webnovel

Program 30 Hari Menulis NAD

Sebuah program rangkaian menulis selama 30 hari di bulan Juni 2020

Frisca_6869 · Urban
Not enough ratings
30 Chs

Mereka dan Covid19

#NAD_30HariMenulis2020

#Hari_ke_11

#NomorAbsen_144

Jumlah kata : 1716 kata

Judul : Mereka dan Covid-19

Isi :

Virus Covid-19 kini sedang mewabah di Indonesia. Orang-orangpun diharuskan mengisolasi diri. Meski begitu, tidak sedikit dari mereka yang tetap bekerja mengais rejeki di luar rumah.

Kebutuhan ekonomi dan kebijakan pemerintah serta perusahaan membuat mereka harus tetap bekerja. Jika tidak, tidak ada jaminan bahwa pemerintah dan perusahaan akan menanggung hidup mereka. Tentu dengan jumlah karyawan sekian banyak serta penduduk Indonesia yang berjumlah jutaan, pemerintah tidak akan bisa menanggung semua itu. Apalagi untuk mereka yang dengan sarana dan prasarana terbatas, tidak akan bisa dijangkau dengan mudah oleh pemerintah.

Contohnya seperti beberapa kasus di bawah ini. Mereka adalah orang-orang yang tetap bekerja meski beresiko terpapar corona karena kebijakan perusahaan.

Salah satunya adalah Andika, seorang pekerja swasta yang tetap berangkat bekerja meski pemerintah mengimbau untuk diam di rumah. Ia tetap bekerja seperti biasa, dengan beban 8 jam kerja di tengah maraknya himbauan untuk bekerja dari rumah.

"Rasanya takut. DImana-mana menganjurkan untuk bekerja di rumah, tapi saya harus tetap bekerja seperti biasa," kata Andika, Sabtu (28/3/2020).

Dengan perasaan was-was, ia berusaha menghindari kerumunan massa. Pemberitaan tentang meningkatnya jumlah ODP, PDP maupun pasien positif corona membuatnya semakin tidak tenang.

Ia sempat mengaku demam karena ketakutan berlebih. Bahkan, ia secara gamblang menjelaskan ketakutannya keluar rumah sudah mempengaruhi pikirannya, meski ia tetap berusaha berpikir positif.

Hingga kini, tempat kerjanya belum melakukan sistem kerja dari rumah dengan beberapa alasan. Hak-hak karyawan memang harus tetap dipenuhi. Sementara, perusahaan tidak dapat pemasukan jika pegawai diliburkan atau bekerja dari rumah.

Tidak jauh berbeda dengan Andika, hal serupa dirasakan Eva, salah satu pegawai swasta dibidang jasa di Yogyakarta. Terlebih, kala bekerja dia harus bertatap muka dengan pelanggan.

"Rasanya campur aduk banget, kerjaanku di bidang jasa yang harus bertatapan dengan customer. Apalagi tempat kerjaku itu gerbang keluar masuknya WNA," kata Eva sambil menunjukkan salah satu benda yang tidak pernah jauh darinya akhir-akhir ini, sebotol kecil hand sanitizer tak lebih dari 60 ml.

Ia tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya, beberapa kali ia membersihkan tangan dengan hand sanitizer setelah menghadapi pelanggan.

"Rentan diskriminasi sama orang asing dan orang yang lagi sakit," bisiknya.

Belakangan, Eva menjadi lebih rajin mencuci pakaian, serta menjaga makanan agar tidak sembarangan. Sebelum masuk dan keluar kantor, Pegawai rutin disemprot dengan cairan disinfektan.

"Liat berita, bikin khawatir. Gimana manajemen perusahaan kalau dalam keadaan krisis yang mungkin saja terjadi," ujarnya.

Eva berharap, perusahaan memiliki kebijakan terbaik, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Hingga kini, tempatnya bekerja masih akan terus beroperasi. Maklum saja, karena perusahaan yang bergerak dibidang jasa dan operasional pelayanan membuat para karyawan tidak bisa mengerjakan tugasnya di rumah.

Tidak hanya mereka, para kurir makanan cepat saji juga bekerja di jalanan ibu kota menuju rumah para pelanggan. Karena kebutuhan ekonomi tentunya.

Dede, salah satu kurir itu, mengaku cemas tetap beraktivitas di luar rumah. Meski begitu, ia lebih khawatir tak memberi nafkah keluarganya ketimbang tertular virus corona dari salah satu pelanggannya.

"Saya ada rasa takut, tapi kalau tidak masuk kerja, saya enggak digaji. Kurir digaji per jumlah antaran. Kalau antaran banyak, gaji lumayan besar, kalau sepi ya gaji kecil," ujar Dede.

"Jadi mau enggak mau saya tetap kerja, anak-istri enggak makan kalau saya enggak kerja," tuturnya.

Dede berkata, walau berisiko tertular virus corona dalam aktivitasnya dari rumah ke rumah pelanggan, perusahaannya tidak menanggung ongkos kesehatan.

Tak bersentuhan dengan pelanggan saat mengantarkan makanan adalah satu-satunya inisiatif yang disebut Dede bisa menjauhkan para kurir dari penyakit.

