webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

curhat

Aksara memeluk tubuh ibuk yang kini duduk di ruang tengah. Mengabaikan tatapan jijik sepupu dan saudara saudaranya—terutama Mas Abim yang sendari tadi merengut kesal karena merasa tersaingi untuk mendapat perhatian ibuk. Dasar titisan sangkuriang.

"Tadi ngomongin apa sama uti?" tanya ibuk tenang.

Aksara yang tengah menyandarkan kepalanya pada bahu ibuk menggeleng, "Aksa emang dulu mau di kasih nama Sarah Larasati Adyatma ya buk?"

"Iya. Tanya abahmu kalo nggak percaya," jawab ibuk sembari menahan tawa.

"Ih tapikan itu dulu. Kenapa sampe sekarang di panggil Sarah?" rengeknya.

Arjuna mengernyit jijik, melemparkan bantal di pangkuannya kepada sang adik, "Nggak usah sok imut bocil,"

"Berisik lutung kasarung,"

Ibuk terkekeh melihat pertengkaran kecil itu, "Karena emang udah terbiasa. Kamu kan emang dari kecil udah di panggil Sarah,"

Aksara masih merengut, memilih beranjak lalu melangkah keluar ruangan dengan kaki yang di hentakkan. Pemuda itu berhenti di dalam kamar tamu, lebih baik membereskan barangnya sekarang karena memang esok hari mereka akan kembali ke Bandung.

Dering ponsel mengagetkan Aksara yang hendak melangkah menuju kopernya di sudut ruangan.

"Agam?" gumamnya pelan kala mendapati panggilan telepon dari sahabatnya itu. Tanpa pikir panjang Aksara segera menerima panggilan tersebut, "Halo Gam?"

"Sa gue galau,"

Aksara memutar bola matanya malas, "Telpon bukannya basa basi malah langsung curhat aja lo,"

"Ya gimana gue galau Sa,"

"Udah gue bilang jangan galau cuma gara-gara cewek," jawab pemuda itu seraya merebahkan diri di ranjang.

"Selama ini ternyata gue cuma selingkuhannya Anya. Gue cuma bahan taruhan Anya sama temen temennya Sa,"

Aksara mengernyit, "Lo di jadiin bahan taruhan?"

"Iya," suara Agam tampak lirih dan putus asa.

Si bungsu Adyatma terdiam, menatap nanar ponsel di genggamannya. Andaikan saja Agam berada di sampingnya saat ini mungkin Aksara akan memeluk sahabatnya itu, menenangkannya seperti yang biasa ia lakukan ketika Agam mendapat masalah. Tapi sayangnya saat ini ia tidak bisa melakukan itu, "Lo tenang ya Gam. Tenangin diri sama pikiran dulu oke? Jangan sampe kegalauan lo ini bikin lo frustasi dan ngelakuin aneh aneh,"

"Gue nggak sebodoh itu asal lo tau. Tapi, cowoknya Anya, dia anak geng. Dari kemaren gengnya ngejar ngejar gue mulu. Mereka nggak terima Anya selingkuh sama gue,"

"Loh bukannya yang salah Anya. Kok lo yang di kejar?"

"Ya itu masalahnya. Kayanya Anya sengaja mau ngadu domba gue deh. Nggak mungkin juga kan dia ngaku selingkuh ke pacarnya. Dengan dalih dare pun juga kalau gue yang jadi pacarnya nggak akan terima,"

"Bener juga sih. Tapi kenapa lo nggak jelasin aja ke mereka?"

"Emang mereka kelihatan mau dengerin gue? Nggak kan? Jadi toh percuma gue jelasin, sama aja gue bakalan babak belur di keroyok sama mereka,"

"Mending sekarang lo lapor polisi aja Gam. Gue nggak mau ya lo sampe sekarat di keroyok sama mereka,"

Tawa sinis Agam terdengar, "Jumlah mereka banyak Sa. Percuma aja, yang ada mereka makin menjadi-jadi,"

Aksara mengangguk mengerti, "Lo udah bilang sama ortu?"

"Mereka sibuk. Nggak akan peduli juga,"

Pemuda itu menarik napas panjang, "Lo tenang. Besok gue balik ke Bandung. Kalo bisa jangan kemana mana dulu. Besok sore gue ke rumah lo,"

"Halah nggak usah. Tenang aja gue bisa atasin kok,"

"Seriusan? Lo di keroyok sama anak geng lo bisa atasin?" datar Aksara.

