webnovel

Percobaan Pertama

Kalau menurut informasi dari Alex, rombongan pendeta baru harusnya akan sampai besok. Tapi daripada menyerang mereka di ibukota--yang resiko ketahuannya lebih tinggi, Arina berpikir kalau lebih baik mengincarnya saat mereka masih ada di kota sebelah.

Dengan begitu tidak ada orang yang akan mengenalinya, dan rombongan sambutan juga tidak akan mengganggunya. Asalkan tidak ada naga yang tiba-tiba muncul, Arina harusnya masih bisa tidur beberapa jam begitu dia kembali!

Pergi dengan kuda ke kota sebelah biasanya makan waktu setengah hari. Tapi Arina yang punya awan hitam terbang pribadi bisa langsung sampai dalam waktu kurang dari satu jam.

"Nah, sekarang cari kemana… Hm?" Gumamnya sambil melihat sekitar. Hari memang sudah malam, tapi entah kenapa suasana kota rasanya terlalu sepi.

Namun setelah berjalan beberapa saat, akhirnya dia melihat ada cahaya keramaian di sekitar alun-alun kota. Bahkan bukan cuma ramai, kelihatannya seluruh penduduk memang berkumpul di sana. Arina tidak yakin ini ada situasi apa, tapi pemandangan itu rasanya mirip seperti saat orang-orang miskin sedang mengantri bantuan kerajaan.

Penasaran, Arina pun mendekati salah satu ibu gemuk yang sedang menggendong anaknya. "Anu, ini ada apa ya?"

"Ya ampun, Aku sudah menunggu dari sore. Sebenarnya kapan pendeta itu mau mengobati anakku?" Keluhnya langsung. "Kalau begini pinggangku juga jadi ikutan sakit nih!"

"Jangan bilang begitu. Nona itu juga sudah mengobati semua orang sejak siang, jadi dia juga pasti sudah lelah." Timpal seorang nenek yang sedang duduk di pinggir kolam pancuran. "Lagipula anakmu kan cuma lecet karena jatuh. Luka begitu tidak perlu pendeta agung, kau tahu."

"Tapi kapan lagi kita ketemu pendeta agung kan? Setelah dia sampai di ibukota, mereka hanya akan mengurungnya di istana untuk mengurusi keluarga kerajaan saja."

"..." Setelah mendengarkan percakapan itu beberapa sesaat, Arina pun memutuskan untuk mendekat perlahan ke depan gedung.

Tapi sayangnya dia harus masuk ke dalam gedung balaikota kalau mau menemuinya. Dan Arina jelas tidak bisa lewat pintu depan yang dijaga oleh beberapa prajurit itu.

Arina sempat berpikir untuk menusuk perutnya sendiri supaya dia bisa pura-pura terluka parah dan masuk, tapi dia kan tidak mungkin tiba-tiba membunuhnya di depan semua orang juga. Kecuali kalau dia mau repot membunuh 'semua orang' itu juga. Meski itu tetap berlaku kalaupun dia lewat pintu lain.

Sampai pendeta itu sendirian, Arina tidak bisa membahayakan dirinya dulu.

Yah, pada akhirnya Arina memang hanya pandai melindungi dirinya. Dia bukan pembunuh bayaran yang ahli merencanakan pembunuhan. Memikirkan itu, dia jadi ingin mencekik Alex lagi.

Setelah berpikir beberapa saat, Arina akhirnya memutuskan untuk pergi ke samping gedung dulu untuk mengikuti orang-orang yang sedang mengintip dari jendela. Dan setelah mendorong orang sana-sini, akhirnya dia pun bisa melihatnya. Sosok perempuan yang katanya merupakan titisan pendeta agung itu.

Arina sedikit kaget saat melihat kalau wanita itu ternyata terlihat seumuran dengannya, mengingat pendeta yang secara resmi masuk ke istana biasanya orang berumur 30-an semua.

Soalnya sama seperti posisi penting lain di istana, seseorang biasanya perlu menjalani waktu bertahun-tahun dulu sampai bisa jadi pendeta di istana. Tapi sepertinya titisan pendeta agung memang berbeda.

Walaupun daripada malaikat, perempuan itu lebih kelihatan seperti anak anjing yang tidak punya dosa apa-apa. Melihatnya memaksakan diri untuk menyembuhkan pria di depannya meski dia jelas-jelas terlihat lelah juga membuatnya terlihat menyedihkan…

"Hmph." Celetuk Arina yang akhirnya berjalan menjauh lagi. Dia tidak pernah merasa risau dengan aura para pendeta, tapi entah kenapa aura di sekitar gedung itu terasa ada yang mengganjal.

Makanya setelah cukup jauh, dia pun mengeluarkan sesuatu dari kantong kecilnya. Yaitu segenggam petasan asap yang tadi curi dari salah satu toko yang tidak ada penunggunya.

Arina sebenarnya bawa beberapa benda lain dari rumah. Tapi untuk langkah pertama, ini yang paling bagus. Baru setelah mengikatnya jadi satu gumpalan, Arina pun menyulut apinya dan melemparkannya ke arah jendela yang ada di samping tadi.

