webnovel

Kage dan Hikari

Dipagi hari, ketika matahari baru saja menyentuh cakrawala, Rise berdiri di halaman latihan Master Hiro. Udara pagi yang segar dan sejuk membuat semangatnya berkobar. 

Namun, sebelum dia benar-benar bisa berlatih dengan senjata yang memadai, dia harus mendapatkan pedang yang sesuai. Master Hiro memberinya tugas untuk mencari material khusus yang akan digunakan untuk menempa pedang kembar. Misi pertamanya adalah mencari material untuk pedang pertama. Yaitu Kristal Noir dan Besi Coaris.

"Rise, sebelum kamu benar-benar bisa berlatih denganku, kamu harus mengganti pedang lamamu yang sudah rusak itu." Kata Master Hiro melihat pedang lama Rise yang sudah terkikis.

"Sebelum latihan pertamamu, kita akan membuat pedang yang akan menjadi bagian dari dirimu, misi pertamamu adalah. Kau harus mengumpulkan bahan dari tambang tua di luar kota, bahan-bahan yang kau butuhkan adalah Besi Coaris dan Kristal Noir, Kristal Noir bisa kamu dapatkan setelah mengalahkan Kalios, tidak perlu khawatir itu hanya ular." Jelas Master Hiro dengan suara lembut.

"Kristal itu tepat berada di dadanya, segeralah berangkat dan hati-hati. Tempat itu berbahaya dan penuh dengan monster," pesan Master Hiro.

Dengan penuh semangat dan sedikit kekhawatiran, Rise mempersiapkan dirinya. Ia membawa peralatan dan persediaan yang cukup untuk perjalanannya. Bekas tambang itu terkenal dengan cerita-cerita menyeramkan tentang monster yang menghuni lorong-lorong gelapnya. Namun, Rise tidak mundur. Dia tahu bahwa untuk menjadi lebih kuat, dia harus menghadapi ketakutannya.

Begitu sampai di tambang, atmosfer yang menakutkan segera menyelimutinya. Lorong-lorong gelap dipenuhi suara gemerisik yang menandakan keberadaan monster. Rise menyalakan obor dan mulai menyusuri lorong yang sempit dan berliku.

Tidak lama kemudian, dia dihadang oleh monster tanah berbentuk golem yang besar. Golem itu memiliki kekuatan luar biasa dan sulit dikalahkan. Rise mengeluarkan pedangnya dan bersiap untuk bertarung.

"Golem besar ini tidak akan menghalangiku," gumam Rise, mencoba menguatkan tekadnya.

Pertarungan itu berlangsung sengit. Golem tanah melancarkan serangan bertubi-tubi dengan tinju dan lemparan batu besar. Rise mengelak dengan lincah, mencari celah untuk menyerang. Dia mengarahkan serangan ke titik lemah golem, yaitu kristal di dadanya yang bersinar.

Setelah beberapa kali serangan yang gagal, akhirnya Rise berhasil mengenai kristal tersebut dengan pedangnya. Golem itu runtuh menjadi tumpukan tanah, dan Rise menghela napas lega. Di dalam reruntuhan golem, dia menemukan material yang dicari, sebuah Besi Coaris yang bersinar.

Setelah mendapatkan material pertama, Rise bersiap-siap untuk mencari material kedua, yaitu Kristal Noir yang ada di dada Ular Kalios. Rise berjalan terus kedalam hingga akhirnya dia menemukan sebuah gua yang bersinar terang didepannya, dia berjalan kearah gua bersinar itu dan berdiri di depan gua.

Rise, melihat apa yang dia butuhkan, Ular Kalios ada di depan matanya. Dia mencabut pedang rusaknya dari sarung pedang, dia berdiri dengan pedang di tangan, matanya menatap tajam pada monster di depannya. Kalios, ular raksasa dengan sisik berkilau yang sangat keras, melingkar siap menyerang.

"Ini dia," bisik Rise pada dirinya sendiri, mengumpulkan tekad. "Kristal itu ada di dalam dadamu, Kalios. Aku harus mengambilnya, tak peduli seberapa keras pertarungan ini."

