webnovel

Prince Charming Vs Gula Jawa

Memiliki kekasih ganteng, pintar, dan populer sama sekali tidak terlintas dalam pikiran Kanya. ⁣ ⁣ Tapi siapa sangka dirinya yang hanya gadis biasa-biasa saja, bisa digilai seorang laki-laki tampan, bergelar Prince Charming di Kampusnya, bernama Naren. ⁣ ⁣ Tentu saja, hubungan itu tak semulus harapan. Karena banyak gadis yang menginginkan Si Prince untuk bisa jadi kekasih mereka. ⁣ ⁣ Akhirnya, karena suatu sebab hubungan mereka kandas. Tapi kemudian, Kanya bertemu dengan Naren kembali setelah lima tahun. ⁣ ⁣ Apakah Kanya akan kembali pada Naren? Atau dia akan berpaling pada Kenan, teman laki-laki yang selalu menemaninya selama Naren pergi?

Yuli_F_Riyadi · Urban
Not enough ratings
174 Chs

Part 26 - Kabur

Di sini memang aku buat Naren bucin Kanya, kendati Kanya hanya perempuan biasa saja

Pada sebuah hati yang pernah kusinggahi, aku tidak tahu bagaimana cara melupakanmu. Padahal aku masih sangat ingat, dulu begitu mudah aku bisa mencintaimu.

KANYA

Aku menyentak tangan Naren yang terus menyeretku keluar restoran. Dia loh yang ngotot mengajak aku dinner, sekarang dia dengan tidak sopannya meninggalkan meja makan. Aku ngeri melihat tatapan Om Damian tadi.

"Harusnya kamu nggak perlu kayak gini," kataku menghentikan langkah. "Kamu tau, ini hanya akan membuat papamu semakin marah. Dan mengira aku yang membuat kamu jadi kayak gini."

"Kanya, aku nggak mau kamu dengar lagi apa yang papa katakan. Omongan papa itu ngaco."

"Ngaco? Apanya? Om Damian yang aku kenal nggak pernah yang namanya bicara  ngaco. Memangnya dia salah jika menginginkan menantu seperti Nadine? Nadine cantik dan pintar, apa yang kurang coba?"

Naren menatapku tajam. Jujur aku merasa terintimidasi. "Harus aku katakan berapa kali sama kamu?"  tanyanya dengan rahang mengatup. Aku menelan saliva melihatnya. Tapi aku juga tidak boleh gentar. Memang pada kenyataannya, Om Damian sudah tidak menerimaku lagi kan?

"A-andai saja aku tahu akan bertemu dengan papamu tadi, mungkin aku tidak mau kamu ajak ke sini malam ini." Aku mengalihkan pandang. Rasanya tidak kuat ditatap seperti itu.

"Iya, ini salahku. Aku yang terlalu cepat membawamu bertemu papa. Aku kira, dengan bertemu kamu, papa akan berubah pikiran. Tapi malah...  Kanya aku mohon, maafkan kata-kata papa tadi. Mungkin itu bikin kamu nggak nyaman."

"Nggak masalah. Tapi Naren, aku juga cukup tau diri. Om Damian sepertinya sudah nggak menyukaiku. Aku sudah dipandang buruk sama beliau. Jadi... "

Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku saat kurasakan tubuhku ditarik. Dan sejurus kemudian, aku sudah berada dalam dekapan lengan besar milik Naren.

"Nggak, kamu nggak boleh berpikiran macam-macam setelah mendengar apa yang papa katakan. Cukup, Kanya. Aku nggak mau dengar kamu bicara apapun. Cukup kita nikmati kebersamaan kita kembali. Anggap papa nggak pernah bicara apa-apa."

Aku membeku di tempat. Naren mengucapkan itu dengan hati-hati. Sampai kata-kata yang ingin aku keluarkan, tertelan begitu saja. Tanganku terangkat pelan dan membalas pelukannya.

***

Kenan melongo melihatku berdiri tepat di depan mukanya. Aku memutar bola mata malas.

"Nggak perlu syok kayak gitu? Aku boleh masuk nggak ini?" tanyaku.

Dia sadar lalu kemudian memperhatikan sebuah koper yang aku bawa.

