webnovel

New ID

Sebuah cahaya yang begitu menyilaukan menusuk mataku saat aku membuka mataku. Cahaya itu berasal dari jendela kamar yang terbuka lebar dengan beberapa tanaman hias di kedua sisinya.

Aku kembali menutup mataku dan tersenyum lebar. Menyadari ini semua bukanlah mimpi, sangatlah membahagiakan.

Wanita yang kini kutahu bernama Lily itu sungguh membawaku ke rumahnya, memberiku sebuah kamar yang begitu besar, dan membelikanku begitu banyak baju yang bagus. Dan, yang begitu membuatku senang tinggal di sini adalah, aku bisa makan sepuasku dengan makanan lezat yang belum pernah kumakan sebelumnya.

"Kamu sudah bangun? Apa semalam bermimpi indah? Kenapa tersenyum dengan mata terpejam seperti itu?"

Aku langsung membuka lebar mataku dan melihat ibu angkatku memasuki kamar yang memang tidak pernah kukunci.

"Sejak pindah ke sini, aku memang selalu mendapat mimpi indah!" sahutku sambil tersenyum lebar.

Ibu ikut tersenyum, ia lalu menghampiriku dan duduk di tepian kasur.

"Ibu sudah mengurus semua dokumen adopsi kamu. Jadi, mulai sekarang, kamu resmi menjadi anak ibu, ibu harap kamu tidak merasa canggung atau sungkan lagi."

Aku hanya mampu terdiam mendengar ucapan ibu. Sungguh, sepertinya ini adalah kalimat yang selalu di idam-idamkan semua anak yang tinggal di panti asuhan.

Kami selalu berharap siang dan malam agar bisa cepat di adopsi. memiliki orang tua yang baik dan mau merawat kami seperti anak kandung mereka sendiri.

"Ah ya, ibu lupa! Karena ibu pikir kamu harus jalani kehidupan yang benar-benar baru, identitas kamu juga harus diganti. Ibu sudah menyiapkan sebuah nama untuk kamu, kalau kamu enggak suka, kamu bisa bilang sama ibu, kita bisa cari nama lain untuk kamu!"

"Nama apa yang Ibu pilih?"

"Melody Putri."

"Melody Putri? Nama yang indah."

"Ibu akan memanggilmu Melody! Gimana, kamu suka?"

Aku hanya mengangguk pelan untuk menjawab petanyaan ibu.

"Oh iya, hari ini ibu mau undang temen-temen ibu buat makan malam, sekalian mau kenalin kamu ke mereka. Kamu temenin ibu belanja ya," ucap ibu sambil mengusap sayang pucuk rambutku.

Meski rasanya sedikit canggung, tapi aku menyukainya. Jadi, seperti inilah rasanya memiliki seorang ibu.

***

Mataku terbuka lebar, enggan rasanya untuk berkedip meski hanya satu detik.

Mall!

Serius, ini adalah pertama kalinya aku ke tempat seperti ini. Tempat ini luar biasa! Ada begitu banyak barang bagus yang dijual di sini, dan entah ini perasaanku saja, atau memang semua orang yang ada di dalam sini sangat cantik dan tampan? Mereka seperti para artis yang ada di televisi.

"Sebelum belanja bahan makanan, kita cari handphone dulu ya, kamu mau yang merk apa?"

Handphone?

Aku masih terdiam saat ibu menyeretku ke sebuah toko yang menjual berbagai macam handphone dan aksesorisnya.

"Bams!" teriak ibu tiba-tiba saat kami baru memasuki toko.

Seorang pria yang sepertinya seumuran denganku, menoleh dan tersnyum lebar ke arah ibu. Pria itu pun menghampiri kami.

"Tante ngapain ke sini?" tanya pria itu begitu berhenti tepat dua meter di dekat kami.

"Tante mau beli handphone, kamu sendirian di sini? Enggak sama mama kamu?" sahut ibu dengan ramahnya.

"Sendiri Tan, mama lagi nyari gamis, bosen nunggunya jadi Bams tinggal."

"Oh iya, kenalin Bams, ini Melody anak Tante."

Pria itu tampak terkejut saat ibu mempekenalkanku sebagai anaknya. Sepertinya mereka cukup dekat, dia pasti sudah tahu kalau ibu tidak memiliki anak.

"Ceritanya panjang, tapi yang jelas, sekarang Melody anak sah tante, kamu harus baik-baik sama dia ya!"

