webnovel

Rivandy Lex : Classical Academy.

Title : Rivandy Lex : Classical Academy Update setiap Hari Minggu Jam 8 Pagi. Rating : 13+ Genre : Classical Fantasy, Drama, Action. Genre Secondary : Comedy, Romance, Psychological, School, Slice of Life. Mystery. Style Writing : Japanese Light Novel. Sinopsis Di sebuah gang, terdapat seorang remaja yang diguyur hujan. Seorang pria yang memungutnya mengajaknya untuk tinggal bersamanya. Karena keberadaan pria itu, remaja itu mendapatkan kehidupan yang baru setelah melalui mimpi buruk di kehidupan lamanya. Semenjaik kepergian pria itu, remaja itu memutuskan untuk menjalani kehidupan baru dengan menempuh pendidikan Akademi Spyxtria. Remaja itu, Rivandy Lex, menjalani kehidupan baru di akademi klasik tersebut. #WF

Ephixna_19 · Fantasy
Not enough ratings
41 Chs

Hari Pertama : Ajakan Kepala Sekolah

Aku dan Pak Boris meninggalkan kelas tanpa memperdulikan murid lain yang didampingi oleh panitia akademi.

Aku berada di belakang Pak Boris dengan canggung. Sorakan kelas tidak terdengar karena aku berada cukup jauh dari kelas.

Pak Boris tidak menoleh dan berbalik badan. Hanya maju ke depan untuk penunjuk jalan.

Rasa kecemasan perlahan hilang. Ingatanku tentang akademi ini kembali diungkapkan. Enam bulan yang lalu, paman itu mengajakku ke akademi untuk mengambil berkas yang ketinggalan.

Akan tetapi, untuk sekarang aku membiarkan Pak Boris menyelesaikan pekerjaannya. Tidak keberatan jika ia menjadi pemandu ku sekali lagi.

Tidak ada obrolan selama perjalanan menuju ke ruang kepala sekolah.

[***]

Setelah sampai di luar ruangan, kami menghentikan langkah. Dia membalikkan badannya dan memberikan instruksi padaku. Aku menurut instruksi begitu saja tanpa pikir panjang.

"Silahkan masuk! Kau hanya perlu mengobrol dengan kepala sekolah. Setelah itu, kau boleh kembali ke kelas."

"..." Aku mengangguk pelan.

"Aku kembali ke ruang guru secepatnya." Pak Boris meninggalkanku dengan pesan terakhirnya.

Hanya aku tersisa saat ini. Mengatur nafas dengan pelan dan mengumpulkan keberanian. Hanya itulah yang bisa kulakukan.

Pintu terbuka dengan tanganku seraya mengucapkan salam. Suara pelan mengalihkan perhatian seorang wanita yang berada di panggung pada saat upacara akademi berlangsung.

"Oh. Ada tamu rupanya. Ada yang bisa dibantu?" Tanya wanita itu dengan menunjukkan keramahan.

"Pak Boris mengatakan bahwa aku dipanggil oleh kepala sekolah. Jadi, aku berada disini."

"Duduklah! Rasanya melelahkan kalau kamu berdiri terus menerus."

Aku mendekati kursi kayu dan duduk dengan santun. Wanita itu mengabaikan pekerjaan dan memandangku dengan konsentrasi penuh.

"Ada yang bisa dibicarakan, Kouchou-sensei?"

"Jangan panggil aku begitu! Dasar kaku! Kau boleh memanggilku Cherry!"

"Baiklah! Kembali ke topik. Ada yang perlu dibahas?"

Cherry terdiam sejenak. Mulut berisi lipstik belum bergerak. Mata merah memandangku seperti patung.

"Apakah kamu tahu siapa yang memungutmu?"

Aku mendapatkan pertanyaan yang tidak mengenakkan. Pertanyaan yang takkan bisa kujawab seumur hidupku.

"Aku tidak tahu. Aku hanya menutup mulutku soal itu."

"Lagipula, kenapa kamu tahu namaku? Kau menguntitku?" Aku membalikkan pertanyaan sedikit tegas.

