webnovel

PBA 1

Seorang laki-laki tampan yang tengah tertidur terus mengeluarkan buliran air dari pelipisnya sehingga membuat rambut-rambutnya pun ikut basah, kepalanya mulai menggeleng ke kanan dan ke kiri tetapi kedua mata itu masih terpejam dengan erat.

Hingga tiba-tiba kedua matanya langsung terbuka, bersamaan dengan dirinya yang langsung terbangun dari posisinya. Napasnya tersenggal, berusaha mencari pasokan udara. Matanya menatap ke sekeliling mencoba memastikan bahwa kini dirinya masih berada dalam kesadaran penuh.

"Mimpi buruk lagi, Nak?"

Suara berat yang terdengar di telinganya membuat laki-laki itu menoleh dan mendapati ayahnya yang kini duduk di tepi kasur keras miliknya.

Lelaki itu mengangguk. "Sean rindu Ibu, Yah."

Seanno Gabriel, atau yang dikerap dipanggil Sean adalah putra satu-satunya dari seorang nelayan. Laki-laki itu memiliki paras yang sangat tampan, kulit putih, memiliki bola mata berwarna cokelat terang, alis yang begitu tebal, hidung yang sangat mancung dan jangan lupakan juga bibir tebal berwarna merah alami miliknya.

Tak disangka-sangka jika laki-laki tampan itu merupakan seorang putra dari nelayan. Sean tidak pernah merasa dirinya malu memiliki ayah yang berprofesi sebagai nelayan, ia sebaliknya. Sean sangat bangga memiliki ayah yang begitu hebat.

"Bukan cuma kamu, Nak. Ayah pun rindu pada Ibumu."

Jika kalian berpikir Sean adalah seorang anak yang ditinggalkan ibunya sejak dilahirkan, tentu kalian salah besar. Sejak Sean berumur lima tahun, ibunya meninggalkan dirinya dan sang ayah untuk selamanya.

Dan kejadian yang membuat ibunya meninggal, mampu membuat Sean merasa terpukul dan trauma yang selalu melekat di dalam dirinya. Seolah hantu yang terus berada di dekatnya, begitulah rasa trauma yang ada di dalam diri Seanno Gabriel.

"Malam ini Ayah akan berangkat untuk menjala ikan, kamu tidur yang nyenak ya, Nak!" ucap sang ayah, Lesmana Tamawijaya, pria yang kini sudah kepala empat.

Sean mengangguk lalu menyalimi Lesmana, setelah itu Lesmana meninggalkan Sean seorang diri di dalam rumah berukuran 5 X 5 meter itu. Sedangkan dirinya melanjutkan tidurnya, dan di dalam hatinya berharap semoga ia tidak bermimpi seperti tadi lagi.

***

Matahari mulai terbit, bersamaan dengan itu Sean yang mulai membuka matanya. Tangannya mengucek kedua matanya yang masih berusaha menetralkan cahaya di sekitarnya. Begitu kedua matanya bisa terbuka dengan sempurna, Sean langsung menyibak selimut di atas tubuhnya lalu berjalan menuju kamar mandi.

Setelah berkutat di dalam kamar mandi, Sean keluar dengan menggunakan kaos oblong serta celana selututnya. Sean keluar dari kamar dan sudah mendapati Lesmana sedang duduk di kursi kayu yang sedikit tua.

Kelihatannya Ayahnya itu baru saja pulang dari laut, setelah semalaman mencari ikan untuk nantinya dijual kembali. Sean menghampiri pria paruh baya itu kemudian duduk di sampingnya.

"Ayah," panggil Sean pelan.

Lesmana menoleh. "Ada apa, Nak?"

"Ayah terlihat sedih. Ada apa? Apa semalam Ayah tidak mendapatkan ikan?" tanya Sean sekaligus menebak dugaan yang membuat ayahnya itu terlihat lesu. Ditambah pula dengan tangannya yang memijat pelipisnya, membuat Sean yakin bahwa ayahnya itu memang hanya bisa menggigit jari sepulang dari laut.

Tangan kekar yang mulai terlihat keriput itu naik untuk memegang bahu Sean dan menepuknya pelan. "Maafkan Ayah."

Kedua alis Sean mengerut. "Kenapa Ayah minta maaf pada Sean?"