Kalios mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, tatapan matanya tajam dan menakutkan. "Kau manusia bodoh! Berani datang ke wilayahku hanya untuk mati? Aku akan memastikan kau menyesal telah mengganggu tidurku!" suara Kalios menggema, penuh kebencian.

Suara itu begitu keras dan menggelegar sehingga Rise spontan menutup telinganya dengan kedua tangan, berusaha melindungi pendengarannya. "Astaga! Ular ini bisa bicara?!" teriaknya dengan nada terkejut. Saking terkejutnya, dia hampir terjengkang ke belakang, kehilangan keseimbangan. "Tunggu, bukannya aku yang harus menakut-nakuti kamu?"

Kalios menyipitkan mata, tampak bingung sesaat dengan reaksi Rise yang tak terduga. "Apa kau benar-benar mengejekku, manusia kecil?" suaranya masih mengandung kemarahan, tapi ada secercah kebingungan.

Rise mengangkat tangan dengan ekspresi sedikit canggung namun lucu. "Yah, ini pertama kalinya aku bertemu ular raksasa yang bisa bicara. Agak mengagetkan, tahu?" Dia mengusap telinganya yang masih berdenging, mencoba meredakan suara yang masih terngiang.

Dengan desisan mematikan dan tanpa banyak bicara, Kalios melancarkan serangan pertama. Kepala raksasa itu meluncur ke arah Rise dengan kecepatan luar biasa. Rise melompat ke samping, menghindari serangan yang mematikan itu, dan mencoba menyerang balik dengan pedangnya. Namun, senjata itu hanya memantul dari sisik keras Kalios, tidak meninggalkan goresan.

"Seperti yang kuduga, sisikmu sangat keras. Tapi aku tidak akan menyerah!" Rise berkata dengan suara penuh tekad, meski rasa frustasi mulai merayapi pikirannya.

Kalios menggoyangkan tubuhnya dengan marah, "Kau hanya menggores permukaanku! Sekarang rasakan kemarahanku!" Ular raksasa itu menyerang lagi, kali ini dengan ekor yang menghantam Rise. Dia terlempar hingga membentur dinding gua, merasakan sakit di seluruh tubuhnya.

Dengan cepat, Rise bangkit kembali. "Ini tidak akan mudah... Tapi aku harus menemukan titik lemahnya." Dia memandang Kalios dengan tajam, mencari celah di antara sisik-sisik keras yang melindungi tubuh raksasa itu.

Rise mengencangkan genggamannya pada pedang. "Aku tidak boleh menyerah sekarang. Ini bukan hanya tentang diriku, tapi tentang mereka yang mengandalkanku. Aku akan mengalahkanmu, apapun yang terjadi!"

Monster itu tertawa jahat, "Coba saja kalau bisa, manusia lemah! Sisikku lebih keras dari baja, dan kau tidak akan mampu menembusnya!"

Rise melihat sekilas kristal di dada monster itu, berkilauan seperti bintang di langit malam.

"Kristal itu... Itu kuncinya! Aku harus mencapai dadamu," bisiknya dengan semangat baru. Dia menghindari serangan berikutnya dan melompat ke punggung Kalios, berlari cepat di sepanjang tubuh ular raksasa itu menuju dadanya. Kalios mengamuk, berusaha menjatuhkannya.

"Diam di tempat, manusia pengecut!" teriak Kalios dengan suara penuh amarah. Ular itu menggeliat, berusaha melemparkan Rise dari punggungnya, tapi Rise berpegangan erat, tidak menyerah.

"Ini untuk mereka yang mengandalkanku! Aku tidak akan kalah!" teriak Rise dengan penuh tekad. Dengan serangan terakhir, dia menancapkan pedangnya tepat di sekitar kristal, memanfaatkan momen ketika Kalios terbuka untuk menyerang. Monster itu berteriak kesakitan, tubuhnya bergetar hebat.

"Tidak... Bagaimana mungkin?!" suara Kalios semakin lemah, tubuhnya mulai runtuh menjadi debu.

Dengan kekuatan terakhirnya, Rise menarik kristal dari dada Kalios. "Ini akhirnya!" Dia mengangkat kristal itu tinggi-tinggi, menyaksikan monster raksasa itu hancur menjadi debu di depannya.