"Tunggu dulu! Aku tidak melakukan sejahat itu, kok.* Dia mencegahku untuk menuduhnya sebagai penguntit.

"Baiklah." Aku menarik semua pemikiranku. Kembali lagi ke inti. "Paman itu baik. Dia sampai memberikan harapan padaku. Kalau dia tidak ada, mungkin aku akan mati."

Cherry tertawa kecil dengan menutup mulutnya. Pikirannya pergi entah kemana. Pengakuan darinya menaikkan alisku.

"Dasar anak pungut! Kalau tidak dipungut, kamu akan mati kelaparan."

"Tidak usah dipikirkan! Kamu tidak perlu memikirkan hal itu." Ia merayuku agar tidak terjerumus ke jurang penderitaan.

Hatiku berdetak. Rayuan wanita itu menghancurkan percaya diriku. Wajah memerah menyembunyikan pipiku. Aku berpaling darinya dan langsung menerima begitu saja.

"Baiklah. Aku tidak terlalu khawatir soal itu. Lagipula, aku tidak keberatan."

Dia tersenyum lebar. Tanpa suara. Lipstik yang terlukis di bibirnya meningkatkan kecantikannya. "Ara-Ara. Sepertinya, kamu malu sekali."

"Tidak ada pilihan lain! Aku tidak mau ... membongkar rahasia itu."

Menenangkan diri dan melupakan topik tadi. Cukup hening karena wanita itu memaksaku untuk membongkar rahasia itu. Ia menjadi tidak enak dengan paksaan itu.

Ia mengalihkan topik. Saatnya, membahas sesuatu yang lebih ringan.

"Oh iya. Bagaimana dengan Roshan Capital? Apakah kamu menikmatinya? Tidak ada yang lebih menyenangkan bila kamu keliling kota dengan pasanganmu. Mungkin, aku bisa menjadi kekasihmu. Karena tampan, tidak ada yang menolakmu."

"...."

Ia tertawa tanpa suara. Ekspresiku tidak pernah berubah. Tidak pernah terpikirkan untuk mempunyai pasangan kekasih.

"Jangan memasang wajah seperti itu! Kau takkan bisa bertahan hidup tanpa pasangan sekalipun. Itu cukup bermasalah di kota ini."

"Maaf! Aku tidak berpikiran sejauh itu." Aku meminta maaf.

Ia memaafkanku dengan mudah. Aku tidak pernah mendapatkan perlakuan yang ramah itu. Ia beranjak dari kursinya dan berniat untuk memelukku.

Pelukan itu mengubah segalanya. sebuah tubuh yang penuh bau bunga Rose. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya.

Apakah aku pantas diperlakukan seperti ini? Padahal, aku tidak perlu mendapatkan perlakuan yang baik. Hanya Cherry yang berbeda. Tidak ada yang lain.

"Jangan khawatir! Kalau kamu mempunyai masalah, jangan ragu untuk mengobrol denganku! Aku tidak mau remaja yang manis ini mendapatkan masalah serius."

Kelopak mataku tertuju di sebuah dada yang menggunung. Pertama kalinya aku mendapatkan perlindungan. Dari seorang wanita, aku mulai paham. Tidak ada yang boleh meremehkannya.

"Aku mengerti."

Pelukan itu berhenti sesaat. Aku memegang mata dan mencegah orang lain melihatnya. Cherry menelitiku dengan penuh simpati, sehingga aku tidak bisa berdiam diri untuk waktu yang lama.

"Kau boleh menganggapku sebagai kakak perempuan. Itu sangat menyenangkan."

Aku memalingkan pandangan ku padanya. Tubuh Cherry terlalu mudah ditebak. Semuanya sudah jelas dibalik pakaian gaun.yang dikenakannya.

"Kalau kau punya kekasih. Aku akan merayunya dan kita akan merayakannya. Bukankah pamanmu melakukan hal yang sama?"

"..." Aku terdiam patung.

