webnovel

Teman di Prosperam Urben

Rise sudah menjalani lima bulan latihan dengan Master Hiro di kuil terpencil di luar Prosperam Urben. Hari-hari penuh keringat dan upaya kerasnya belum membuahkan hasil dalam mengalahkan boneka pedang itu. Meskipun demikian, Master Hiro masih terus mendorongnya untuk berlatih dan mengasah keterampilannya.

Hari ini, Master Hiro akhirnya memutuskan untuk memberikan Rise waktu libur selama dua hari. Dia tahu betapa kerasnya Rise berusaha, dan kadang-kadang seseorang perlu beristirahat dari latihan yang melelahkan.

"Latihan memang penting, tetapi istirahat juga bagian dari latihan itu sendiri," kata Master Hiro dengan bijak. "Gunakan waktu ini untuk menyegarkan pikiranmu, Rise."

Selama dua hari itu, Rise memilih untuk menjelajahi kota Prosperam Urben, belajar lebih banyak tentang tata kehidupan di dalamnya. Dia menjelajahi perpustakaan lokal, mendengarkan cerita rakyat dan sejarah kerajaan, dan mencicipi makanan khas dari berbagai penjuru kota. Namun, di sela-sela penjelajahan itu, dia kerap duduk di atas menara jam kota, menikmati angin sejuk yang berhembus dan memandang pemandangan kota dari ketinggian.

Saat duduk di atas menara jam, Rise mulai bergumam pada dirinya sendiri, merenungkan hasil latihannya. "Hampir delapan bulan sudah aku berlatih keras, tapi rasanya seperti tidak ada kemajuan. Boneka pedang itu masih terlalu sulit dikalahkan. Apa aku benar-benar bisa menjadi lebih kuat?" Dia menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi yang semakin menguat. "Master Hiro pasti mengharapkan lebih dari ini. Bagaimana mungkin aku bisa melindungi kerajaan kalau begini terus?"

Dia terus-terusan mengomel dan menggerutu, mencurahkan isi hatinya pada angin sepoi-sepoi yang berhembus di sekelilingnya. "Mungkin aku tidak cukup berbakat. Tapi, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan. Lili, Wildes, semua orang di kerajaan ini... aku harus menjadi lebih kuat untuk mereka."

Saat dia tenggelam dalam pikirannya, Rise mendengar suara langkah kaki yang ringan di belakangnya. Dia menoleh dan melihat seorang gadis dengan rambut panjang, telinga kucing yang menyembul di antara rambutnya, dan ekor yang bergoyang-goyang dengan santai. Gadis itu tampak sedikit terkejut melihat Rise di sana.

"Oh, maaf. Aku tidak tahu ada orang lain di sini," kata gadis itu dengan suara lembut.

Rise tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Tidak apa-apa. Aku juga hanya sedang menikmati pemandangan."

Rise penasaran dan tersenyum lebar. "Hei, apa kabar? Aku Rise," katanya, mencoba memulai percakapan dengan gadis setengah binatang itu.

Gadis itu mendekat dan duduk di samping Rise. "Namaku Katze Graue. Aku sering datang ke sini untuk bersantai."

Gadis itu menoleh ke arah Rise dan mengangkat alisnya. "Aku di sini hanya ingin menikmati udara segar dan pemandangan kota," jawabnya dengan senyum ramah.

Mereka duduk bersama dan berbicara tentang berbagai hal—tentang kehidupan di Prosperam Urben, harapan dan impian mereka, dan bagaimana mereka mengatasi tantangan hidup masing-masing. Katze tampaknya memiliki semangat yang tinggi dan pandangan yang positif terhadap segala hal.

"Jadi, kau dari mana sebenarnya, Katze?" tanya Rise, penasaran dengan latar belakang gadis setengah binatang itu.

Katze mengangkat bahu. "Aku berasal dari sebuah desa kecil di pedalaman kerajaan. Keluargaku memutuskan untuk pindah ke kota ini untuk mencari peluang yang lebih baik. Aku bekerja di kedai teh," jawab Katze dengan senyuman ceria.

Rise mendengarkan kisah Katze dengan penuh minat, namun pikirannya juga melayang ke masa lalu. Dia teringat saat pertama kali tiba di Prosperam Urben dan berkeliling mencari Master Hiro—tujuannya yang mendesak dan penuh rasa frustasi. Saat itu, dia akhirnya menemukan petunjuk pertama di kedai teh tempat Katze bekerja. Menyadari itu, Rise sedikit tersenyum.

"Dulu aku juga pernah mengunjungi kedai teh tempatmu bekerja. Saat itu aku mencari informasi tentang seorang pria yang bisa membantuku dengan keterampilan pedangku," kata Rise sambil tersenyum.

