webnovel

2. Pertengkaran

Amurwa dan Padmasari saling pandang sejenak lalu keduanya sama-sama menunduk. mereka sama sekali tidak tahu bagaimana harus memberi jawaban pada anak kecil yang kini sedang merajuk di pelukan Mommynya. Padmasari lebih bingung karena ia tidak tahu harus bagaimana menghentikan tangis anaknya.

"Sayang, bagaimana mungkin Uncle menjadi papi kalau . . . ." Padmasari bingung bagaimana harus melanjutkan kalimatnya. Ia benar-benar frustrasi dengan kondisi anaknya. Dijawab papinya masih hidup, ia takut suaminya salah paham dan akan membuat dirinya kesulitan, sedang apabila dia menjawab tidak mau karena Andika sudah memiliki Papi, Padmasari yakin hati Amurwa yang akan tergores.

Melihat situasi sulit itu, ia memandang Amurwa dan mencoba meminta bantuannya. Amurwa mengangguk. Dengan sabar ia elus punggung Andika sambil membisikkan sesuatu di telinganya.

"Apakah Tuan Muda mau kalau saya ajak berkeliling naik Jeremy?"

Andika menggeleng. ia benar-benar kesal karena Amurwa tidak mau mengerti bagaimana hidupnya yang memiliki Papi tapi berasa hambar karena papinya sama sekali tidak mau bermain dengannya.

"Kenapa? Bukannya Tuan Muda suka sekali kalau kuajak naik Jeremi keliling taman? Atau kita akan menaiki Jeremy sampai danau di belakang mansion?"

Andika masih menggeleng membuat Amurwa juga frustrasi. Padmasari yang gagal membujuk anaknya terlihat mulai berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membujuk anaknya karena selama ini pengasuhan sepenuhnya ia serahkan kepada babysitter.

"Minah, tolong Tuan mudamu."

Tidak ada pilihan lain selain memanggil pawangnya Andika. Amurwa yang mendengar Padmasari memanggil Minah hanya tersenyum. Dalam hati ia menertawakan tindakan wanita cantik istri Tuannya yang tidak memiliki kemampuan untuk menenangkan anaknya sendiri.

Minah yang sedang membereskan kamar Andika segera berlari mendekat. Matanya terpana memandang Amurwa yang menunggu Andika yang sedang merengek meminta sesuatu kepada Maminya. Minah tak mampu berkata apapun melihat pemuda yang selama ini diimpikannya sedang berdiri menatapnya dengan kesal.

"Tuan Muda kenapa, Nyonya?" tanya Minah sambil mengulurkan tangannya meraih bahu Andika. Andika mengibaskan tangan Minah membuat semua yang melihat terpana.

"Tidak mau"

"Kalau sama Minah tidak mau, Tuan Muda maunya sama siapa?'

Minah juga tidak kalah frustrasi melihat kenyataan bahwa anak yang biasanya menurut kini memberontak kepadanya. Beberapa cara yang biasanya ia lakukan untuk membujuk Andika pun gagal ia membuat Andika menurut. Minah memandang Amurwa yang masih berdiri sambil memandang Andika seolah bertanya kenapa namun Amurwa sama sekali tidak mau menjawab.

Melihat Amurwa tak bereaksi, Minah segera mendekati Andika untuk yang ke sekian kalinya. Ia berharap usahanya kali ini berhasil.

"Tuan Muda ingin apa biar Minah kasih?"

Mendengar ucapan Minah, Andika memandang Minah lalu mengulurkan tangannya kepada babysitternya.

"Aku maunya Uncle Murwa jadi papiku, Minah."

"Apa?"

Minah tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa permintaan Andika adalah permintaan paling sulit untuk kedua orang yang sejak tadi gagal membujuknya. Minah mengangguk, mencoba menetralisir perasaan bersalahnya apalagi saat matanya menangkap wajah Padmasari yang menggeleng-gelengkan kepala kepadanya.

"Minah"

"Ia Nyonya. Maaf, biarkan Minah mengoreksi semua dengan pelan, jangan terburu-buru semoga Tuan Muda mau mengerti."

"Semua kuserahkan kepadamu." Padmasari yang frustrasi segera meninggalkan tempat itu menuju tangga yang menghubungkan dapur dengan kamar pribadinya sedang Amurwa hanya menatap kepergian wanita yang menjadi istri tuannya dengan gelisah. Bukan ia tidak mau menjadi papinya Andika namun Amurwa tahu resiko apa yang akan ia terima kalau ia mengiyakan permintaannya.

