webnovel

Prince Charming Vs Gula Jawa

Memiliki kekasih ganteng, pintar, dan populer sama sekali tidak terlintas dalam pikiran Kanya. ⁣ ⁣ Tapi siapa sangka dirinya yang hanya gadis biasa-biasa saja, bisa digilai seorang laki-laki tampan, bergelar Prince Charming di Kampusnya, bernama Naren. ⁣ ⁣ Tentu saja, hubungan itu tak semulus harapan. Karena banyak gadis yang menginginkan Si Prince untuk bisa jadi kekasih mereka. ⁣ ⁣ Akhirnya, karena suatu sebab hubungan mereka kandas. Tapi kemudian, Kanya bertemu dengan Naren kembali setelah lima tahun. ⁣ ⁣ Apakah Kanya akan kembali pada Naren? Atau dia akan berpaling pada Kenan, teman laki-laki yang selalu menemaninya selama Naren pergi?

Yuli_F_Riyadi · Urban
Not enough ratings
174 Chs

Part 25 - Om Damian

Bertepatan dengan itu, tangan Om Damian melambai. Aku dan Naren sontak menoleh. Dan mendapati Nadine sedang berjalan mendekat.

"Maaf Om, Nadine telat, " sapanya begitu datang.

"Tak, masalah. Sini duduk di sebelah Om."

Nadine tersenyum sangat manis. "Hay, Naren, Kanya,"  sapanya sembari mengambil tempat duduk.

Kami mulai memesan menu makanan. Setelah pelayan resto mencatat menu yang kami pesan dan pergi untuk menyiapkan pesanan kami, perasaan tidak nyaman menyelimutiku. Apalagi sejak tadi, Om Damian lebih memilih berinteraksi dengan Nadine. Seolah abai dengan kehadiranku di sini.

"Oya,  Kanya. Tadi siang, kenapa ke kantor tidak menemuiku?"

Aku yang sedari tadi memekuri ponsel, mendongak. Nadine berbicara padaku. Wajah ayunya berkilau di terpa cahaya lampu malam.

"Ah iya. Maaf, Mbak. Tiba-tiba ada klien yang minta bertemu secepatnya. Tapi nanti besok kita bisa bertemu lagi untuk diskusi. Bagaimana?"

"Boleh."

"Kanya, apa kamu nggak ada rencana buat pindah kerja ke Jakarta?" tanya Naren membuatku mengalihkan atensi padanya.

"Hey! Kamu jangan provokasi desaign art-ku ya!" Nadine mengayun-ayunkan telunjuknya ke arah Naren.

"Loh, di Jakarta itu Kanya bisa lebih berkembang dari pada di sini," bela Naren.

"Oya? Surabaya juga nggak kalah hebat dari Jakarta. Kamu pikir hanya di Jakarta saja orang bisa berkembang?"

"Ya nggak gitu, kan kalo di Jakarta Kanya jadi lebih dekat orang tuanya."

Percakapan itu terjeda, ah tidak, keributan kurasa, saat pelayan meletakkan menu yang kami pesan.

"Kalian itu kebiasaan. Hal sepele aja diributkan," ucap Om Damian. Manik cokelatnya bergerak ke arahku.

"Kanya, kamu sudah kembali bertemu dengan Naren...." 

Aku memutar kepala ke arah Om Damian.

"Kamu nggak berniat pacaran lagi dengan Naren 'kan?"

Aku rasakan Naren mengalihkan pandangan ke arahku. Tidak hanya dia, Nadine juga memberi atensi khusus.

"Saya.... "

"Om harap sih yang sudah, sudah ya, Kanya. Kalian cukup berteman saja. Karena Om berniat menikahkan Naren dengan Nadine. Jadi..."

"Papa!"

"Om!"

Suara Naren dan Nadine kompak menginterupsi. Om Damian melihat mereka berdua bergantian. Senyumnya terbit.

"Tuh kan, Kanya. Bisa dilihat. Mereka sangat kompak."

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Om Damian. Di sini sudah jelas, beliau tidak bisa menerimaku kembali.

"Pah, kita sudah membicarakan ini," ucap Naren dengan suara tertahan. Mukanya sedikit memerah. Meskipun lampu-lampu di sini tidak seterang cahaya matahari, tapi aku bisa melihat rahang Naren mengeras.

"Kita makan dulu yuk." Nadine segera mengalihkan. Jika dilanjutkan, aku tahu persis apa yang akan terjadi.

Daging wagyu di hadapanku harusnya terlihat menggiurkan. Tapi entah mengapa mendadak aku tidak ingin menyentuhnya.