Katze memandang Rise dengan penasaran. "Oh, benar? Siapa pria itu? Apakah dia berhasil membantumu?" tanyanya dengan penuh minat.

Rise mengangguk. "Ya, namanya Master Hiro. Aku mendengar Master Hiro tinggal di bagian kota yang lebih tua, di dekat kuil tua. Kota itu penuh dengan orang-orang yang tidak ramah. Aku tahu itu terdengar gila, tapi aku memutuskan untuk mencarinya," jawab Rise dengan nada tenang.

Rise melanjutkan ceritanya. "Aku mendapatkan informasi tentang tempat tinggal Master Hiro dari seorang informan tua yang menghampiriku saat aku sedang duduk di kedai teh. Orang itu muncul entah dari mana dan memberi tahuku tentang lokasi Hiro dengan detail yang cukup mengerikan."

Katze menatapnya dengan penuh perhatian. "Informan tua? Kedengarannya seperti cerita dari novel misteri. Apa dia mengatakan sesuatu yang menarik?"

Rise tersenyum kecil, mengingat pertemuan itu. "Dia tampak seperti seorang pria yang penuh rahasia. Matanya tajam dan suaranya dalam. Dia hanya mengatakan, 'Master Hiro tinggal di bagian kota yang lebih tua, di dekat kuil tua. Tapi hati-hati, tempat itu penuh dengan orang-orang yang tidak ramah.' Dan setelah itu, dia menghilang begitu saja."

Katze tertawa kecil. "Kedengarannya sangat dramatis. Lalu apa yang terjadi setelah itu?"

Rise menghela napas, melanjutkan ceritanya. "Setelah mendapatkan informasi itu, kau tau aku harus pergi ke tempat yang disebutkan oleh informan itu, jadi aku bergegas menuju bagian kota yang lebih tua."

Rise memandang jauh, mengingat perjalanannya. "Jalan-jalan di sana lebih sempit dan gelap, dengan bangunan-bangunan yang tampak usang dan rapuh. Setiap kali aku berbelok di tikungan, bayangan gelap dan lorong-lorong sempit menyambutku. Aroma tidak sedap dan suara gemerisik tikus membuatku semakin gelisah. Ada juga beberapa orang yang tampak mencurigakan."

Katze mengerutkan kening. "Apakah sesuatu yang buruk terjadi?"

Rise mengangguk. "Ada beberapa pria mesum yang mencoba mendekatiku. Mereka berniat melakukan hal buruk padaku. Aku merasa sangat ketakutan saat itu, tetapi aku berhasil melarikan diri. Itu adalah salah satu momen paling menegangkan dalam hidupku."

Katze tampak terkejut dan khawatir. "Astaga, itu pasti mengerikan. Bagaimana kau bisa mengatasi semua itu sendirian?"

Rise tersenyum tipis. "Aku harus tetap kuat dan fokus pada tujuanku. Aku tahu kalau aku menyerah, aku tidak akan pernah mencapai apa yang aku inginkan, hanya itu saja."

Katze menarik napas lega. "Kau benar-benar berani, Rise. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya melalui semua itu."

Rise mengangguk. "Itu adalah pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan. Tapi semua itu sepadan, karena aku akhirnya bisa bertemu Master Hiro dan mulai berlatih dengannya. Meskipun latihannya sangat sulit, aku tahu ini adalah jalan yang harus aku tempuh."

Katze tersenyum setelah mendengar cerita Rise. "Aku sangat mengagumi keberanian dan tekadmu, Rise. Aku yakin kau akan menjadi orang yang hebat suatu hari nanti."

Rise tersenyum, merasa sedikit lebih baik. "Terima kasih, Katze. Aku akan berusaha keras. Aku berharap suatu hari kita bisa bertemu lagi dan berbagi cerita tentang perjalanan masing-masing."

Katze mengangguk. "Tentu, Rise. Aku juga berharap kita bisa bertemu lagi dan mendengar bagaimana perkembangan latihanmu dan kehidupanmu di sini," jawabnya dengan senyum tulus.

Rise mengangguk, tertarik dengan Katze. "Jadi kamu bekerja di kedai teh itu, ya? Aku pikir itu tempat yang menyenangkan. Aku sering melihat orang-orang bersantai dan berbicara di sana."

Katze mengangguk. "Ya, benar. Tempat itu nyaman, dan aku suka berinteraksi dengan pelanggan. Mungkin kita bisa bertemu di sana suatu hari nanti," kata Katze dengan lembut.

Keduanya terus berbicara dan bercanda sepanjang sore. Saat matahari mulai terbenam dan udara mulai terasa lebih dingin, Rise dan Katze memutuskan untuk berpisah untuk malam itu.

