webnovel

1. Salah Paham

"Uncle"

Andika berlari mendekati Amurwa, pria tampan berkaos oblong warna putih yang sedang mengaduk makanan kuda di peternakan keluarga Tuan Kusuma yang berada di belakang mansion. Amurwa memandang laki-laki kecil yang berlari ke arahnya sambil menepuk-nepukkan kedua tangannya, membersihkan tangan kotornya dari potongan rumput yang baru saja ia masukkan ke ember.

"Ada apa, Sayang? Apakah Mama marah lagi?"

Andika menggeleng. Ia mengulurkan mainan baru yang ia dapat dari papanya yang baru pulang dari perjalanan di luar negeri. Amurwa memandang mainan yang ada di tangan mungil anak majikan yang selalu menemaninya sepanjang hari. Ia ulurkan tangannya meraih mainan tersebut lalu dengan hati-hati ia ajak Andika menyingkir dari tempatnya menuju gazebo yang ada di sebelah kandang.

"Apakah Tuan Muda Andika suka dengan mainan ini?"

Andika menggeleng lalu mendekati Amurwa dan menggelayutkan diri di dada laki-laki yang menjadi teman mainnya setiap hari.

"Tidak, Uncle. Andika lebih suka memanah samaUncle di sini. Naik kuda dan bermain bersama Jeremy." Amurwa mengangguk. dengan penuh kasih sayang ia cium anak majikan yang kini berada di pangkuannya. Ia mengangkat tubuh Andika dan meletakkan mainan mahal yang baru saja ditunjukkan Andika di gazebo dan mengangkat tubuh anak kecil itu ke kandang.

"Sekarang Tuan Muda bantu Uncle untuk mengaduk makanan Jeremy dan Cintya ya. Biar mereka cepat besar. Di dalam perut Cintya sedang ada dedeknya, lho Tuan Muda."

"Wow, Benarkah? Berarti besok aku bisa memiliki satu kuda lagi dan aku berharap kudanya tampan seperti Uncle."

Amurwa terpana mendengar pernyataan Andika yang mengatakan bahwa dirinya tampan sedang Andika memandang Amurwa dengan mata berbinar. Ia merasa bahagia dan bangga pada laki-laki tampan yang selalu setia menemaninya. Selama ini, kemanapun dia berada Amurwa satu-satunya pelayan yang ikut.

"Apakah Uncle tampan?"

"Tentu saja, Uncle. Kalau boleh aku bilang, ketampanan Uncle itu lebih banyak dari pada Papi."

"Ha ha ha, kau ini ada-ada saja, Tuan Muda. Mana bisa orang miskin seperti Uncle lebih banyak dari Papi. Papi kan orang super kaya yang bisa memiliki segala-galanya."

Dengan senyum merekah, Andika mengambil kayu yang biasa digunakan Amurwa untuk mengaduk makanan dua kuda kesayangan Tuan Kusuma. Kegiatan menyenangkan yang jarang sekali dilewatkan oleh Andika setiap harinya. Mereka tidak menyadari bahwa dari dalam mansion, sepasang mata indah sedang mengawasi keakraban dua laki-laki beda usia dengan mata berkaca-kaca.

"Andai saja suamiku bisa sedikit saja lebih lembut kepada Andika, aku pasti akan sangat bahagia," gumam pemilik mata indah sambil terus tersenyum menyaksikan kegiatan mereka. Ia ingin sekali mendekat dan ikut bergabung bersama Andika tapi dia takut para pelayan memberitahu suaminya. Ia memutuskan untuk tetap berada di posisinya dan mengintip kegiatan anak dan pelayannya di taman belakang.

"Uncle"

"Iya, Tuan Muda."

Amurwa yang sedang memasukkan rumput ke ember kedua menoleh. Menyaksikan Andika yang kini sedang melangkah sambil membawa kayu ke arahnya.

"Ada apa, Tuan Muda? Apakah sudah selesai mengaduknya?"

"Em, apakah Uncle tidak ingin memiliki kuda sendiri? Kalau Uncle mau, Andika bisa bilang ke Papi biar Uncle dibelikan kuda dan kita bisa main keluar."

Amurwa menghentikan kegiatannya lalu mendekati Andika yang masih sibuk mengaduk makanan Jeremi dan Cintya.

"Uncle tidak mau minta apapun dari Tuan besar karena Tuan besar sudah mengijinkan Uncle untuk melatih Jeremy dan Cintya. Menjaga mereka saja rasanya seperti punya kuda, Tuan.'

"Tapi kan lebih asik kalau punya sendiri, Uncle. Bisa bebas kemana-mana."

