webnovel

PBA 2

Cahaya matahari yang begitu terik di siang hari ini tak mematahkan semangat Sean serta Lesmana yang kini sedang menjemur ikan di depan rumahnya. Setelah tadi malam Lesmana kembali menjala ikan, akhirnya ia mendaptkan cukup banyak ikan. Walaupun tidak sebanyak yang ia dapatkan dulu, tetapi tak apa.

Sean mengelap buliran air yang turun dari pelipisnya menggunakan kaos yang tengah ia kenakan, kemudian kembali membawa ikan yang belum ia jemur. Namun, tatapannya beralih pada ayahnya yang tengah bercucuran keringat itu.

Akhirnya Sean memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, laki-laki tampan itu berjalan terus menuju dapur lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air minum. Setelah itu Sean kembali keluar dengan membawa gelas yang sudah ia isi tadi.

Kaki jenjang itu melangkah mendekati sang ayah yang kini sudah duduk di kursi yang berada di depan rumahnya.

"Ayah, minum dulu." Ucap Sean seraya menyodorkan gelas itu pada Lesmana.

"Terima kasih, anakku."

"Itu sudah semua ikan dijemur, Yah?" tanya Sean setelah melihat Lesmana meneguk airnya hingga tersisa setengah gelas.

Lesmana mengangguk. "Sean, boleh Ayah meminta tolong?"

"Kalau Sean bisa melakukannya, akan Sean bantu,"

"Ayah minta nanti kamu jualkan ikan-ikan ini ke pasar. Sekarang Ayah sedang tidak enak badan," ujar Lesmana dengan suara yang memang terdengar serak.

Dari matanya pun Sean bisa melihat sorot kelelahan ayahnya itu. Jika saja ia tidak memiliki trauma itu mungkin akan dengan senang hatinya ia membantu sang ayah untuk menjala ikan, agar ayahnya itu tidak merasa terlalu kecapekan juga tidak merasa sendirian.

"Kalau itu sudah biasa bagi Sean, Ayah. Nanti Ayah istirahat yang cukup, ya. Sean tidak mau kalau Ayah nanti semakin sakit..." Sean tersenyum menatap Lesmana. Menyalurkan bahwa permintaan ayahnya itu akan ia kabulkan dengan senang hati. "Ayah tenang saja, Sean janji semua ikan ini akan laku." Tegasnya.

*** 

Setelah menunggu beberapa jam ikan dijemur, Sean pun telah bersiap untuk segera pergi ke pasar. Ada sebagian ikan ini yang dijual langsung ke konsumen tetapi ada juga sebagian yang dititipkan ke beberapa pedagang ikan lainnya yang berada di pasar.

Sebelum meninggalkan rumah, Sean lebih dulu berpamitan pada ayahnya yang sedang berbaring di karpet tipis.

"Ayah, Sean pergi ke pasar dulu." Pamitnya sambil menyalimi tangan Lesmana.

Lesmana berdeham. "Sean, jangan lupa titipkan ikan seperti biasa ke Bu Darmi. Tadi uangnya sudah Ayah terima."

Sean mengangguk. "Baik, Yah."

Kemudian setelah itu Sean berjalan keluar dari rumah, ia menutup pintu rumah lalu meraih keranjang berukuran sedang di depan rumahnya yang sudah ia isi dengan ikan tadi. Dan di sebelah tangan lainnya ia membawa kantong kresek yang berisikan ikan pesanan Bu Darmi.

Tanpa membawa apapun lagi Sean mulai melangkahkan kakinya menyusuri jalanan kerikil di kampung rumahnya yang ia tinggali. Berhubung pasar yang jaraknya cukup dekat dengan rumah, jadi tidak ada salahnya Sean untuk memutuskan berjalan kaki. Bahkan ia memang sangat sering pergi ke pasar dengan berjalan kaki. Jadi, ini sudah menjadi hal biasa baginya.

Sean memasuki pekarangan salah satu rumah yang berada di kampungnya. Di depannya ini adalah rumah yang terbilang mewah, juga satu-satunya rumah mewah yang berada di kampungnya. Rumah itu adalah rumah milik Bu Darmi.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi!"

"Tunggu sebentar!"