"Maaf. Maaf karena Ayah tidak bisa mendapatkan ikan tadi malam, entah kenapa tadi pikiran Ayah sangat kacau, memikirkan kamu yang tidak bisa melanjutkan sekolah gara-gara Ayah." Sesal Lesmana. Pandangannya pun menunduk seolah pria itu memang benar tengah menyesali perbuatannya, jika saja dulu ia tidak memilih pekerjaan sebagai Nelayan mungkin sekarang putra satu-satunya itu bisa melanjutkan sekolahnya seperti anak-anak lain.

Sean menggeleng. "Sean tidak apa-apa, Ayah. Seharusnya Ayah tidak usah memikirkan Sean, lagi pula Sean tidak apa-apa kalau tidak melanjutkan sekolah Sean. Dan lagi Ayah jangan pernah menyalahkan diri Ayah, semua pekerjaan yang dilakukan semua orang terlebih lagi jika itu halal pasti akan berkah, Yah." Tutur Sean mencoba memberi pengertian pada Lesmana yang tampak murung sekali hari ini.

Bukan sekali saja Lesmana merasa bahwa nasib mereka itu karena pekerjaan dirinya yang tidak sepadan dengan orang lain. Padahal Sean sendiri pun tidak pernah berpikiran sampai ke sana. Intinya ia tetap bangga memiliki seorang ayah, sekali pun jika berprofesi sebagai nelayan. Sean tidak pernah merasa keberatan sedikit pun.

"Sekarang kita sarapan ya, Yah? Biar Sean buatkan nasi goreng ditambah telur mata sapi untuk Ayah." Tanpa menunggu persetujuan dari Lesmana, Sean langsung melenggang pergi menuju dapur.

Bukan hal asing lagi bagi Sean untuk memasak, bahkan mencuci piring, baju, menyapu, dan semua kegiatan yang rata-rata dilakukan oleh kebanyakan perempuan ia lakukan tanpa merasa gengsi. Sejak ibunya meninggal ketika ia berumur lima tahun, tentulah ayahnya yang mengurus itu semua, itu pun bila sempat karena harus menjual ikan hasil tangkapannya.

Tetapi saat menginjak umur sepuluh tahun, Sean ingin membantu ayahnya melakukan pekerjaan rumah. Hingga akhirnya sampai berumur tujuh belas tahun pun Sean masih melakukannya dengan senang hati.

Tidak membutuhkan waktu lama, Sean membawa satu piring yang berisi nasi goreng buatannya itu ke atas meja makan. Bersamaan dengan itu Lesmana datang, pria itu terlebih dahulu menyimpan topinya lalu duduk di kursi meja makan.

"Lho, kenapa hanya ada satu piring? Untukmu mana, Sean?"

Sean tersenyum tipis. "Sean nanti saja makannya, Ayah."

"Yasudah kalau begitu kamu berdua makan sama Ayah." Lesmana mendorong piringnya pelan lalu hendak meraih sendok lagi, tetapi dengan cepat Sean menghentikannya.

"Ayah, Sean masih kenyang. Tadi, sebelum Ayah pulang Sean sudah makan." Tentu saja Sean berbohong, ia baru saja bangun dan mandi. Pasalnya tadi ia melihat nasi yang tersisa hanya cukup untuk ayahnya, dan ketika melihat ke karung beras ternyata sudah kosong.

Akhirnya Sean memilih untuk memberikan nasi itu untuk ayahnya saja, biarkan dirinya yang menahan rasa lapar. Bagaimana pun juga ayahnya itu baru saja pulang mencari ikan, sedangkan dirinya dengan asiknya baru terbangun dari tidurnya.

"Apa kamu berbohong?" selidik Lesmana.

Lelaki remaja itu menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, Ayah. Sean tidak berbohong."

Lesmana pun mengangguk percaya pada putranya itu lalu mulai menyantap nasi gorengnya. Sean yang melihat ayahnya makan dengan lahap pun merasa senang, setidaknya ayahnya itu tidak pernah merasa kelaparan. Yang ia inginkan adalah ayahnya tetap sehat sehingga bisa menemani dirinya hingga nanti ia bisa sukses dan membanggakan ayahnya itu.

Sean mengalihkan pandangannya ke pigura berukuran sedang yang tertempel di dinding, bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman. Ia melihat foto ibunya yang terlihat sangat cantik, jika saja ibunya itu masih menemaninya serta sang ayah pasti Sean akan merasakan bahagia yang berkali-kali lipat.

***