"Sejak ada virus corona, walau kurir sakit, tetap tidak ada jaminan, harus kami tanggung sendiri risiko itu," ujarnya.

Sejumlah perusahaan memang tetap beroperasi selama kondisi darurat covid-19.

'Selagi belum meninggal, ya harus bekerja'

Linda, buruh di salah satu pabrik garmen berorientasi ekspor di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, menyebut perusahaannya tak mengambil kebijakan strategis untuk mengurangi risiko penularan virus corona.

Linda berkata, ia dan sekitar 900 buruh lain di pabriknya masih terus beraktivitas normal: memproduksi 60 potong pakaian per 30 menit selama delapan jam di ruang kerja yang padat.

"Kami tentu sangat khawatir dan ketakutan, apalagi kami kerja berdekatan, tidak ada jarak satu sama lain," kata Linda.

"Sudah dua hari ini ada pengecekan suhu tubuh setiap pagi. Kami diberi masker, tapi itu kami sendiri yang buat menggunakan bahan sisa pabrik. Itu tidak menghilangkan kecemasan."

"Kami wajib bekerja semua. Selagi belum meninggal, ya harus bekerja. Kalau tidak masuk, upah kami tidak dibayar, kecuali ada surat keterangan sakit dari dokter," ujar Linda.

Linda menuturkan, ia dan para koleganya sudah mendorong perusahaannya melonggarkan aktivitas produksi selama pandemi virus corona. Namun kesepakatan urung terjalin.

"Saya ingin ada ketegasan pemerintah, jika kami diliburkan, kami jangan dibiarkan bernegoisasi sendiri tentang upah. Harusnya soal upah jangan berdasarkan kesepakatan perusahaan dan buruh," ujarnya.

Namun tak semua pekerja informal merasa buntung karena wajib beraktivitas layaknya tak ada pandemi.

Khoirul, seorang pelayan restoran di kawasan Menteng, berkata majikannya cekatan menyiasati penyebaran virus corona yang bisa saja dibawa para pelanggannya.

"Tidak ada opsi untuk tidak masuk karena kami sudah diberi libur tiga hari dalam satu minggu. Sekarang restoran juga cuma buka layanan bawa pulang, tidak bisa makan di sini lagi," ujarnya.

Khoirul berkata, selain memberlakukan sistem 'satu hari kerja, tiga hari libur', jumlah pegawai dalam satu sif di restorannya pun dikurangi. Menjaga jarak antarorang, kata dia.

Di sela kecemasannya berada di Jakarta yang menjadi kota dengan kasus positif corona terbanyak, Khoirul berharap bisa pulang-pergi ke kampungnya di Karawang.

Khoirul tahu bahwa pemerintah menganjurkan isolasi diri dan meminimalkan sosialiasi dengan sanak saudara di kampung halaman. Namun ia mengaku sulit menjalankan upaya memutus penyebaran virus corona itu.

"Mumpung ada libur tiga hari, sebisa mungkin saya manfaatkan untuk pulang kampung. Sebenarnya tidak disarankan, tapi kalau hanya berkomunikasi lewat video call, orang tua saya tetap kepikiran keselamatan saya terus," kata Khoirul.

Seiring akhir darurat virus corona yang belum dapat diprediksi, mayoritas pelaku usaha dan pemberi kerja mendorong pemerintah memberlakukan keringanan pajak, penundaan tagihan listrik, hingga penurunan suku bunga kredit pinjaman.

Dalam konferensi pers virtual, Senin (23/03), misalnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jemmy Kartiwa, meminta pemerintah merelaksasi pembiayaan industri tekstil agar arus kas perusahaan tidak macet.

Strategi itu disebut Jemmy vital untuk mencegah pemutusan hubungan kerja massal terhadap para pekerja mereka. "Kami juga meminta stimulus modal kerja untuk tetap berproduksi sehingga tidak jadi PHK," ucapnya.

Merujuk Surat Edaran Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta yang terbit 20 Maret lalu, semua perusahaan didesak mengikuti seruan untuk melaksanakan kegiatan dari rumah. Empat bidang dikecualikan dalam surat itu, yaitu kesehatan, energi, jasa keuangan, dan pangan.

Pemprov DKI meminta para pelaku usaha di empat bidang itu untuk melaporkan siasat pencegahan penyebaran virus corona di antara pekerja mereka.

Dari beberapa informasi di atas, terlihat jelas bahwa tidak ada cara efektif untuk membuat orang benar-benar mengisolasi diri. Alasan ekonomi dan kebijakan perusahaan tentu menjadi motif utama. Akan tetapi selain hal tersebut banyak masyarakat yang justru seharusnya bisa bekerja mandiri di rumah malah pergi ke tempat umum seperti contoh kasus yang sempat viral di bawah ini.

Masyarakat Kota Tangerang, Banten, membanjiri Mal Ciledug atau CBD tak lama setelah pusat perbelanjaan itu dibuka pada hari Minggu (16/5/2020). Saking banyaknya yang antre untuk masuk, jumlah pengunjung membludak.

