webnovel

Perfect (Crazy Ex-Husband)

zhaErza · Urban
Not enough ratings
6 Chs

3. Menginap

Setelah menyantap makan siang tadi, Selena mendapatkan pesan di ponselnya bahwa Jhonatan berniat akan mampir untuk menjenguk Siera. Tentu saja niatan baik itu langsung ditolak mentah-mentah, sebab bukan hanya karena di rumah ini sedang ada Andrew, tetapi juga sakitnya sang anak yang memang berkaitan dengan kedekatan Selena dan Jhonatan.

Ia mendesah pasrah, laki-laki berambut kemerahan mirip cola itu memang selalu memberi perhatian, tetapi putrinya selalu tak suka. Sebab, bagi Siera tidak ada yang boleh mendekati sang mama apalagi berusaha untuk menjadi pengganti Andrew.

Memasuki kamar, Selena mengambil tas dan membukanya, melihat cincin pemberian dari Jhonatan yang sekarang berada di telapak tangan. Ia lalu membuka laci dan mengambil kotak cincin berlapis beludru merah dengan bunga lili tiruan yang tersemat indah di tengah-tengahnya.

Memperhatikan sejenak cincin yang telah diletakkan di dalam kotak, kepala Selena menoleh ketika telah mendapati Andrew masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Alisnya pun mengerut seketika, tentu saja hal sedemikian tidak sopan bagi tamu seperti sang lelaki.

"Ada apa?"

Tidak menjawab pertanyaan Selena, Andrew malah melangkah dan ikut duduk di samping si empunya rumah. Ikut menatap kotak cincin yang kini telah ditutup oleh jari mantan istri Andrew.

"Siera bilang kepadaku bahwa kau ingin mencarinya papa baru, jadi benar kau menerima laki-laki itu?"

"Andrew, bisakah tidak terus-terusan mengorek urusan pribadiku?"

"Ini berkaitan dengan Siera, Selena. Kenapa kau tidak bisa...."

"Baik, aku tidak pernah menerima perasaan Jhonatan, mengerti." Selena tentu berusaha sabar, ia sampai memejamkan mata beberapa kali karena Andrew begitu keras kepala.

Memijat batang hidungnya sebentar, Selena tidak tahu kalau Andrew menyeringai kecil sebelum mengembalikan ekpresi seperti sedia kala.

"Kalian berpacaran, bukan?" mendapati pandangan tak suka Selena, laki-laki itu menambahi. "Siera yang mengatakannya kepadaku."

Hela napas kembali dikeluarkan untuk menahan gejolak emosi karena Andrew terus-terusan bertanya tentang masalah ini.

"Baiklah, kalau kau tidak mau menjelaskan, setidaknya aku telah paham." Berdiri, Andrew kemudian menaruh kedua telapak tangan di dalam saku.

Selena pun melakukan hal yang sama, ia mendekati lemari dan menaruh cincin di dalam laci sebelum menguncinya kembali. Menatap Andrew yang berada di depan pintu, ia pun mendekat dan berdiri di sampingnya.

"Sebaiknya kau kembali ke kantor, Andrew. Aku akan menemani Siera di sini, sebelum dia bangun dan mencari-carimu."

"Hari ini aku mengambil cuti, kalau kau belum tahu."

Melangkah menuju kamar sang putri, Andrew pun membuka pintu dan membiarkan Selena di luar sana yang masih menatapnya. Beberapa saat kemudian, seperti yang ia duga, wanita berusia tiga puluh dua tahun itu datang dan berdiri di belakang punggunggnya. Andrew sedang memasangkan sebuah kalung berbandul hati dengan hiasan permata merah di tengah-tengah kepada anaknya, kemudian ia berdiri dan memberikan benda yang sama kepada Selena, tetapi berbandul bunga cosmos.

"Kau tidak menerima perasaannya, tetapi menerima hadiah darinya. Aku juga akan melakukan hal yang sama, dan aku tidak menerima penolakan untuk yang satu ini, Selena."

Mengerutkan alis, Selena kini hanya terdiam, menatap kalung berliontin kelopak bunga cosmos di tangan Andrew. Tidak bergerak untuk beberapa saat, tetapi dengan ragu telapaknya mengambil hadiah dari lelaki itu.

"Terima kasih," ucap Selena ragu, ia lantas melihat senyuman Andrew yang begitu manis dengan kedua mata nyaris menyipir, tetapi terlihat palsu.

.

.

.

