webnovel

1. Suami yang Bisa Disewa

Namanya Aileen Nayara Eleanor. Cantik, tapi terlalu pelik. Hidup pasifnya cuma diisi dengan bekerja dan bekerja. Tanpa pernah punya waktu memikirkan siapa calon suami idaman di saat usianya di pesta malam ini menginjak angka dua puluh lima.

"Aileen, Mama ingin bicara sama kamu."

Lalu, ketika kalimat itu terlontar dari bibir mungil sang Mama, mungkin Aileen bakal segera mengubah persepsinya. Dia harus segera mencari suami sekarang juga! Kalau tidak perempuan itu bakal menjodohkannya dengan pria tua bangka kaya raya.

"Eh ... bentar dulu, Ma. Aileen mau ke toilet dulu sebentar, ya!"

Perempuan dengan gaun mocca itu berlari terbirit menuju luar rumah, bukan toilet. Begitu sampai di luar rumah dan memasuki mobil yang sudah menunggunya di luar gerbang, Aileen dan sang supir melesat meninggalkan kawasan rumah megah keluarga Eleanor.

"Kita beneran mau kabur ke Lombok nih, Lin?" tanya Freya---sahabat Aileen yang menjadi supir cemas.

Aileen mengangguk mantap. "Lebih baik kabur daripada nikah sama cowok," jawab perempuan dengan rambut sepinggang itu yakin.

Freya memutar bola mata malas. "Terus kalau bukan cowok, kamu mau nikah sama cewek gitu?" tanya Freya tidak habis pikir.

"Ya nggak gitu juga, Bego!" maki Aileen tidak berperasaan.

Berikutnya, Freya memilih diam. Keduanya melesat dengan cepat menuju Bandara. Tentu saja rencana kabur mereka sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Lebih tepatnya seminggu setelah Aileen menguping pembicaraan sang mama dan papa tentang perjodohannya dengan rekan bisnis yang memiliki perusahaan raksasa.

Aileen benci berhubungan dengan laki-laki. Dan Freya tahu itu sehingga dengan cepat sang sahabat membantu rencana kaburnya. Begitu sampai Bandara, keduanya segera menunggu jadwal pesawat yang sudah beberapa hari lalu mereka pesan untuk berangkat. Aileen tidak membawa baju ganti sama sekali tentu saja.

"Kalau kabur nanti, kamu mau ngapain, Lin?" tanya Freya penasaran sambil mengemil sebungkus snack kentang di tangannya.

Aileen mengangkat bahu acuh. Perempuan itu menghela napas berat. "Mungkin mau cari kerjaan, habis itu tinggal sendirian."

"Jangan ngomong gitu lah woi! Kan masih ada aku, kamu nggak inget aku ini orang Lombok? Jadi kita bisa tinggal sama-sama, kamu bisa tinggal di rumahku sampai kapanpun yang kamu mau." Freya menepuk pundak Aileen.

Perempuan dengan rambut yang kini sudah terkuncir satu itu, menggigit bibir bawahnya gusar. Freya memang mengizinkannya tinggal sampai kapan saja, tetapi ia tidak mungkin enak hati merepotkan perempuan itu terlalu lama.

"Iya, sementara waktu di rumah kamu. Tapi kalau udah dapet kerjaan, aku mau sewa kontrakan. Nggak boleh manja, lagipula aku nggak semiskin itu kan, buat lebih banyak ngerepotin orang?"

Freya tersenyum tipis mendengar jawaban Aileen. Masih sahabat yang sama. Orang yang selama ini selalu menemaninya dari bangku SMA hingga sekarang. Oranh yang tidak pernah meninggalkannya dan selalu membantunya kala Freya kesusahan dan menjadi sesukses sekarang.

"Perasaan gedean aku beberapa bulan, kok pemikiran kamu yang lebih dewasa sih, Lin?" tanya Freya tidak habis pikir. Perempuan tomboy pemilik toko Ayam Geprek yang kini tersebar dimana-mana itu, selalu merasa Aileen lebih dewasa darinya.

"Cuma beda beberapa bulan juga, jangan sok gede!" cerca Aileen yang dibalas delikan sinis Freya.

Dalam hati, Aileen bersyukur karena memiliki sahabat atau malah satu-satunya sahabat seperti Freya. Entah dengan cara apa perempuan itu tahan saja menjadi sahabat orang pasif dan membosankan seperti dirinya.

