webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

resepsi

Aksara menghela napas malas. Lelah karena harus terjebak diantara Riri dan Anna yang sendiri tadi bergosip entah apa pemuda itu tidak peduli.

Resepsi pernikahan Pakdhe Anas tengah berlangsung siang ini. Di gedung tak jauh dari rumah uti lebih tepatnya.

Aksara, Anna, dan Riri mendapat tugas untuk membagikan souvenir pernikahan—berupa cangkir keramik—di pintu masuk gedung.

Aksara mendengus karena ia yang diharuskan menggunakan pakaian adat jawa, cukup membuat pemuda itu frustasi karena demi apapun, bahkan pakaian ini lebih menyebalkan dari rok span milik ibuk.

"Jangan cemberut gitu dong Sa. Yang ikhlas," celetuk Riri. Ketiganya sudah cukup bersantai sekarang karena tidak ada lagi tanda tanda tamu lain akan datang.

Aksara mendengus, "Gue ikhlas. Cuma males aja. Nggak ada baju yang mending gitu? Ini mah sama aja kaya pake rok spannya punya ibuk,"

"Ya emang bawahannya gitu Sa. Nggak usah protes," Riri memutar bola matanya malas, "Gimana keadaannya Nathalie?"

"Semalem dia operasi. Kata temen gue sih kondisinya udah stabil. Tapi gue belum ada kontak sama dia dari kemaren,"

Riri mengangguk mengerti, "Semoga aja sembuh deh,"

Satu satunya pemuda diantara ketiganya mengangguk mengamini. Bagaimanapun, Nathalie adalah gadis yang kuat. Ia pasti bisa melewati semuanya, walaupun Aksara tidak bisa menghiburnya secara langsung.

"Jangan galau gitu dong. Muka lo jadi sad boy vibes banget tau nggak," ejek Anna.

"Nggak galau aja udah keliatan sad boynya apalagi kalau lagi galau. Keliatan kaya orang stress di kejar rentenir lo tau ga Sa,"

"Sembarangan kalau ngomong," si bungsu Adyatma mendengus kesal.

Dua gadis itu terkikik bersamaan.

"Ini kapan selesainya sih? Gerah ini," keluh Aksara.

Anna mengedikkan bahu, "Biasanya sih sore. Tapi nggak tau juga kalo sampe malem,"

"Gue capek pengen pulang," erangnya frustasi, "Lama bener sih cuma resepsi doang,"

"Ya mana gue tau orang gue belum pernah nikah,"

Anna menoleh dramatis, "Bukannya lo janda ya Ri?"

"Segawon," Riri tersenyum manis.

***

"Kamu tau kenapa Abim di namain Abimanyu bukannya Bima?" tanya uti pada Aksara saat keduanya tengah bercengkrama di teras rumah uti.

Aksara menggeleng, "Kata abah ngasal ngasih nama,"

"Nama itu doa. Orang tua pasti tau, dan berdoa melalui nama anak anaknya," jawab uti diakhiri dengan kekehan, "Abimanyu itu anaknya Arjuna,"

Aksara mengangguk, mendengarkan uti dengan seksama.

"Abimanyu itu selalu melindungi Arjuna begitu pula sebaliknya. Abimanyu bisa berarti Bima, anak kedua pandawa dan Abimanyu putra Arjuna," jelas uti, wajahnya yang di liputi kerutan tetap terlihat ayu walaupun tidak lagi berusia muda, "Abahmu ingin Abim dan Arjuna punya ikatan khusus,"

"Ikatan khusus?" si bungsu memiringkan kepalanya bingung, mengundang kekehan gemas sang nenek.

"Sejak awal, abahmu pengen punya 4 anak,"

"Loh bukannya kata Mas Abim abah sama ibuk cuma mau punya 3 anak ya uti?"

"Iya, setelah berkeluarga abahmu pengen punya 3 anak aja. Siapa sangka kan Abim malah nangis semaleman minta adek," uti masih tersenyum, mengusap kepala cucu laki-lakinya itu sayang, "Tapi sejak dulu abahmu memang mau punya 4 anak. Dan nama namanya sudah di siapkan dari sebelum abah dan ibukmu nikah,"

Mata Aksara membulat, "Jadi nama-nama Aksa sama mas bukan cuma abah yang ngasal?"

"Nggak ngasal le. Itu memang udah di rencanakan dari awal. Abimanyu dan Arjuna, abahmu pengen mereka punya hubungan khusus sebagai anak tengah, karena kamu tau? Menjadi anak tengah itu berat. Harus mengimbangi kakak dan adiknya. Harus menjadi penengah diantara saudara-saudaranya. Abahmu pengen, Abim dan Juna saling melindungi dan menguatkan sebagai anak tengah,"

Aksara mengangguk mengerti, tidak menyangka nama Abimanyu dan Arjuna mempunyai maksud yang tidak sederhana, "Terus kalau Aksara?"