Dengan napas terengah-engah, Rise berdiri dengan kristal di tangannya, tersenyum lega. "Aku berhasil... Akhirnya aku bisa dapat pedang baru!." Dengan kristal di tangannya, Rise melangkah keluar dari gua.

Pedang Kage, yang akan ditempa dari kristal hitam itu, memiliki kekuatan kegelapan dan bayangan. Material ini akan memberinya kemampuan untuk menyerap dan mengendalikan bayangan, membuatnya bisa bergerak dengan kecepatan tinggi dan menyerang dari kegelapan. Rise menyimpan batu itu dengan hati-hati, lalu kembali ke Master Hiro dengan perasaan bangga.

Misi berikutnya adalah mencari material untuk pedang kedua. Master Hiro mengirim Rise ke jurang di selatan paling ujung kota Prosperam Urbem. Jurang itu terkenal berbahaya dan dijaga oleh anak naga api.

"Untuk pedang kedua yang akan kau miliki, kau harus pergi ke jurang di selatan. Di sana, kau akan menemukan material khusus yang dijaga oleh Naga Api, tidak perlu khawatir, Naga Api yang ini masih muda. Ini juga akan menjadi ujian yang sangat berat, Rise," kata Master Hiro.

Rise berangkat dengan penuh semangat, meskipun sedikit khawatir. Perjalanan ke jurang itu panjang dan melelahkan. Setelah berhari-hari berjalan, akhirnya ia tiba di tepi jurang yang dalam dan gelap.

Rise berdiri di tepi jurang yang dalam dan gelap, tempat di mana kristal Divina legendaris disimpan oleh seekor naga api muda. Udara di sekitar jurang itu terasa panas dan berbau belerang, tanda jelas bahwa makhluk berbahaya menunggu di bawah sana.

Dengan hati-hati, Rise menuruni tebing curam menggunakan tali yang kuat. Setiap langkahnya diiringi oleh suara bebatuan yang jatuh, gema mereka hilang di kegelapan di bawah. Saat mencapai dasar, kegelapan menyelimuti segalanya, hanya sedikit cahaya dari lahar yang mengalir di kejauhan memberikan sedikit penerangan.

Di dasar jurang, terdapat banyak batu bercahaya yang memancarkan sinar terang.

"Ini adalah tugasku yang terakhir, untuk mengambil Batu Magica lalu mendapatkan Kristal Divina, dan perjalanan ini akan semakin dekat menuju akhirnya," gumam Rise pada dirinya sendiri, memegang erat pedangnya. "Aku harus berhasil."

"Baiklah, ini dia," bisik Rise, melangkah maju dengan hati-hati. Suara desisan dan gemeretak terdengar, menandakan kehadiran sang naga. Rise mengambil napas dalam-dalam dan melangkah lebih jauh ke dalam jurang, mengikuti suara itu.

Di sudut yang lebih dalam dari jurang, naga api muda itu berbaring di sarangnya yang dipenuhi dengan batu-batu bersinar. Sisiknya merah menyala, memantulkan cahaya dari lahar yang mengalir di sekitar sarangnya. Di dadanya, kristal Divina yang dia cari berkilauan, memancarkan aura yang kuat.

"Ini dia," gumam Rise, memandang naga itu dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa ini tidak akan mudah. Meskipun naga itu masih muda, kekuatannya tetap mematikan.

Naga itu tiba-tiba membuka matanya, menatap langsung pada Rise dengan tatapan penuh kemarahan. "Siapa kau yang berani mengganggu tidurku?" suaranya bergema, dipenuhi api dan kekuatan. Asap keluar dari lubang hidungnya, menandakan ancaman yang akan datang.

Rise terkejut mendengar naga itu berbicara. "Kau juga bisa berbicara?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gemetar karena ketakutan yang melingkupi dirinya.

Naga itu tampak semakin marah dengan pertanyaannya. "Tentu saja aku bisa berbicara, manusia bodoh! Aku adalah naga api, penghuni abadi dari jurang ini!" jawab naga itu dengan suara keras dan penuh amarah.