"Kamu mau kemana? Kenapa bawa koper segala?"

"Kamu pikir, aku mau kemana setelah berada di sini?"

Kenan mengernyit. Kesal karena tidak juga dipersilahkan masuk, aku mendorong tubuhnya agar minggir dari hadapanku. Lalu aku sendiri memasuki apartemennya, tak peduli.

"Kanya, Kanya, wait. Kamu mau nginap di sini?" tanya Kenan yang sudah menyusulku kembali, setelah dia menutup pintu. Aku masih malas menjawab dan langsung menjatuhkan diri di sofa. Ya! Aku memutuskan untuk pergi dari rumah kontrakanku dan untuk sementara, aku mau menumpang di apartemen milik Kenan.

Aku tidak tahu sejak kapan Kenan memiliki apartemen di Surabaya. Tapi dia membawaku pertama kali ke sini adalah satu tahun yang lalu. Aku ingat, dia bilang akan sering ke Surabaya, makanya dia beriinisiatif membeli hunian di pusat kota.

Kenan masih menatapku aneh, saat dia duduk di sebelahku. Tanpa menghiraukannya, aku menekan tombol remot mengganti chanel televisi. Koper yang aku bawa, aku biarkan teronggok di sisi sofa.

"Kanya, ada apa?" tanya Kenan lagi.

Aku meliriknya sekilas. "Aku ingin numpang tinggal di sini sementara. Kamu Setuju atau nggak, aku nggak peduli. Di sini kan masih ada kamar satu. Sementara kamu hibahkan buatku, sampai aku dapat tempat tinggal yang baru."

"Bukan masalah setuju atau enggak. Aku tentu saja nggak akan melarang kamu. Tapi kenapa dengan rumah kontrakan kamu? Kamu diusir sama pemiliknya?"

"Nggak."

"Lalu?"

"Aku ingin cari suasana baru."

Aku tahu, Kenan tidak mungkin percaya begitu saja. Tapi tanpa bertanya lagi, dia bangkit.

"Aku ambilkan kamu minum dulu. Kamu boleh taroh barang-barangmu di kamarku."

"Kok kamarmu? Aku itu cuma mau numpang tidur, bukan nemenin kamu tidur."

"Astaga, ini anak kenapa sih? Maksudku kamu bisa tidur di kamarku, aku nanti yang tidur di kamar tamu."

"Kenapa nggak aku saja yang tidur di kamar tamu?"

"Kamar tamu masih berantakan, sprei juga belum aku ganti."

"Cuma ganti sprei doang kan? Apa susahnya sih, kamu kira aku nggak bisa?"

Kenan menggeleng lantas berlalu ke dapur. Laki-laki itu seperti biasanya, tidak suka memperpanjang masalah, saat dirasanya aku tidak berkenan membahas apa yang sedang aku alami.

Apa yang aku lakukan sebenarnya kekanakan. Kabur dari tempat tinggalku hanya untuk menghindari Naren. Beberapa hari setelah kejadian makan malam itu, aku berpikir. Ada banyak kata andai  yang terus berputar-putar di kepalaku.

Andai saja, aku tidak bertemu dengan Naren kembali, mungkin saja Om Damian sudah berhasil menikahkan anaknya itu dengan Nadine. Jika dibandingkan dengan Nadine, aku tidak ada apa-apanya. Seharusnya tidak susah untuk bisa mencintai wanita itu. Aku merasa menjadi penghalang cinta Nadine yang tidak kesampaian. Padahal jelas-jelas Nadine bercerita tentang Naren padaku. Aku seakan melupakan itu. Dan malah jalan dengan laki-laki yang perempuan itu cintai. Ah, aku sudah seperti penghianat saja.

Meskipun pergi dari rumah bukanlah solusi yang tepat, tapi untuk menghindari keintiman yang mulai terjalin beberapa hari belakangan, aku harus melakukan ini.

"Ini minum." Kenan menyodorkan botol air minum mineral yang masih tersegel. Aku menerimanya dan langsung menenggak isinya hingga tinggal separonya saja.

"Mana spreinya? Biar aku ganti." Tanganku menengadah.

"Kan aku sudah bilang, kamu tidur di kamarku dulu. Nanti setelah aku beresin kamar tamu, kamu bisa tidur di sana."