Agam terkekeh canggung, "Lusa aja lo ke rumah gue mumpung Minggu. Lo istirahat aja besok,"

"Nggak usah sok peduli. Besok gue ke rumah lo,"

"Nyinyinyinyi bodo amat ye Sa terserah,"

"Gam. Keadaan Nathalie gimana?"

"Udah membaik. Katanya Minggu udah bisa pulang,"

"Oh gitu. Minggu mau sekalian jenguk Nathalie nggak?"

"Boleh ayo. Lu yang bawa motor ya sekalian isiin bensin,"

"Lama lama ngelunjak juga ya lo," pemuda itu mendengus, "Mau oleh oleh apa? Mumpung bentar lagi gue mau keluar beli oleh oleh nih,"

"Gue nggak ngerti gituan Sa,"

"Nathalie nitip bakpia. Mau sekalian?"

"Bakpia? Nyokap gue suka tuh. Beliin dua dus ya Sa hehe,"

"Iya ntar gue beliin tenang,"

"Sa kalo gue pergi, tolong jangan lupain gue ya Sa," suara Agam memelan di setiap katanya.

"Ngomong apaan sih lu? Ya nggak lah. Temen gue lo doang,"

"Kalo gue pergi lo cari temen yang banyak Sa. Jangan galak galak,"

Aksara memutar bola matanya malas, "Gue lagi usaha sekarang Gam. Semoga aja bisa bersosialisasi,"

"Nah. Kalo gue nggak ada lo cari temen sebangku yang lain ya. Jangan sendirian, ntar keliatan ngenesnya," Agam terkikik kecil.

"Kalo lo nggak ada. Cuma kalo, seandainya. Lo nggak akan kemana mana kan Gam? Lo nggak diem diem pindah ke luar negeri kan?"

"Kata lo zona nyaman itu terbaik kan. Gue juga, di Bandung itu zona nyaman gue. Nggak mungkin gue pergi,"

"Terus kenapa lo bilang gitu bodoh,"

"Kan seandainya. Makasih ya udah jadi temen gue Sa,"

Aksara mencebik pelan, "Ya kembali kasih. Lo temen pertama gue by the way,"

"Seriusan? Wah gue tersanjung,"

"Terserah,"

"Tapi gue serius Sa. Kalo gue pergi jangan lupain gue ya?"

"Nggak balalan Gam. Kenapa sih lu? Kesambet?"

"Nggak papa sih hehe cuma pengen bilang aja,"

"Nyokap sama bokap lo di rumah?"

"Kagak sih. Lagi di Jakarta semua,"

"Sibuk banget ya,"

"Iya. Gue malah kangen ibuk lo Sa. Apalagi masakannya beuh opor ayamnya enak banget,"

"Yaudah habis jenguk Nathalie lo mampir aja ke rumah gue. Ntar gue bilangin ibuk suruh bikinin opor ayam khusus buat Agam. Mau apa lagi?"

Agam tertawa renyah, "Nggak ada, opor ayam aja. Baik banget sih lu Sa,"

"Baru sadar gue baik?"

"Iya. Biasanya kan lu galak kaya guru bk lagi ngamuk,"

"Sialan Agam,"

***

Aksara memasuki mobil Mas Yudhis dengan kesal. Wajahnya tampak merengut muram.

"Kasian nggak di kasih ikut naik pesawat sama ibuk," ejek Arjuna.

Si bungsu mendengus, "Situ juga nggak si kasih nggak usah belagu,"

"Udah udah," Mas Yudhis melerai, menoleh ke belakang untuk menatap kedua adiknya, "Jangan ribut atau mas turunin di tengah jalan,"

Aksara menarik napas panjang, membuang muka enggan menatap sang kakak. Memilih memainkan ponselnya.

"Jangan lupa gantian nyetir," Mas Abim mengingatkan, "Jangan ada yang curang. Kalo nggak denda 50 ribu,"

"Ck iyaiya," balas Arjuna malas, "Ayo buruan berangkat Mas,"

"Udah pada pamit semua?"

"Udah kok tenang, tinggal berangkat ini," seru si anak ketiga tergesa, "Keburu kangen kasur rumah ini,"

"Barang-barang nggak ada yang ketinggalan? Oleh olehnya?"

"Nggak ada Mas tenang. Udah di cek pagi pagi tadi," jawab si bungsu, "Ayo berangkat. Nanti kesiangan,"