Rise mencoba menenangkan dirinya dan fokus pada tujuannya. "Aku hanya ingin mengambil kristal itu, naga," jawab Rise dengan suara yang terdengar lebih tenang. "Kau bisa pergi dengan selamat, aku hanya membutuhkan kristalmu."

Namun, untuk mendapatkannya, dia harus mengalahkan Naga Api yang menjaga tempat itu. Anak naga itu tidak sebesar naga dewasa, tapi tetap saja sangat berbahaya dengan napas api dan cakar tajamnya.

"Sungguh, kenapa harus anak naga? Apakah tidak ada yang lebih mudah?" keluh Rise saat melihat anak naga tersebut.

Naga itu tertawa, suara tawanya menggema di seluruh jurang. "Kau manusia bodoh! Kau pikir bisa mengalahkanku dan mengambil kristalku? Aku akan memastikan kau terbakar hingga menjadi abu!" Dengan itu, naga muda itu menghembuskan napas api ke arah Rise.

Rise melompat ke samping, menghindari lidah api yang mematikan itu. "Aku harus lebih cepat," pikirnya, memutar otak untuk mencari cara mendekati naga itu tanpa terbakar. Setiap gerakannya harus dihitung dengan hati-hati.

Pertarungan dimulai dengan serangkaian serangan dan penghindaran. Naga itu mengayunkan ekornya, berusaha menghancurkan Rise dengan satu pukulan, tetapi Rise terus bergerak, menggunakan kecepatan dan kelincahannya untuk menghindari serangan-serangan mematikan itu. Namun, dia tahu bahwa dia tidak bisa terus menghindar selamanya.

Pertarungan melawan anak naga api itu sangat menantang. Anak naga itu menghembuskan api yang membakar sekelilingnya. Rise harus menghindar dengan cepat sambil mencari peluang untuk menyerang.

"Ini tidak adil! Anak naganya saja sudah merepotkan, bagaimana dengan naganya yang dewasa?" Rise terus mengomel sambil menghindari serangan dari naga api.

"Aku harus menemukan cara untuk menyerang," pikir Rise, memperhatikan gerakan naga itu dengan seksama. Dia melihat bahwa setiap kali naga itu menghembuskan api, kristal di dadanya berkilauan lebih terang. "Itu dia. Saat itulah aku harus menyerang."

Dengan keberanian yang membara, Rise menunggu saat yang tepat. Ketika naga itu mengumpulkan napasnya untuk mengeluarkan serangan api berikutnya, Rise melompat maju, mengarahkan pedangnya langsung ke kristal yang berkilauan itu.

Pedangnya menghantam kristal dengan keras, menyebabkan naga itu mengeluarkan jeritan kesakitan yang menggema di seluruh jurang. "Tidak... kau tidak akan berhasil!" teriak naga itu, berusaha mengguncang Rise dari tubuhnya.

Rise memegang pedangnya erat-erat, berusaha menjaga keseimbangannya meski naga itu menggeliat dengan liar. Dia menusukkan pedangnya lebih dalam ke kristal, mencoba memecahkannya. "Aku harus bertahan sedikit lagi!"

Akhirnya, dengan satu serangan terakhir yang penuh dengan semua kekuatannya, Rise berhasil memecahkan kristal itu. Naga muda itu mengeluarkan teriakan terakhir sebelum runtuh ke tanah, tubuhnya hancur menjadi abu.

Dengan napas terengah-engah, Rise berdiri dengan kristal Divina di tangannya. Dia merasa kelelahan, tetapi juga lega dan puas. "Aku berhasil," katanya pada dirinya sendiri, tersenyum meski tubuhnya terasa sakit.

Tanpa membuang banyak waktu lagi Rise mengambil beliungnya lalu mengambil batu Magica yang ada di sarang naga api sebanyak mungkin, dirasa sudah cukup, Rise berdiri karena sudah mendapatkan material yang cukup banyak. Rise melihat kristal yang ia pegang lalu ia menyelipkan kristal itu ke dalam kantongnya dan mulai mendaki keluar dari jurang.

