webnovel

PROLOG

Membenarkan sweater tebal yang dipakainya. Mencoba untuk menghalangi angin dingin yang menerpa tubuhnya. Dia terdiam di sini, tempat yang akan mengubah masa depannya.

Pagi tadi dia sudah mendapat telepon dari seseorang yang sangat berarti untuknya. Pria yang seharusnya menjadi suaminya. Kalau saja dia bisa tidak lebih mementingkan egonya. Tapi semuanya sudah menjadi bubur. Dia tidak bisa kembali ke belakang. Semuanya harus terus maju. Meskipun terasa sangat menyakitkan untuknya.

Novia Larasati, diam terpaku di sudut cafe. Saat ini dia sedang menunggu seseorang. Tepatnya pria yang mengajukan diri untuk menikahinya.

Novia menghela nafas. Resah dan tidak nyaman. Padahal dia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Membenarkan kerudung yang dipakainya, Novia sekali lagi menatap jam yang melingkar di tangan. Dua jam lagi dia harus berada di rumah sakit. Papanya sedang dirawat intensif di sana dan dia harus menemani.

"Vi, maafkan aku. Terus terang aku tidak bisa memberikan solusi kepadamu. Aku sudah menikah. Dan tidak mungkin mencintaimu. Aku sangat mencintai istriku dan tidak mau menyakitinya."

Suara Kenan, mantan calon suaminya masih terngiang di telinganya. Dokter hewan itu memang sejak pertama kali mereka bertemu karena perjodohan sudah memikat hati Novia. Kepribadiannya, tampang rupawannya dan juga sikapnya sudah mampu membuat Novia jatuh cinta.

Harusnya mereka sudah menikah. Tinggal satu langkah lagi saat tawaran beasiswa untuk melanjutkan spesialisnya diterima. Novia bingung. Dia memang sangat ingin menjadi dokter spesialis. Dan saat tawaran itu datang, dia memang harus memilih. Meskipun dengan berat hati melepaskan pria yang dicintainya.

Hanya saja kadang kehidupan tidak seperti yang diimpikan. Baru beberapa bulan Novia menempuh pendidikannya. Dia mendapatkan telepon dari mamanya. Kalau sang papa jatuh sakit dan terbaring di rumah sakit.

Novia langsung pulang dan permintaan papanya membuat dia kalut. Novia tidak mau mengecewakan papanya. Karena penolakan menikah kemarin sudah membuat papanya kecewa. Saat ini dia harus mengembalikan rasa itu. Dengan penuh malu akhirnya dia melamar Kenan. Meski dia tahu Kenan sudah menikah.

Dia dibutakan oleh perasaan bersalah. Hingga akhirnya Kenan memberikan jawaban. Yang membuatnya tidak bisa mengatakan apapun.

"Aku cuma bisa memberi solusi yang baik, Nov. Sepupu Mas Aslan sedang mencari istri. Dia sudah mapan, seorang dokter anak. Aku yakin Om Ridwan pasti juga menyukainya. Aku harap ini bisa memecahkan semua permasalahan."

Novia menghela nafas lagi. Dia tidak mengiyakan dan meminta waktu untuk berbicara dengan sang papa. Hanya saja kemudian tadi dia mendapat telepon dari seorang pria yang mengaku bernama Raihan, pria yang dikatakan Kenan sebagai sepupu saudara iparnya.

Novia belum siap, menolak tapi Raihan mengatakan kalau sudah berada satu kota dengannya. Dan di sinilah dia berada.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam..."

Novia menjawab salam itu dan menemukan seorang pria yang sudah berdiri di depannya. Pria dengan kemeja abu-abu itu kini menarik kursi di depannya. Novia merasa gugup.

"Raihan."

Saat akhirnya pria itu duduk nama itulah yang terucap. Novia menganggukkan kepala.

"Novia."

Mengamati wajah Raihan yang tampak menganggukkan kepala. Wajah pria itu tampak angkuh. Dengan rahang keras membingkai wajahnya, rambut hitam tebalnya tampak sangat lebat. Alis matanya yang tebal membingkai kedua matanya yang tajam. Aura maskulinnya menguar.

"Jadi kapan kita menikah?"

Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat Novia kesal. Pria tidak tahu sopan santun ini terdengar sangat percaya diri. Novia menegakkan tubuhnya.

"Maaf? Siapa yang ingin menikah?"

Mendengar jawabannya itu Raihan mengangkat salah satu alisnya. Bibir itu terangkat ke sudut. Meremehkan, pikir Novia.

"Jangan berpura-pura. Aku dan kamu sangat tahu. Apa yang menjadi inti permasalahannya. Kenan sudah menceritakan semuanya. Pertemukan aku dengan papa kamu untuk melamar kamu. Kita sama-sama membutuhkan."

Ucapan sombong itu membuat Novia kini mengangkat dagunya.

"Maaf tuan Raihan yang terhormat. Saya di sini hanya ingin berkenalan dengan anda. Itupun saya belum menyetujui semuanya. Saya memang butuh suami, tapi bukan anda. Pria yang diinginkan papa saya..."

"Dia sudah menikah. Tolong jangan rusak rumah tangga orang lain."

Mata Novia membelalak mendengar jawaban Raihan. Dia tidak suka ada yang memotong pembicaraannya.

"Kalau bukan Kenan, papa pasti akan kecewa."

Meluruhkan emosinya, Novia kini mengatakan itu dengan nada sedih. Dia tidak bisa membayangkan sang papa pasti akan sangat sedih.

"Papa kamu akan tahu. Aku juga sama baiknya dengan Kenan. Akan aku buat papa kamu menerimaku untuk menikahimu. Itu janjiku.”