webnovel

Sekolah Baru

Aku hanya terdiam, duduk manis di sofa ketika para wanita sosialita itu membicarakan banyak hal yang harus mereka lakukan padaku. Sebelumnya, aku sangat bersyukur karena mereka mau menerima dan mengakuiku sebagai anak ibu. Merek bilang, mereka tidak peduli latar belakangku dulu, tapi karena sekarang aku adalah anak dari seorang Lily, aku harus berubah menjadi seperti seseorang dari keluarga terpandang.

Beberapa di antara mereka, mengajak anak. Bams adalah salah satunya. Ah, ada juga Rose, si perempuan blasteran yang kecantikannya mampu membuat siapa pun yang melihatnya, enggan berkedip.

"Ngomong-ngomong, kamu mau sekolah di mana?" tanya Tante Yuyun.

Aku menggeleng pelan. Aku cukup percaya diri dan menerima saja di mana pun ibu mau menyekolahkan aku. Well, aku pintar dan sekarang cantik, jdi tidak akan sulit untuk beradaptasi di mana pun itu.

"Aku lihat, Melody ini akrab banget sama Bams. Biar dia sekolah di tempat Bams aja!" sahut ibu dengan penuh semangat.

Tante Yuyun tadi bilang, bahwa sudah lama ibu ingin memiliki seorang anak, tapi sayang hal itu bukan sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Jika memang kenyataannya kami saling melengkapi, itu sangat bagus.

"Sekolah si Bambang itu, sekolah umum, bukan sekolah khusus yang elite. Mending ke sekolah Rose aja, lebih bergengsi." sahut Tante Yuyun dengan entengnya.

Aku menganga tak percaya saat ibu Bams menyebut nama anakya itu. Tunggu, itu tadi tante bilangnya Bambang, 'kan ya?

"Bia Melody aja yang tentuin mau sekolah di mana! Bukannya yang paling penting, dia nyaman dan suka? Kita para orang tua ini harus mendukung saja pilihan mereka!" samber Tante Lisa.

"Nah, bener tuh!" sahut yang lain.

Mereka pun memberikan rekomendasi sekolah yang menurut mereka cukup menjanjikan. Tapi, jika memang semua keputusan terserah padaku, aku lebih suka sekolah umum yang tidak membeda-bedakan kasta.

"Melody pilih sekolahnya Bams aja." aku mengatakannya tanpa ragu.

Semua terdiam, namun akhirnya mengangguk menerima keputusanku.

"Bams, jagain Melody ya. Karena anak baru, tante takut kalau dia kena bully." ungkap ibu.

Sungguh, ingin rasanya aku menangis karena tersentuh.

"Tenang aja, Melody aman sama Bams. Asal ada uang jajannya aja, Tan." gurau Bams. Sebuah pukulan secepat kilat menghantam belakang kepala Bams.

Pria itu hanya meringis melihat sang pelaku yang ternyata adalah Tante Yuyun, ibunya sendiri.

***

Aku melongo tak percaya melihat sebuah montor terparkir tak jauh dari tempat Bams berdiri. Bams adalah salah satu anak dari sosialita teman ibu. Tapi, ia menjemputku dengan motor? Kupikir anak orang kaya selalu naik mobil.

"Sekedar informasi, kalau lo kebanyakan bengong di situ, kita bisa telat!" seru Bams dengan nada datar.

aku mencoba tersenyum untuk menyembunyikan keterkejutanku. Dan, sesuatu langsung menyita perhatianku begitu aku berdiri di hadapan Bams.

Name tag pria itu.

"Nama kamu Bambang?" pekikku secara reflek.

Ini membingungkan. Ingin rasanya aku tertawa. Akan tetapi, rasa terkejutku jauh lebih besar.

"Ya, salahkan bokap gue yang gak ada gaul-gaulnya sama sekali. Lo bisa tetep panggil gue Bams, biar lebih nyaman."

Aku langsung mengeleng cepat. Menurutku itu nama yang cukup unik dan mudah diucapkan.

"Bambang aja lucu," ucapku sambil menerima helm yang Bambang berikan.

"Lo lagi ngledek gue apa gimana?"

"Siapa yang ngeledek? Nama kamu bagus kok, unik. Kayak nama orang jawa gitu!"

Bambang menghela napas panjang lalu naik ke atas motornya.

"Terserah lo!" serunya sambil menstarter motornya.