"Ayolah! Kau tidak perlu malu untuk mengungkapkan dirimu."

"Aku tidak terlalu berharap apakah aku akan mendapatkan kekasih atau tidak. Setidaknya, punya teman tidak masalah."

Dia menyembunyikan tertawa dengan tangan. Ia membalas,"Naif sekali! Kau tidak pernah merasakan punya kekasih. Aku merasa kasihan padamu."

"Oh iya. Aku punya sesuatu untukmu."

Dia menjauhiku untuk mengambil barang yang bisa diberikan. Hanya menunggu beberapa saat, hubunganku dengannya berubah seketika. Baru pertama kali, hubunganku lancar seperti ini.

Ini akan mengubahku suatu saat nanti.

"Aku menemukannya. Ini!" Ia menyodorkan tangan yang berisi dengan kotak kecil berwarna merah. Pita biru yang mengikat mengajak penerima membuka kotak itu."Aku memberikanmu sebagai hadiah.*

Aku mengambil kotak kecil dengan kedua tanganku. Kotak itu dipandang sejenak. Isinya belum diketahui. Aku akan membukanya nanti.

"Kau pasti ingin tahu isinya apa." Dia menyembunyikan tawa lagi. "Kau pasti paham siapa paman itu sebenarnya. Oh iya, di bawah kotak itu, ada tulisan berupa alamat."

"Kau bisa mengunjunginya di akhir pekan."

Aku melirik di bawah kotak itu. Itu berisi sebuah alamat dan nama jalan. Sepertinya, dia mengajakku ke sana.

[Jl. Evrocka 23. Nomor 45. Restoran Elit Zveda]

"Restoran itu buka pada pagi hari pada Weekend. Itu cocok untuk pagi dan malam."

Beberapa saat kemudian, aku teringat dengan kelas yang akan dimulai. Pertemuan ini adalah ajakan yang spesial.

"Sepertinya, kelas akan dimulai." Aku beranjak dari tempat duduk.

"Terima kasih karena memanggilku! Aku akan ke sana saat Weekend nanti."

"Iya. Pastikan jangan ajak orang lain yah! Aku merindukanmu." Dengan penuh kasih sayang, dia merayuku dari jauh dan menyampaikan ciumannya sembari melanjutkan pekerjaannya.

Aku meninggalkan ruangan itu dan dibalas dengan lambaian tangan. Kemudian, aku bergegas menuju ke kelas tanpa khawatir tersesat.

[***]

Set8ba di Kelas I Saintek A, aku menarik perhatian mereka. Mata mereka tertuju padaku dan bergegas dengan cepat.

Mereka pun menanyakan bagaimana pertemuanku dengan kepala sekolah itu.

Aku mau saja diperlakukan seperti itu. Aku menjawab dengan singkat agar aku bisa keluar dari rombongan mereka.

Hasilnya, memuaskan. Mereka mengerti dan memberiku jalan. Pelajaran selanjutnya adalah pengenalan para guru.

Tidak ada pelajaran. Hanya sebatas obrolan dan cerita membosankan.

"Rivandy!" Evelyn memanggilku di sela jam pelajaran.

Aku menoleh padanya dan menurunkan suaraku. Evelyn mengajakku bicara.

"Pulang sekolah, temani aku, desu! Ke toko permen, desu."

"Aku akan menemanimu. Kau bisa ke sana semaumu."

"Benarkah, desu?" Mata Evelyn menjadi bintang.

Sebuah teriakan yang menghentikan obrolan kami. Seorang guru dengan kayu rotan menghantam meja. Itu sudah cukup untuk menghentikan obrolan menyenangkan itu.

"Kalian berdua! Jangan mengobrol saat pelajaran!" Guru itu menegur kami.

"Maafkan kami!" Aku dan Evelyn meminta maaf dengan kompak.

Setelah obrolan membosankan itu menyerang kami cukup lama, Lonceng akademi berbunyi lagi. Kali ini, lonceng ini menandakan waktu pulang. Kami pulang dan mampir ke toko permen dengan akrab.