Andika yang di tinggal bersama Minah, kini memandang babysitter yang mulai bingung harus berkata apa dan mempertanggungjawabkan kesanggupannya.

"Apakah kau tidak bohong kalau aku boleh meminta Uncle untuk jadi papi aku, Minah?"

"E, I-Iya, Tuan Muda. Iya."

"Berarti sekarang aku boleh panggil Uncle dengan sebutan Papi, Minah?"

Minah menggeleng. ia bingung antara menjawab iya dan tidak. Ia sama sekali tidak tahu kalau resiko mengyakan keinginan Andika akan serumit itu pada akhirnya. Ia takut Tuan Kusuma akan memecatnya kalau sampai ia mengijinkan Andika memanggil Amurwa dengan sebutan papi. Tapi kalau menolak, ia tidak sanggup menerima amukan anak kecil yang sudah bersamanya sejak lahir.

"Minah"

"I-Iya, Tuan Muda."

"Berarti boleh?"

"Aduh, kepalaku kok sakit ya?" Minah memegang kepalanya, mencoba menghindari kejaran pertanyaan dari anak kecil yang kini berkacak pinggang menerima jawaban yang sama sekali tidak ia harapkan. Di lantai atas, Tuan Kusuma memandang kelakuan Andika dengan wajah geram. Ia kesal melihat anaknya yang arogan sama sekali tidak punya sopan santun pada orang yang lebih tua.

"Padmasari!"

Padmasari yang sedang menyembunyikan kegelisahannya segera bangkit. ia melangkah mendekati suaminya yang kini sedang marah.

"A-ada apa, Mas?"

Kusuma memandang istrinya dari atas sampai bawah, lalu menunjuk ke arah Andika yang masih merajuk di pangkuan Minah.

"Apa pekerjaanmu selama di rumah hingga anakmu berlaku layaknya anak yang tidak punya sopan santun seperti itu?"

Padmasari diam. ia ingin mengatakan bahwa semua bukan hanya tanggung jawabnya sebagai ibu, namun suaminya juga memiliki tanggung jawab yang sama dengan dirinya namun ia urung. Melihat Kusuma melotot seperti matanya mau lepas membuat Padmasari menunduk.

"Mengapa kau selalu diam? Apakah aku kurang dalam memberikan kasih sayang selama ini? Aku selalu membawa hadiah untuk anakku tapi mengapa kelakuannya seperti berandalan jalanan."

"Kau sama sekali tidak pernah menyapanya, Mas. Ia haus kasih sayang Papinya, bukan kasih sayangku. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan semuanya untuk Andika."

"O, jadi kau menyalahkan aku hah?"

"Bu-bukan begitu. aku hanya mengatakan kalau Andika butuh perhatianmu sebagai papi. Jangan hanya membelikan mainan mahal tapi kau sama sekali tidak pernah mau menyentuhnya."

"Kamu pikir kalau aku tidak menyentuhnya itu berarti aku tidak sayang kepadanya? Kau ini harus belajar lagi bagaimana cara mendidik anak. Mulai besok kau harus duduk di ruanganku dan mendengarkan ceramah guru yang akan kupanggil ke rumah ini."

"Tapi, Mas. Aku . . . ."

"Tidak ada bantahan. Aku tahu selama ini kau hanya berhias. Mempercantik dirimu hanya untuk menarik perhatian laki-laki di luar rumah ini. awas saja kalau sampai aku mendengar ada laki-laki yang naksir sama kamu."

Padmasari menunduk menghindari pandangan suaminya. ia benar-benar kesal dengan ancaman yang diucapkan Kusuma. Pasalnya selama ini Kusuma lah yang telah merebut dirinya dari kekasih yang sangat ia cintai. Laki-laki baik hati yang ia damba menjadi suami dunia akhiratnya telah dibunuh oleh Kusuma demi menggapai cintanya.

"Bukannya kamu ya, Mas yang telah merebut aku dari Mas Burhan. Kau bahkan telah . . . ."

"Cukup. Kau mau menjadi perempuan durhaka yang menuduh suamimu telah membunuh kekasihmu?"

Mata Kusuma berkilat menandakan bahwa emosinya benar-benar sudah sampai puncak kepalanya. Ia membanting ponsel yang sejak tadi ia genggam hingga benda mahal yang naas itu hancur berkeping-keping.