Andrew memutuskan untuk pergi, tetapi ia akan kembali sore nanti karena tahu pasti putri kesayangannya akan bersedih dan menangis karena mencari-cari keberadaannya. Untuk itu, kali ini ia membiarkan sendiri agar bisa berpikir jernih, menerimanya demi anak mereka atau tetap kukuh dengan keinginan wanita itu untuk hanya membiarkan dirinya datang beberapa kali dalam sebulan saja.

Mengendarai mobil, Andrew melihat seseorang yang duduk sendrian di sebuah kafe di pinggir kota dekat dengan lampu merah. Ah, ada yang datang dan itu adalah seorang lelaki yang selalu mengahalang-halangi kedekatannya dengan Selena dan Siera.

Memutuskan untuk membelokkan mobil dan memarkirkannya di dekat kafe, Andrew keluar dari mobil dan memasuki ruangan kafe, Andrew berjalan ke arah meja yang ditempati dua orang tersebut.

"Selamat siang, Bung."

Dua kepala langsung menoleh, melihat laki-laki yang diperbicangkan mereka entah dari mana tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Senyuman manis, tetapi begitu beracun. Itulah yang pertama kali terbayang di salah satu benak dari kedua orang tersebut.

"Kakak Ipar, bagaimana kabarmu? Ah, kau membawa kue kesukaan anakku, jangan bilang kalian ingin mampir." Andrew lantas mengalihkan antensi kepada lelaki yang memberikan cincin kepada mantan istrinya. "Jhonatan, kau juga? Namun, sayang sekali karena Siera tidak menyukai kehadiranmu." Laki-laki itu masih berbicara dengan senyum di bibir, menatap antara Lucas dan juga Jhonatan.

"Andrew," tegur Lucas, matanya menyipit tajam.

"Ya?"

Hela napas terdengar, Lucas mencoba menahan kesabarannya. Bagaimanapun percuma untuk meladeni laki-laki ini, tetapi ucapan terhadap Jhonatan tadi sungguh lah keterlaluan.

"Oh, apakah kau akan ke sana sekarang? Biar aku antar, Lucas."

"Tidak perlu, aku membawa mobil."

Mengendikkan bahu santai, Andrew hanya mengucapkan ok, diliriknya Jhonatan yang juga sekarang berdiri dan berpamit diri karena harus kembali ke kantor, kemudian laki-laki berambut cola itu berterima kasih kepada kakak iparnya dan menjabat tangan mereka. tingga lah Andrew dan Lucas di tempat ini, kemudian entah ada angin apa, laki-laki yang lebih tua empat tahun darinya itu menyuruhnya untuk duduk.

Menganggukkan kepala, ia lantas melakukan apa yang diinginkan Lucas. Kedua tangan Andrew diletakkan di atas meja, ia melihat lak-laki di hadapannya memanggil pelayan untuk memilih pesanan. Ia hanya menginkan kopi hitam tanpa gula dan sebuah kue kering yang memiliki rasa manis dan asin.

"Kue kesukaan Selena," bisik Lucas tanpa sadar.

Dengan senyum di bibir, Andrew menjelaskan bahwa Selena lah yang menyarankannya untuk mencoba camilan ini, dan ia pun lumanyan menyukainya.

Melihat raut datar Lucas kini berubah serius, Andrew pun menebak bahwa lelaki itu akan segera mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan keterlibatannya di dalam hidup Selena dan Siera.

"Kau tahu bukan, aku tidak menyukai kehadiranmu di sisi keluargaku sedari dulu, Andrew. Aku juga telah menjelaskan, kau tidak bisa hidup dengan Selena karena kecacatanmu itu."

Memejamkan mata sejenak, kemudian Andrew mendengkus lucu, membuat dalam sekejab Lucas mengerutkan alis kesal.

"Kasar sekali, bukan?" tanya Andrew, matanya menatap bunga yang ada di dalam vas di tengah-tengah meja, tangannya juga ikut memainkan kelopak hingga salah satunya tercabut.

Andrew lalu melemparkan kelopak bunga, dan berjatuhan lah mawar merah di atas meja.

"Selena adalah seorang wanita yang diberkahi dengan kebaikan hati, dan walau kami telah resmi bercerai, kau yang paling tahu dia seperti apa, Lucas. Sementara Siera, dia menginginkan keberadaanku dan aku pun akan dengan senang hati untuk terus bersamanya... karena dia adalah anakku."