"Terima kasih sudah menemani aku hari ini, Katze. Aku berharap kita bisa bertemu lagi," kata Rise dengan penuh harapan.

Katze tersenyum, lalu bertanya, "Apakah kamu akan datang ke tempat ini lagi?"

Rise mengangguk. "Iya, aku akan berusaha datang lagi, asal aku mendapatkan izin dari Master Hiro. Tempat ini sangat menenangkan," jawabnya dengan senyuman kecil di wajahnya.

Katze tersenyum lebih lebar. "Baiklah, aku akan menunggu. Sampai jumpa lagi, Rise."

"Sampai jumpa, Katze," balas Rise.

Dengan perasaan lebih ringan, Rise turun dari menara jam dan kembali ke kuil Master Hiro. Meskipun hari liburnya telah berakhir, dia merasa lebih bersemangat dan siap untuk kembali berlatih besok. Kehadiran Katze memberi warna baru dalam pengalamannya di Prosperam Urben, dan dia merasa yakin bahwa pertemuan itu akan menjadi awal dari persahabatan baru yang menarik.

Dalam perjalanan pulang, mata Rise menangkap pemandangan yang membuatnya berhenti. Seorang gadis muda tampak tersesat dan kebingungan, matanya terus-menerus mencari sesuatu. Rise merasa ada yang harus dia lakukan.

Rise mendekati gadis itu dengan hati-hati, berusaha tidak membuatnya takut. "Hei, kau kelihatan tersesat. Bisa kubantu?" tanyanya dengan suara lembut.

Gadis itu tampak lega melihat Rise. "Oh, terima kasih. Aku sedang mencari kedai teh tempat temanku bekerja, tapi aku tidak bisa menemukannya," katanya dengan sedikit panik.

Rise mengernyit, mengenali deskripsi itu. "Kedai teh? Apakah temanmu bernama Katze Graue?" tanyanya.

Gadis itu mengangguk cepat. "Iya! Apakah kau mengenalnya?"

Rise tersenyum. "Ya, aku baru saja bertemu dengannya di atas menara jam tadi. Dia sudah kembali dan sekarang sedang bekerja di kedai teh. Ayo, aku antar kau ke sana," katanya dengan hangat.

Dalam perjalanan menuju kedai teh, gadis itu bercerita bahwa dia adalah teman dekat Katze dan pemilik kedai teh tempat Katze bekerja. Mereka pindah ke Prosperam Urben bersama-sama dari desa kecil, dan gadis itu bertanggung jawab atas kedai tersebut.

Rise terkejut. "Jadi, kamu yang memiliki kedai teh itu?" tanyanya dengan senyum kecil di wajahnya.

Gadis itu tertawa pelan. "Ya, memangnya kenapa? Kau terlihat terkejut," jawabnya sambil mengedipkan mata.

Rise menghela napas, tersenyum kecil kembali. "Hanya tidak menyangka, aku kira pemiliknya adalah seseorang dengan nama yang berbeda," katanya sambil melanjutkan langkahnya.

"Katze pasti senang melihatmu," kata Rise dengan semangat.

Saat mereka sampai di kedai teh, Katze terlihat kaget dan senang melihat kedatangan temannya. "Lina! Aku tidak tahu kau akan datang hari ini!" katanya sambil memeluk gadis itu.

Lina tersenyum. "Maaf, aku tersesat. Untung ada Rise yang menolongku," katanya sambil tersenyum pada Rise.

Rise mengangguk dan tersenyum. "Senang bisa membantu. Aku akan pergi sekarang, selamat menikmati waktu kalian."

Katze menatap Rise dengan rasa terima kasih. "Terima kasih, Rise. Aku harap kita bisa bertemu lagi."

Rise tersenyum dan berkata, "Hehh...? Bukankah kita baru saja bertemu di Menara Jam tadi dan mengobrol sampai sore? Hehe, kalau begitu aku pamit karena sudah gelap."

Katze tertawa kecil. "Tapi itu waktu yang menyenangkan. Semoga kita bisa bertemu lagi, Rise. Hati-hati sampai bertemu lagi."

Rise mengangguk. "Sampai jumpa, Katze. Jaga diri baik-baik."

Dengan perasaan hangat, Rise meninggalkan kedai teh, siap untuk kembali ke kuil dan melanjutkan latihannya. Ia merasa dua hari libur ini tidak hanya memberinya kesempatan untuk beristirahat tetapi juga mempertemukannya dengan teman baru yang membuatnya lebih kuat dan termotivasi untuk mencapai tujuannya.

Saat matahari terbenam, Rise melihat ke langit, berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus berjuang, tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk teman-teman baru yang dia temui dan orang-orang yang bergantung padanya.