Ya sudah, aku juga tidak mau banyak debat. Cukup mengiyakan pintanya. Aku berdiri dan meraih koperku.

"Ya sudah, kalo gitu aku mau istirahat dulu."

Wajah tanda tanya Kenan masih sangat jelas aku lihat. Tapi aku tetap pura-pura tidak tahu.

"Ya sudah, gih."

Aku membuka kamar Kenan pelan. Aroma maskulin langsung menguar. Tidak ada banyak barang di kamar ini. Hanya ada tempat tidur king size, sebuah almari besar dan satu set meja kursi. Sangat simpel, sesimpel hidup laki-laki itu.

Aku membuka koper, mengambil peralatan mandi serta baju tidur. Tidak menyangka, aku seniat ini pergi dari rumah.

Setelah mandi, aku keluar kamar, dan masih melihat Kenan duduk di sofa malas, menghadap televisi. Aku pikir, dia sudah tidur. Menyadari kedatanganku, Kenan menoleh.

"Nggak jadi tidur?" tanyanya.

"Aku laper. Apa ada bahan makanan di dapurmu?" Aku melangkah menuju dapur. Tidak begitu lengkap peralatan dapur yang Kenan punya. Hanya ada kompor tanam yang aku pikir memang sudah sepaket dengan kitchen set-nya. Lalu teflon dan panci kecil.

"Tidak ada apa-apa di dapur. Aku jarang masak kalo di sini. Aku pesankan makanan saja."

"Tidak usah." Mataku menemukan mi instan di lemari gantung. "Aku makan ini aja. Kamu mau?"

"Mi instan? Nggak, nggak, kita pesan makanan aja."

"Lama Kenan kalo harus pesan."

"Tapi ini mi instan."

"Memangnya kenapa? Mi ini ada di sini, berarti memang untuk dimakan. Ada telor?"

Aku tidak perlu menunggu jawaban Kenan, kugeledah isi kulkasnya dan menemukan telor yang hanya tinggal dua butir.

"Pas sekali, telornya ada dua. Buat kamu satu, aku satu."

"Kanya, kita pesan saja."

"Baiklah aku akan mulai."

Kenan mendekat saat aku mulai menjarang air di panci. "Biar aku saja yang masak." Dia mengambil alih bungkus mi instan yang ada di tanganku. Lalu kemudian dia menyingkirkan aku dari dapurnya. Keterlaluan, aku menggeram kesal. Dia rupanya meragukan kemampuanku.

"Lebih baik kamu duduk manis, oke?"

Aku duduk di mini bar menatap Kenan kesal. Bisa-bisanya dia mengusirku dari dapurnya.

"Aku nggak mau ada dapur kacau jilid dua."

Kurang ajar kan? Aku memang pernah satu kali membuat dapurnya kacau, gara-gara gagal membuat omelet. Tapi ya ampun, masa iya aku akan mengulangi hal yang sama?

"Terserah kamu saja."

Kenan tersenyum geli. Seolah sengaja membuatku jengkel. Aku perhatikan setiap gerakannya. Tangannya begitu pandai memecah telor. Memasukkannya ke dalam panci, lalu merebus telur itu hingga setengah matang. Setelah itu dia tiriskan telor itu, baru kemudian dia mulai merebus mi. Tidak lama, hanya butuh waktu sekitar tiga menit saja. Lantas, dia membuang air bekas rebusan mi itu dan merajang air baru untuk dijadikan kuahnya.

Dua mangkok mi instan rebus lengkap denga telor setengah matang tersaji di meja. Aromanya sangat mengundang selera makanku dan membuat aku meneteskan air liur.

"Nggak usah menelan ludah begitu. Ayo kita makan."

Aku mengangguk cepat dan menarik mangkokku. Aku baru saja akan menyeruput kuah dari sendokku, saat sebuah panggilan telepon masuk. Reflek aku menoleh pada ponsel yang aku letakkan di meja makan. Layarnya berkedip dan menampilkan nama Naren di sana.

PS. Jangan lupa tinggalkan jejak dimari ya gaes.... komen power stone dan jangan lupa masukin Naren-Kanya di koleksi bacaanmu.

Rating/ ulasannya masih aku tunggu loh