Mendengar sahutan yang berasal dari dalam rumah itu membuat Sean tidak lagi mengetuk pintunya. Beberapa detik kemudian pintu terbuka, menampilkan sosok wanita yang berkonde dengan dandanan yang terlihat sedikit menor.

"Eh, Nak Sean. Mau antar pesanan saya?"

"Iya, Bu. Ini pesanan ikannya." Sean menyerahkan kresek hitam itu pada Bu Darmi.

Bu Darmi ini merupakan orang yang paling kaya di kampungnya. Tetapi, walaupun begitu Bu Darmi tidak pernah merendahkan dirinya serta sang ayah. Kecuali, Bu Darmi akan melakukan itu jika ada salah satu warga kampung Petter ini yang secara terang-terangan menjelek-jelekkannya hanya karena dengan alasan iri.

Kampung yang ditempati Sean serta Lesmana, bernama Petter.

Konon katanya kampung Petter ini adalah kawasan yang dimiliki oleh salah satu kerajaan yang berada di bawah pimpinan Petter. Bukan hanya kampung saja yang dinamai Petter, tetapi juga kawasan laut yang berada di arah timur kampung ini juga bernama Petter.

"Mau masuk dulu ke rumah Ibu, Nak Sean?"

Sean tersenyum tipis. "Tidak perlu, Bu. Setelah ini Sean harus ceapt-cepat pergi ke pasar."

"Kalau begitu saya permisi, Bu."

Kemudian Sean meninggalkan pekarangan rumah Bu Darmi dan melanjutkan langkahnya menuju pasar. Tidak membutuhkan waktu lama, Sean pun telah tiba di salah satu pasar tradisional terdekat dengan kampungnya.

"Sean!"

"Nak, Sean!"

"Sean, kemari Nak!"

Begitu ia memasuki pasar langsung disambut oleh teriakan beberapa pedagang yang berjualan di sana. Tak hanya penjual ikan saja yang selalu membeli ikan-ikan hasil tangkapan ayahnya ini, melainkan penjual makanan serta sayuran pun ada yang membelinya.

Sean menghampiri salah satu pedagang yang memanggilnya. Ia menghampiri yang paling dekat saja dulu dengannya. "Ada apa, Bu? Ibu mau membeli ikan? Atau mau Ibu jual kembali?"

Jangan tanyakan kenapa mereka bisa mengenal Sean. Itu karena Sean memang sering ikut ayahnya untuk ke pasar, dan sesekali hanya dirinya saja yang pergi ke pasar. Seperti saat ini contohnya.

"Tidak, bukan itu. Jadi begini, kemarin saudara Ibu ada yang meminta untuk dipesankan ikan asin sebanyak lima ratus ribu. Jadi, Ibu meminta tolong pada kamu serta Ayah kamu itu untuk buatkan pesanan saudara Ibu. Gimana?"

Kedua bola mata Sean berbinar. Ini kesempatan yang bagus agar ayahnya mendapatkan uang lebih besar, pasalnya pendapatan ayahnya itu tidak mencapai lima ratus ribu perhari. Karena akhir-akhir ini Lesmana memang cukup sulit untuk menjala ikan.

"Sean akan sampaikan ke Ayah, Bu."

Wanita itu mengangguk. "Kalau bisa secepatnya ya, Sean!"

"Siap, Bu!"

Sean melangkahkan kakinya ke pedagang ikan yang berada di sampingnya. Ia memberikan keranjang di tangannya itu pada pedagang laki-laki itu. "Ini ikannya, Pak."

"Terima kasih, Sean. Seperti biasa nanti sore sepulang berjualan saya ke rumah."

Remaja laki-laki itu mengangguk seraya tersenyum lalu berpamitan untuk melenggang pergi. Sean melangkahkan kakinya keluar dari pasar, teriakan-teriakan yang memanggil namanya itu hanya sebatas memanggil. Karena percuma saja jika Sean menghampiri mereka pasti hanya akan memuji rupanya saja.

Matanya tak sengaja melihat ke arah pedagang pakaian. Terkadang ia ingin sekali-sekali membeli pakaian yang dijajakan itu, tetapi ia pun sadar diri bahwa itu tidak mungkin. Untuk saat ini memang tidak mungkin, tetapi di masa depan nanti ia yakin bahwa dirinya bisa membeli pakaian, bukan hanya untuknya tetapi untuk sang ayah.

***