Amurwa diam. ia memang membenarkan semua yang dikatakan oleh Andika, namun ia sadar bahwa ia tidak mungkin memiliki waktu untuk menjaga kudanya sendiri karena kegiatannya murni merawat kuda-kuda dalam kandang tuannya selama ini.

Andika yang melihat Amurwa hanya diam, akhirnya mendekat. dengan sabar ia menunggu Amurwa menuangkan air di ember kedua.

"Aku ingin mengaduk bersama Uncle. Kalau sendiri seperti ini pasti berat kan? Kalau sama-sama akan menjadi ringan. Aku suka."

Amurwa menganggukkan kepalanya. Ia memberi tempat untuk Andika agar bisa melakukan semua keinginannya. Setelah makanan siap, Amurwa mengangkat ember satu persatu dan menyodorkannya pada Jeremy dan Cintya. dengan lembut ia elus kepala dua hewan yang sudah seperti saudaranya.

"Aku ingin mengelus kepala Jeremy dan Cintya juga, Uncle."

Tanpa banyak bicara, Amurwa mengangkat tubuh Andika dan membantunya agar bisa meraih kepala kuda yang masih menikmati makanannya. Kuda yang mendapat perhatian dari dua laki-laki beda usia yang memberinya makan kini mengibas-ngibaskan kepalanya, seolah tahu kalau mereka sedang memberi perhatian.

Puas dengan kegiatannya, Amurwa mengangkat Andika ke gazebo kembali lalu duduk sambil mencari sesuatu.

"Anak panah Uncle masih berapa?"

Amurwa diam mencoba mengingat anak panah yang ia simpan di rumah yang tinggalnya di sebelah gazebo.

"Dua belas, kalau tidak salah, Tuan muda. Ada apa? Apakah Tuan Muda ingin memanah?"

Andika mengangguk. Ia memang ingin sekali meniru gaya Amurwa yang selalu menghabiskan waktu untuk memanah dan melatih Jeremy serta Cintya di lapangan tembak milik Tuan Kusuma. Lapangan yang difungsikan untuk berlatih beberapa bodyguard.

"Apakah boleh Uncle?"

"Uncle hanya akan mengajari Tuan Muda kalau Papi mengijinkan. Kalau tidak, Uncle mana berani, Sayang. Uncle kan hanya pelayan biasa yang tidak punya kewenangan untuk mengijinkan atau menolak keinginan Tuan Muda."

"Ah, selalu saja begitu. Aku bosan mendengar Uncle yang selalu merendahkan diri begitu."

"Ha ha ha, bukan merendahkan diri. Uncle tahu diri."

Plak

Andika memukulkan tangannya ke lengan Andika membuat pemuda itu merengkuh tubuh mungil Andika dengan gemas. Andika yang mendapat perlakuan manis dari Amurwa mengeratkan pelukannya sambil menyembunyikan kepalanya di dada bidang Amurwa. Ia rindu kasih sayang ayahnya sehingga ia merasa sangat bahagia ketika ada laki-laki dewasa memeluk dan menciumnya dengan penuh kasih sayang.

"Uncle mau tidak jadi Papi Andika?"

Amurwa terpana mendengar pertanyaan Andika. Menjadi Papi Andika sama dengan menjadi suami dari Nyonya besar di keluarga Kusuma sedang posisi mereka seperti langit dan bumi yang tidak akan bisa bersatu walau sampai matahari menampakkan diri di tempat terbenamnya sekalipun.

"Jangan bertanya seperti itu, Tuan Muda. Tidak boleh. Uncle mana berani menggantikan posisi Tuan Kusuma. Lagipula kalaupun ada kesempatan, Uncle yakin Mami juga tidak akan mau memiliki suami seperti saya. Sudah jangan sekali-kali bertanya pertanyaan seperti itu lagi."

Andika cemberut. ia benar-benar kesal dengan Amurwa yang tidak mau menuruti semua keinginannya. Ia diam lalu mencoba melepaskan diri dari pelukan Amurwa. Dengan cepat Andika berlari meninggalkan Amurwa menuju mansion sambil menangis mencari Maminya.

"Mommy"

Padmasari yang terpana melihat reaksi Andika yang spontan terperanjat. Ia segera keluar dari persembunyian dan melangkah menuju Andika yang kini sedang dikejar oleh Amurwa.

"Ada apa, Sayang?"

Padmasari memandang Amurwa yang sedang berdiri menatapnya, lalu menunduk.

"Uncle jahat, Mommy."

"Jahat? Jahat kenapa, Sayang?"

"Uncle tidak mau menjadi Papi Andika."