Dari video yang beredar luas di media sosial, beberapa pengunjung bahkan berlarian saat memasuki mal.

Mereka terlihat sangat antusias setelah pusat perbelanjaan itu sempat ditutup sementara waktu sehubungan dengan adanya wabah virus corona covid-19.

Namun, melihat antuasiasme yang luar biasa itu, warganet tampak kecewa. Pasalnya, kota Tangerang masih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Pengunjung Mall CBD Ciledug pada Minggu 16 Mei 2020 tampak membludak ingin masuk ke dalam pusat perbelanjaan tersebut," tulis akun Instagram @tangerangnewscom.

Sementara itu, di jagad Twitter, warganet mengaku prihatin dengan ulah masyarakat kota Tangerang yang nekat berdesakan di dalam mall meski masih menghadapi pandemi.

"Ciledug mall dibuka. Kamseupay," tulis akun Twitter @mbelgedez.

"Mantap semoga lekas meninggal tanpa dirawat please yang masih berebut ke mall," kata @nabudayanabuda.

"By the way kemarin ini mall sempet buka, terus karena pembelinya membludak macem gini terus disamperin petugas, eh per hari Senin kemarin tutup lagi," kata @fideliaindahh.

"Ngebayangin tenaga medis yang lihat ini perasaannya gimana ya," tulis @kexasar.

Padahal, karena kasus corona yang masih belum mereda, Pemkot Tangerang telah memperpanjang masa PSBB di kota Tangerang hingga tanggal 31 Mei 2020.

Mereka memutuskan untuk memperpanjang PSBB karena masih ditemukan kasus corona di wilayah Tangerang dan sekitarnya.

Selain itu, pada masa ramadhan kemarin, justru banyak orang yang pulang ke kampung halamannya alias mudik tanpa mengindahkan larangan dan bahaya terpapar Covid-19.

Seperti yang terlihat di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta atau Bandara Soetta pada Kamis (14/5). Tampak antrean penumpang yang hendak memasuki ruang tunggu mengular.

Menurut salah satu penumpang yang hendak berangkat ke Semarang, antrean untuk menuju ke ruang tunggu memakan waktu 55 menit. Di sana tak mengindahkan aturan physical/social distancing sebagai upaya pencegahan penularan virus corona.

"Antreannya all the way dari gate 4 ke 5. Dan di depan itu model ungker-ungkeran dan enggak kelihatan dari sini saking jauhnya," kata penumpang tersebut.

Kejadian ini lantas mendapatkan kritikan. Terutama kepada pemerintah yang tidak tegas dalam menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan mudik. Bahkan, larangan mudik pemerintah ini tidak serius dijalankan, dan dianggap sebagai candaan.

Antrian penumpang mengular di Terminal 2 Bandara Soetta

Antrian penumpang mengular di Terminal 2 Bandara Soetta. Foto: Istimewa

Anggota Ombudsman Alvin Lie menilai kondisi itu sangat mengerikan di tengah pandemi virus corona. Ia menilai larangan mudik oleh pemerintah kini seakan tak ada fungsinya karena banyak yang memanfaatkan celah dari setiap aturan yang ada.

"Jadi larangan mudik itu sudahlah, itu buang ke laut saja, abaikan saja, anggap tidak ada. Jumlah penumpang yang keluar hari ini luar biasa, memanfaatkan celah dari Permenhub 25 dan Surat Edaran 4 dari Gugus Tugas, dan Surat Edaran 31/32 dari Dirjen Udara. Itu hanya dagelan saja," ungkap Alvin kepada kumparan, Kamis (14/5).

Ia khawatir kondisi tersebut merupakan awal dari meluasnya penyebaran COVID-19 ke sejumlah daerah. Alvin menilai jika itu terjadi maka harapan Presiden Jokowi agar curva penyebaran corona turun di Mei akan menjadi harapan hampa.

Kepadatan yang terjadi di Terminal 2 Bandara Soetta, kata Alvin, juga menunjukkan pengelola bandara tidak siap mengantisipasi lonjakan penumpang. Sebab, dalam kepadatan itu protokol kesehatan seakan diabaikan.

Hal ini membuktikan bahwa selain kewajiban untuk kerja, kesadaran masyarakat kita untuk menjaga diri juga masih minim. Mungkin tindak tegas diperlukan untuk mereka yang melanggar aturan kebijakan yang telah ditetapkan agar wabah tidak semakin meluas dan banyak orang yang menjadi korban karena meski banyak berkoar tentang bahaya corona, banyak yang bersikap cuek dan sengaja membahayakan diri untuk kesenangan semata.

Sumber :

- https://www.google.com/amp/s/jogja.suara.com/amp/read/2020/03/28/152848/curhat-pekerja-swasta-tetap-berangkat-kerja-meski-wabah-corona-merajalela

-

https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/amp/indonesia-52018257

- https://www.google.com/amp/s/amp.suara.com/news/2020/05/19/131756/mal-ciledug-diserbu-pengunjung-usai-kembali-dibuka-warganet-kamseupay

- https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/kumparannews/bandara-soetta-ramai-tak-social-distancing-hingga-potensi-bikin-klaster-corona-1tPpA2JQ6WU