Meski masih bingung, pria yang dipangggil Bams oleh ibu itu, mengangguk pelan.

"Tante gak padai milih kalau soal handphone, enggak ngerti yang begituan, jadi tolong kamu aja ya yang bantu Melody pilih handphone, tante mau nyusul mama kamu!" ibu menepuk pelan lengan Bams, ia lalu menoleh ke arahku.

"Mel, kamu sama Bams dulu ya, tenang aja dia baik. Kamu pilih aja handphone yang kamu suka, ini!" setelah memberiku kartu kreditnya, ibu pun berlalu meninggalkanku.

Dengan ragu, aku mendongak untuk menatap pria yang tengah berdiri di hadapanku itu.

"Gue gak tahu sepanjang apa ceritanya sampai Tante Lily ngangkat lo jadi anak, tapi karena lo udah jadi anaknya, gue akan baik sama lo! Lo gak perlu canggung kek gitu sama gue!" ucapnya sambil merangkul pundakku, dan setengah menyeretku menuju etalase.

"Kamu deket ya sama ibu?" tanyaku ragu.

"Bisa dibilang gitu! Nyokap gue sama nyokap lo itu udah temenan dari jaman SMA, dan tentu gue deket juga sama dia. By the way lo mau handphone apa?"

"Apa aja deh!"

Bams mengangguk pelan, ia lalu menunjukkan beberapa handphone keluaran terbaru yang harganya di luar nalar bagiku. Ayolah! Kenapa benda itu bisa begitu mahal?

***

Aku melihat pantulan diriku di cermin. Apa ini benar-benar aku? Bagaimana seekor itik buruk rupa bisa menjelma sebagai angsa yang sangat cantik? Tunggu, cermin ini tidak ada filter kecantikan atau sebagainya kan?

"Kok kamu malah bengong sih? Cantik, 'kan anak ibu?"

Aku langsung menoleh ke arah ibu yang sudah berdiri di belakangku.

"Bu, ini cermin ada filternya, ya?" tanyaku dengan konyolnya.

Ibu langsung tertawa dan menepuk lenganku gemas.

"Kamu ini ngomong apa sih? Kamu itu kan memang pada dasarnya udah canti, jadi di poles dikit aja udah luar biasa cantiknya! Udah ah, ayuk keluar! Acaranya udah mau di mulai tahu!"

Ibu mengusap lembut pucuk kepalaku sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamarku.

Jantungku berdegup begitu kencang, kakiku juga langsung lemas seperti jelly. Di luar sana, ada kolega bisnis ibu, teman-teman sosialitanya, dan entah orang kaya mana saja yang beliau undang.

Bagaimana jika mereka tidak menyukaiku? Bagaimana jika merek berpikir bahwa aku tidak pantas untuk menjadi anak ibu? Apa yng harus kulakukan?

"Heh, malah ngelamun lagi lo! Cepetan turun! Itu di bawah, emak-emak udah pada ribut nanyain lo! Gue di suruh ke sini buat jemput lo!"

Aku masih mematung saat Bams menggerutu di ambang pintu kamarku.

Bams berhenti menggerutu da menatapku tajam. Ia lalu menghampiriku dan setengah menyeretku keluar dari kamar.

"Bams, aku takut!" seruku pelan.

"Kita bukan kanibal, jadi ga akan ada yang mau makan lo di luar sana!" sahut Bams dengan entengnya.

"Aku serius!" seruku kesal.

"Gue juga serius! Lo pikir gue lagi beranda?"

Abaikan saja dia. Dia memang sudah sangat menyebalkan sejak kami baru pertama bertemu tempo hari.

"Bams, kalau mereka gak suka sama aku gimana? Gimana kaau mereka mikir aku gak pantes jadi anaknya ibu?"

Bams menghentikan langkahnya, dan menatapku lurus-lurus.

"Lo gak perlu musingin hal sepele kayak gitu, Mel! Yaang penting, tante nyama sama lo, suka sama lo, dan anggap lo sebagai anaknya! Namanya orang, pasti ada pro dan kontra, jadi lo gak perlu musingin ha itu! Lagian, nyokap lo itu tante, bukan mereka! Paham lo?"

Aku terdiam dan mencoba mencerna ucapan Bams. Ya, apa yang dia ucapkan memang benar. Untuk apa aku mengkhawatirkan sesuatu seperti itu? Yang penting adalah ibu.

"Oh iya, ngomong-ngomong, lo pendek juga ya!" bisik Bams dengan tatapan menyebalkan.