"Kau memanfaatkan mereka, Andrew." Lucas menggeram, tangannya mengepal dan ia begitu ingin menonjok kepala laki-laki beramata indah bak emerald itu.

"Aku ini masih seorang manusia, jangan memandangku seperti iblis, Lucas." Tertawa kecil, sekarang lelaki itu berterima kasih kepada pramusaji, kemudian meminum kopi hitam tanpa gulanya.

Tidak ada tanggapan, laki-laki yang kini berwajah datar dan asik menyantap kue keringnya pun menyandarkan punggung di kursi.

"Ah, ya. Aku mulai malam ini akan tinggal di rumah Selena," jelas Andrew.

Tersenyum tipis, ia lantas berdiri dan melangkah pergi setelah mengucapkan sampai jumpa kepada lelaki yang duduk di kursi sambil mengetatkan rahang karena menahan kemarahan. Napas Lucas menderu, tangannya mengepal dan ia pun mencoba mengendalikan kemarahan yang begitu membara di dada.

Benar-benar tidak habis pikir, padahal ia sudah berkata kepada Selena agar memikirkan terlebih dahulu keputusan yang ingin diambil, tetapi malah menerima Andrew tinggal di rumah. Kepalanya mendadak terasa berasap karena kembali merasa murka, mengambil ponsel di saku, ia pun berniat menekan nama sang adik di layar, tetapi beberapa saat kemudian ia urungkan.

Lebih baik langsung menjumpai Selena sekarang, lagi pula memang itu tujuannya untuk menjengung Siera yang sekarang telah pulang dari rumah sakit. Cuti yang ia ambil hanya tinggal beberapa hari lagi, setelahnya Lucas akan kembali bekerja di luar kota. Kalau seperti ini, adiknya bisa semakin terperangkan bersama laki-laki kurang ajar itu.

Langsung pergi, ia tak lupa memberikan beberapa oleh-oleh dari kafe untuk keponakannya. Mengendarai mobil dan menuju rumah Selena.

Di dalam benak masih berpikir, kalau saja saat itu Selena mau diajak pindah ke rumahnya yang berada di luar kota, pasti hal seperti ini tidak akan terjadi.

Menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit lebih, Lucas pun sampai dan langsung turun, ia melihat Selena yang telah berada di depan pintu menunggu seperti pesan singkat yang ia berikan setelah keluar dari kafe.

Tersenyum kepada dirinya, Lucas pun menghampir sang adik dan memeluk sejenak, ia memberikan sebuah kue yang dibelinya tadi dan langsung berajak menuju kamar sang keponakan. Sebuah bungkusan cukup besar membuat alis Selena naik dan menggelengkan kepala kepada Lucas.

"Siera sedang istriahat? Aku tidak mengganggu kan?"

"Tidak, Siera baru saja bangun satu jam lalu. Dia sedang bermain dengan hadiah Karin."

Mengetuk pintu kamar Siera, Lucas lantas mendengar suara gadis kecil itu meneriakinya untuk masuk. Membuka pintu, ia tersenyum sesaat sebelum melangkah dan ikut memberikan sebuah oleh-oleh lain.

"Terima kasih, Paman. Wah, apa ini?" tanya Siera antusian. Dengan cekatan ia membukanya dan menemukan boneka kelinci merah muda, langsung saja gadis kecil itu memeluknya erat.

"Wah, kau suka sekali boneka kelinci, ya?" telapak tangan Lucas mengelus kepala Siera, rambutnya agak kusam karena belum diperbolehkan membasuh kepala.

"Tentu saja, kelinci sangat manis dan seperti tidak bosan untuk dipeluk."

Tertawa kecil, kembali Lucas mengacak rambut Siera karena gemas.

"Paman, sudah dong."

"Maaf, maaf. Kau juga sangat manis, Siera."

"Tentu saja, aku kan anak mama dan papa." Teringat sesuatu, Siera pun menceritakan hal ini kepada pamannya. "Paman, tahu tidak. Papa dan mama akan tinggal bersama lagi, aku begitu senang sampai rasanya mau berteriak kencang sambil tertawa."

Gadis kecil itu mengguncang-guncangkan boneka kelinci yang ada di pelukannya, sesekali memeluk gemas dan menjatuhkan wajah di atas kepala kelinci.

Menghela napas, Lucas tersenyum kecil, sekarang ia sadar bahwa begitu sulit bagi Selena untuk mengambil keputusan. Harapan Siera dan kebahagiannya lah yang membuat sang adik rela melakukan apa saja.

.

.

.

Bersambung