"Kita makan dulu yah." Naren menepuk pelan punggung tanganku. Dengan senyum canggung, aku mengangguk lalu mulai mengangkat garpu dan pisau.

Aku berusaha menikmati makan malam ini. Perutku rasanya sudah penuh. Untuk mendorong sepotong daging ke mulut pun rasanya sulit.

"Apa makanannya nggak enak? Kita bisa pesan makanan lainnya," tawar Naren membuatku langsung menggeleng.

Gila aja. Main ganti makanan seenaknya. Meskipun aku tahu dia mampu, tetap aja itu namanya pemborosan. Harga makanan dipiringku ini saja sudah nyaris membuat bola mataku keluar dari tempatnya. Harusnya tadi, aku tidak membiarkan Naren memilih menu untukku.

"Ya sudah. Sini biar aku potongkan steak-nya."

"Nggak us---"

Bukan Naren kalau dia tidak seenaknya. Perbuatannya mengundang perhatian Om Damian dan Nadine. Aku malu.

"Biar aku saja Naren. Aku bisa sendiri."

Aku mencoba memgambil piringku kembali. Tapi malah mendapat pelototan.

"Kamu bisa nggak sih nurut sekali ajah."

Aku tidak mau berdebat. Apalagi di hadapan dua pasang mata di sebrangku. Jadi, aku biarkan Naren memotong-motong steak di piringku. Setelah selesai,  dia menyodorkan kembali padaku.

"Habiskan ya," ucapnya tersenyum. Manis banget :kan dia? Ehem! Aku mengangguk.

"Kamu ini, Kanya itu bukan bocah sampe daging aja nggak bisa motong sendiri."

Gerakan tanganku yang hendak menancapkan potongan daging terhenti,  mendengar ucapan Om Damian.

Itu diucapkan dengan intonasi biasa, tapi kenapa aku merasa tertohok ya?

Sepertinya aku memang sedang  sedikit sensi.

***

NAREN

Aku memandang lamat-lamat ke arah Kanya. Wanita itu sekarang lebih banyak diam. Dia juga sudah jarang mendebat seperti dulu.

Setelah apa yang Papa ucapkan padanya, gestur tidak nyaman jelas sekali terlihat.

"Pah, aku hanya membantu Kanya. Apa salahnya?"

"Ya nggak salah sih. Cuma Kanya itu 'kan bukan anak yang manja. Terlebih dia sudah lama jauh dari kamu dan orang tuanya."

Aku bahkan belum pernah melihat Papa senyirnyir ini. Seakan tidak peduli lagi, aku kembali memasukkan potongan steak ke dalam mukutku.

Whatever-lah, Pa.

"Jadi, Nadine. Kapan kamu ijinkan Naren bertemu orang tuamu?"

" Om, tapi Naren 'kan memang sudah--"

Ya Tuhan, Papa. Kanya memang tidak terlihat terganggu. Tapi mendengar itu, bisa sajakan setelahnya dia berbuat sesuatu yang tidak aku duga. Tidak, aku tidak mau dia menjauhiku lagi. Hubunganku dengannya sudah mulai membaik.

Aku meletakkan sendok dan pisau. Dentingannya cukup keras, sehingga membuat semua mata di meja ini menoleh padaku. Mengambil tissue, aku mengelap mulutku setelah menenggak habis air putih di gelas panjang.

"Aku pikir ini akan menjadi dinner yang menyenangkan. Tapi, ternyata tidak seperti dugaanku."

Aku melirik Kanya, sebelum akhirnya mendorong kursi lalu berdiri.

"Mau kemana kamu?" tanya Papa meninggikana sedikit volume suaranya.

"Kanya sepertinya sudah tidak berselera makan disini...." wanita itu menoleh tidak percaya. Aku menggapai tangannya untuk ikut berdiri.

Kanya nampak terhenyak.

"Naren--"

"Aku akan menunjukkan sesuatu yang   lebih menarik daripada hanya sekedar makan malam. Kami pamit dulu, Papa."

"Tapi Naren--"

Papa tidak mengatakan apapun. Mulutnya mengatup rapat. Tatapan tajamnya terus dia arahkan padaku. Sampai aku menarik paksa Kanya, untuk meninggalkan restoran ini.

Bagaimana aku tidak kesal? Papa sudah merusak semua rencanaku dengan menghadirkan Nadine. Belum lagi perkataannya yang aku sangat yakin akan berpengaruh pada Kanya. Aku benar-benar tidak paham jalan pikiran Papa.

PS.  Untuk penulisan yang salah atau typo harap maklum yaa...

Belum ada revisi ini on the spot ajah.

Jangan lupa terus dukung mereka dengan kasih ulasan/review juga rating ya gaes.

Power stone juga jangn lupa hehe