"Aksara ya," uti bergumam kecil, membuat pose berpikir, "Tadinya kamu mau di kasih nama Sarah Larasati,"

Sang cucu mencebik kesal, "Uti mah sama aja sama ibuk,"

"Tapi memang iya le. Dulu waktu USG terakhir ibukmu anaknya perempuan jadi abahmu siapin nama Sarah Larasati Adyatma,"

"Terus kenapa bisa jadi Aksara Haidar Adyatma?"

"Aksara itu plesetan dari Aksarah,"

Si bungsu Adyatma melotot kesal, bibirnya semakin mencebik kesal, "Uti," rengeknya.

Uti tertawa kecil, "Bercanda le. Aksara itu tulisan," beliau mendongak menatap langit-langit rumah yang di penuhi jaring laba-laba, efek sudah cukup lama tidak di bersihkan, "Bukan lisan. Abahmu ingin kamu itu tidak hanya berucap, tapi membuktikannya. Abahmu ingin kamu membawa kesan dan ajaran yang baik. Abahmu ingin kamu jadi orang yang bertanggung jawab. Tidak hanya bisa menebar janji palsu,"

Anak itu mengangguk-angguk mengerti.

"Tapi sekarang malah anaknya kelewat pendiem jadi males mau bersosialisasi," sindir uti.

Aksara memutar bola matanya malas, tidak sopan. Dan hanya Aksaralah yang berani melakukan hal tidak sopan itu pada uti, jelas karena si bungsu inilah cucu kesayangan uti, bahkan Mbak Alya dan Mbak Sela saja tidak mendapat perlakukan khusus sebagaimana uti memperlakukan Aksara, "Aksa cuma nggak suka sama orang orang yang dateng waktu ada maunya uti. Keliatan banget yang beneran pengen temenan atau cuma mau manfaatin,"

Uti mengangguk mengerti, "Jangan memandang manusia sebelah mata Aksa. Setiap orang itu beda beda. Coba kamu lihat mangga, walau bentuknya sama, warnanya sama, jenisnya sama tapi rasanya ada yang beda kan? Itu juga seperti sifat manusia. Jangan memandang manusia adalah sama. Ngerti?"

Si cucu mengangguk, "Iya ngerti," finalnya walaupun entah ia bisa menguraikan maksud kalimat sang nenek atau tidak.

"Bagus," uti tersenyum, "Nggak mau ngumpul sama sepupu sepupumu? Kenapa malah ikut uti di teras?"

"Males sama Mbak Alya sama Mbak Sela sama antek anteknya. Tukang pamer, nggak mau ngalah,"

"Itu sudah sifat mereka. Kamu tau? Sifat seseorang kalau nggak bawaan lahir ya pengaruh dari lingkungan sekitarnya,"

"Tau kok uti. Mbak Alya sama Mbak Sela contohnya," cibir Aksara, "Keliatan banget udah bawaan lahir faktor internal juga yang bikin tambah parah,"

Uti terkekeh kecil, "Kamu tau kenapa uti selalu biarin mereka? Jarang negur mereka?"

"Karena uti sayang sama mereka?"

"Uti sayang sama semua cucu cucu uti le. Menasehati itu termasuk cara menunjukkan kasih sayang," jawab uti tenang, "Uti sudah mengingatkan mereka berkali-kali dan mereka tidak mau mendengarkan. Dari pada menghabiskan tenaga untuk menasehati yang bebal lebih baik menasehati yang mau berinstropeksi diri,"

"Oh gitu," Aksara mengangguk, "Tapi emang sih uti mereka kebanyakan bebal banget. Sombong sok cantik, sama gebetan Aksa aja kalah,"

Uti tertawa mendengar cibiran cucunya, "Kamu tau kenapa uti lebih sering nasehatin kamu pelan pelan?"

"Karena uti sayang Aksa?" tanya pemuda itu percaya diri.

"Uti sayang semuanya, sama rata Aksa. Hanya saja, cara uti menasehati cucu-cucu uti itu tergantung sebebal apa kelakuan mereka,"

"Pantesan uti sekali menasehati ke Mbak Alya jadi galak banget,"

Uti tertawa, tidak tampak tersinggung, "Itu namanya tegas,"

"Tapi kalau uti yang bilang jadi kelihatan galak tau,"

"Dasar,"