Aku tersenyum lebar, lalu naik ke atas boncengan motor Bambang. Ia pu melajukan motornya menyibak jalanan kota Jakarta yang sangat ramai.

Sesampainya di sekolah, Bambang mengantarku ke ruang sekretariat.

"Gue tinggal ke kantin ya, bosen kalau harus nungguin lo di luar sini. Pokoknya, kalau urusan lo udah kelar, cari gue di kantin. Lo tahu tempatnya, 'kan?"

Aku mengangguk pelan. Well, aku bukan anak manja yang apa-apa harus di temenin, tapi karena orang tua kami terus khawatir, jadi mau tidak mau aku harus terus mengekor pada Bambang untuk hari ini.

Bambang langsung beranjak menuju kantin, sementara aku masuk ke ruang sekretariat. Setelah semua urusan selesai, aku mencari Bambang di kantin. Kantin di sini sangat besar dan ramai. Bagaimana aku bisa menemukan pria itu?

Brugh!

Sial! Aku menabrak esorang hingga minuman yang ia pegang tumpah mengenai seragam sekolahnya.

"Yah, sialan. Cantik-cantik nggak punya mata!" makinya.

Oke, kuakui kalau aku memang salah, tapi tidakkah ucapannya itu terlalu kasar?

"Maaf, aku ganti ya minumannya," tawarku.

"Nggak perlu, gue bisa beli sendiri! Lain kali, jalan itu pakai mata, jangan pakai mata batin!" gerutunya sambil berjalan melewatiku.

Andai aku memang punya mata batin, sial!

Aku menghirup udara sebanyak yang kubisa untuk mengisi paru-paruku dengan udara yang baru.

"Bambang sialan!" umpatku kesal.

"Bisa mengumpat juga lo ternyata, gue kira lo itu cewek manis yang gak tahu cara bicara kasar!" bisik seseorang tepat di belakangku.

Aku menoleh ke belakang, dan terkejut melihat Bambang yang berdiri di sana dengan cengiran tanpa dosa.

"Dari tadi aku nyariin kamu!" seruku kesal.

"Orang gue dari tadi di belakang lo!" sahut Bambang dengan santainya.

Di belakang? Bagus! Apa dia sedang mengerjaiku?

"Soal cowok tadi, jangan diambil hati! Hari ini, mood Paijo lagi gak bagus, makanya omongannya ngelantur, harap maklum aja."

Aku memicingkan mata dan mencoba mencerna ucapan Bambang. Paijo? Apa pria yang kutabrak tadi?

"Bukannya namanya Ajiantoro? Aku sempet lihat name tag-nya tadi"

Bambang menggeleng pelan.

"Panggilannya Paijo! Jangan tanya kenapa, karena gue males jelasinnya! lagian, gak penting juga, 'kan?"

Aku mengangguk pelan.

"Oh iya, Mbang, traktir Bakso dong, aku laper tapi gak bawa dompet!"

"Tenang aja, pesen aja apa yang lo mau!"

Aku langsung berjingkat senang dan segera memesan semangkuk bakso dan es jeruk.

"Oh iya, aku penasaran deh, dari tadi itu, siswi-siswi yang aku lewatin lagi ngegosipin Roullete, emang Roullete itu apa sih? Nama orang, nama gank, atau nama apa? Kok pada heboh gitu?"

"Roullete itu sekumpulan anak-anak bandel, jadi nggak usah ngepoin mereka!" seru Bambang sambil menyeruput es jeruk milikku.

Sekumpulan anak-anak bandel? Oke, lebih baik memang tidak berhubungan dengan anak seperti mereka. Ibu akan sangat khawatir, dia juga akan merasa kesal nantinya. Jadi, cari aman saja.

"Ngomong-ngomong, ini yang dandanin lo siapa sih? Norak banget, kek anak SD! Rambut diikat dua, kek lagi ospek aja."

"Ibu yang dandanin, kayaknya ibu lagi suka-sukanya dandanin aku. Nggak enak kalau nolak dan bikin dia sedih!"

Bambang mengangguk pelan.

"Ini kalau nyokap gue lihat, bisa langsung dijambak itu rambut lo!"

"Kenapa gitu?"

"Ibarat kata nih, nyokap gue tomboi, sedangkan nyokap lo feminim. Ngerti, 'kan?"

Ah, benar juga. Meski mereka sangat akrab, mereka selalu berdebat untuk segala hal. Tapi, terlihat jelas bahwa keduanya saling peduli.