Sampai kemudian keduanya naik pesawat dan berangkat menuju Lombok, Aileen tidak sadar satu hal. Masalah mengintainya kemanapun perempuan itu berpijak.

***

Begitu sampai di sebuah rumah sederhana di Lombok Tengah, Freya dan Aileen kontan berbaring telentang saling menindih. Aileen tentu saja sudah biasa di tempat ini. Dia beberapa kali memberi alasan berlibur ke Lombok padahal yang dilakukannya hanya numpang rebahan seminggu di rumah Freya.

Sedangkan, Freya sendiri hanya anak yatim piatu. Beberapa tahun lalu, tepat di hari wisudanya, Ayahnya meninggal. Sejak itu ia sangat jarang ke rumah ini dan memilih merantau merintis bisnis di kota kelahiran Aileen.

"Rumah kamu masih aja bentukannya gini,  pakai hiasan sarang laba-laba sama stiker debu," sindir Aileen sambil menatap langit-langir kamar bermaterial bambu anyaman.

"Gini-gini juga selalu jadi destinasi wisata pertama kamu," jawab Freya sewot.

Aileen terkekeh geli. Baru saja matanya akan terpejam saking lelah dam mengantuknya, sebuah dering panggilan malah mengejutkannya.

Dengan malas-malasan, tanpa berniat melihat siapa yang menelepon, Aileen mengangkat panggilan dengan mata setengah terpejam. Ponsel ditempelkannya di daun telinga malas-malasan.

"Halo ... siapa?"

"Aileen Nayara Eleanor! Beginikah caramu memperlakukan Mama dan Papa?! Kabur di pesta ulang tahunmu sendiri bukan hal yang lucu, Aileen!"

Teriakan dengan nada murka itu, seketika membuat Aileen bangkit dari posisi berbaring telungkupnya. Bibirnya menggigit kuku jemari gusar. Kenapa dia dengan bodohnya malah mengangkat panggilan tanpa melihat situasi dan membiarkan sang Ayah berbicara dengannya?

"P-Papa ... maafin Aileen. Tapi ... Tapi Aileen nggak mau dijodohin," jawab Aileen dengan suara bergetar menahan tangis.

"Lalu apa untungnya buat Papa jika mengiyakan keinginan kamu? Selama ini Papa sudah cukup bersabar, Aileen. Putri semata wayang Papa sudah berusia 25 dan Papa sudah hampir dijemput Tuhan tapi kamu belum juga menikah."

Freya yang terbangun kemudian menyorot Aileen seolah bertanya 'siapa?' Aileen memberi kode dengan gerakan bibir dan berucap 'Papa.'

"A-aku bakal bawain menantu buat Papa." Entah setan mana yang merasuki perempuan itu, tapi kalimat itu seketika terlontar dari bibirnya dengan licin. Seolah mencari calon suami memang semudah menjentikkan jari.

"Satu minggu, dan kalau kamu belum kembali dengan membawa menantu buat Papa, jangan sebut Papa maupun Mamamu sebagai orang tua kamu lagi. Sekarang pilihan ada di kamu, mencari sendiri calon suami, atau menerima perjodohan dengan pria pilihan Papa."

Begitu sambungan telepon diputuskam sepihak, wajah Aileen berubah pias dalam sekejap. Matilah dia dan segala rencana kehidupan tenangnya.

"Kamu bego apa gimana sih, Lin?! Gimana kamu mau ngasih menantu buat Papa kamu kalau temen cowok aja kamu nggak punya?!" tanya Freya membentak.

Aileen yang juga tidak menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, akhirnya cuma bisa menangis dalam diam. Dia juga tidak tahu dan tidak pernah mau mengenal makhluk Tuhan bernama lelaki lagi. Tapi, kenapa takdir malah terus memaksanya berada dalam posisi sesulit ini?

Selama ini, Aileen menghabiskan masa mudanya untuk berdedikasi di perusahaan raksasa sang ayah. Ia tidak pernah membantah dan terus menuruti permintaan kedua orang tuanya. Tapi, saat ini dia benar-benar tidak bisa.

"Jangan nangis dong, Lin! Ayo cari pemecahan masalahnya sama-sama." Freya menenangkan sambil memeluk tubuh sang sahabat menenangkan. Sedikit merasa bersalah karena tadi sempat membentak Aileen.

"Solusinya cuma satu, Fre. Bantu aku cari suami yang bisa disewa."

"Hah?!"