibu, cukup panggil tante saja seperti kamu memanggil Om Biru." sapa Sena pada Alina, seketika aku ingat perkataan dia pagi tadi.

Selesai makan aku dan Sena kembali ke ruang guru, semetara Alina melanjutkan tujuanya ke perpustakaan. Ponsel yang sengaja aku silent itu tidak berhenti bergetar, dan aku sudah tau siapa pelakunya.

Tentu saja suamiku, seperti biasa aku tidak menanggapinya, tapi ada satu nomor asing yang membuatku penasaran.

Agak kaget juga setelah membaca isi pesan yang dikirimkannya, darimana dia mendapatkan nomorku? Apa Mas Ryan, kenapa lancang sekali dia membagikan nomor pribadiku kepada orang lain.

Aku sudah bersabar dan berbaik hati kepadanya tapi ternyata kesabaranku disalah artikan juga oleh mereka, baik jika ini kemauan kalian akan aku tunjukkan siapa aku yang sebenarnya dihadapan kalian.