PRANG! Semua orang langsung menoleh begitu mendengar suara jendela pecah, tapi tidak sampai beberapa detik, petasan-petasan itu pun mulai meledak dan mengasapi seluruh ruangan dengan kabut putih yang bau.

"Uhuk, uhuk!" Tapi bukannya langsung panik, semua orang malah cuma batuk-batuk dengan kebingungan. Jadi setelah menyusup ke dalam, Arina pun perlu mencengkram leher seorang nenek dulu dan membuatnya teriak.

"GAAAHHHH!!" Dan setelah disusul bunyi beberapa benda jatuh juga, akhirnya semua orang mulai panik dan buru-buru lari keluar.

Arina melihat para prajurit menggiring para pendeta termasuk perempuan itu keluar juga. Tapi sebelum dia perlu menyusulnya, perempuan itu ternyata melangkah balik untuk menolong seorang nenek yang terjerembab di lantai.

'Aha, Aku beruntung.' Tidak membuang kesempatan itu, Arina pun langsung merogoh pisau kecil yang dia bawa. Dan begitu dia sudah cukup dekat, dia langsung mengangkat tangannya untuk segera menancapkan pisau itu di punggungnya—

SYAT! Tapi entah dari mana, sebuah pisau tiba-tiba saja melayang ke arah Arina. Bahkan sebelum dia sempat mengkhawatirkan lengannya yang tersayat, seorang laki-laki sudah muncul di depannya dan terlihat akan melayangkan pedangnya ke kepala Arina.

"--Gh!" Tali jubahnya terpotong, tapi setidaknya lehernya masih utuh. 'Sialan!'

Memutuskan kalau situasi itu berbahaya, Arina pun segera membatalkan rencana pembunuhannya dan lari keluar gedung. Meski tentu saja laki-laki itu mengejarnya.

Arina lari ke hutan untuk cepat menyembunyikan dirinya. Tapi tepat saat dia menoleh ke belakang--berpikir kalau dia sudah lolos, tiba-tiba saja sebuah pedang kelihatan meluncur lagi ke arahnya. Kali ini perutnya yang tersayat.

Bahkan bukan cuma itu, laki-laki itu juga sudah kembali berada di depannya untuk melayangkan tendangannya. Arina menggunakan lengannya untuk menahan serangan itu, tapi tubuhnya tetap terlempar sampai dia menabrak sebuah pohon. "Bgh!"

Laki-laki itu mengambil pedangnya dan mengulurkannya ke arah Arina yang masih terduduk kesakitan. "Kau siapa? Siapa yang mengutusmu untuk membunuh Effi?" Tanyanya menginterogasi.

Jubah Arina sudah terlepas, tapi dia masih menempelkan wajahnya ke pohon—Karena masih mau menyembunyikan identitasnya, juga karena sedang ingin menggerutu atas kesialannya malam ini. Walaupun daripada pria yang akan membunuhnya, Arina lebih ingin membunuh Alex saat itu.

"Cepat jawab!" Seru orang itu lagi yang sekarang sudah menempelkan pedangnya di punggung Arina. Tapi karena orangnya tidak kunjung menjawab, tadinya laki-laki itu sudah akan mencengkram lehernya dan memaksanya berdiri supaya dia bisa melihat wajahnya.

ZRATT! Tapi sebelum tangannya bisa menyentuh Arina, sesuatu malah memotong lengannya duluan. "GAH! APA-APAAN…?!"

Arina yang masih sibuk memegangi perutnya bahkan tidak mau repot-repot untuk berbalik dan menyerahkan semuanya pada bayangan hitamnya.

Baru setelah suara di punggungnya jadi sunyi, dia pun berbalik untuk langsung pergi. Tadinya. Karena ternyata Arina masih mau menyempatkan dirinya untuk menginjak-injak dulu wajah laki-laki yang sudah mati itu.

"...??"

Tapi saat pantulan cahaya bulan mulai menyelinap di antara dedaunan, Arina akhirnya bisa melihat wajah laki-laki itu lebih jelas. 'Pedagang yang waktu itu?!'

Ingatannya sangat samar, tapi itu adalah laki-laki yang pernah dia lihat di sebuah pesta sekitar 1-2 tahun lalu.

Sembari menjauhkan kakinya, Arina sempat bingung sensasi apa yang sedang dia rasakan saat itu. Bukan sedih atau menyesal, tapi yang pasti Arina merasa ada yang mengganjal.

"Gin! Gin!" Tapi karena seseorang kelihatan sudah muncul dari jauh, Arina pun terpaksa membuyarkan pikirannya. Itu perempuan yang tadi.

"Tsk." Arina sempat terdiam dan berpikir untuk mencoba membunuhnya sekali lagi. Tapi selain karena suasana hatinya yang sudah buruk, Arina juga perlu menyembuhkan perutnya segera kalau tidak mau pingsan.

Sehingga dengan berat hati, Arina pun memilih untuk pergi. "Awas saja lain kali."