Rise merangkak keluar dari jurang, tubuhnya terasa lelah dan terluka setelah pertempuran dengan naga api. Dia memutuskan untuk berjalan pulang menuju kuil tempat Master Hiro berada, membawa hasil dari batu Magica yang ia kumpulkan dan kristal Divina yang dia dapatkan dari mengalahkan naga api.

Hari demi hari, Rise melanjutkan perjalanan melewati hutan lebat, menyeberangi sungai deras, dan mendaki gunung-gunung berbatu. Setiap langkah terasa semakin berat, tetapi tekadnya untuk mencapai tujuannya tetap kuat. Rasa sakit dari lukanya membuat langkahnya lambat, namun dia tak menyerah.

Akhirnya, setelah berhari-hari dalam perjalanan, Rise tiba di depan kuil tempat Master Hiro tinggal. Keringat membasahi tubuhnya dan napasnya terdengar tersengal-sengal. Dia berdiri di depan pintu kuil, merasakan kelegaan yang besar, namun juga kelelahan yang luar biasa.

Setelah beberapa saat, pintu kuil terbuka, dan Master Hiro berdiri di ambang pintu. Matanya menyipit saat melihat kondisi Rise yang penuh luka. "Rise, apa yang telah kau alami?" tanya Master Hiro dengan wajah khawatir.

Rise mengatur napasnya dan menjawab, "Aku telah mendapatkan semua yang kita butuhkan.. Aku tidak menyangka, perjalananku tak semudah yang kubayangkan."

Rise terkapar di ambang pintu kuil, tubuhnya terlalu lelah untuk berdiri. Master Hiro membantu menuntunnya ke dalam, sementara Rise terbaring di lantai dengan napas tersengal-sengal. Dia bisa merasakan kehangatan dan ketenangan yang terpancar dari kuil itu, memberikan sedikit kelegaan.

Master Hiro mengambil air dan membasuh wajah Rise, membantu dia duduk dengan posisi yang nyaman. "Istirahatlah sejenak, Rise. Biarkan tubuhmu pulih sebelum kita berbicara lebih lanjut," kata Master Hiro dengan lembut.

Rise mengangguk, menutup matanya, dan merasakan kehangatan yang menenangkan membalut tubuhnya. Dia bisa merasakan tidur mulai merayapinya, kelelahan yang tak tertahankan. Akhirnya, dalam keadaan yang penuh luka dan keletihan, Rise terlelap di lantai kuil, tidur yang penuh mimpi-mimpi tentang pertempuran dan kemenangan.

Setelah beberapa waktu berlalu, Rise terbangun dengan tubuh yang lebih segar. Dia merasakan kebugaran yang perlahan-lahan mengalir kembali ke dalam dirinya. Master Hiro duduk di sampingnya, memperhatikan dengan penuh perhatian.

"Baguslah jika kau sudah merasa lebih baik," kata Master Hiro. "Sekarang, kita bisa berbicara tentang rencanamu selanjutnya. Kamu sudah melalui semuanya, maaf jika terlalu berat untukmu."

Master Hiro mengangguk, senyum ringan tersungging di wajahnya. "Kau telah menunjukkan keberanian dan tekad yang luar biasa, Rise. Aku bangga padamu," katanya lembut.

Rise membalas senyum itu, merasakan sedikit kelegaan. Dia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi dengan semangat dan tekad yang dimilikinya, dia merasa siap untuk menghadapi setiap ujian yang akan datang.

Setelah mendapatkan semua yang dibutuhkan, dipagi hari, Master Hiro menyiapkan tungku penempaan di halaman belakang kuil. Potongan baja yang telah dipersiapkan Rise tergeletak di dekatnya, bersiap untuk menjalani proses penempaan yang panjang dan rumit. Rise berdiri di sampingnya, penuh tekad untuk menyaksikan pedang-pedangnya akhirnya terbentuk.

Master Hiro memanaskan potongan baja di tungku penempaan, menyesuaikan panas dengan cermat. Api berkobar di tungku, menghasilkan suhu yang tepat untuk melunakkan baja dan menjadikannya lebih mudah untuk ditempa. Setiap langkah dari proses penempaan ini memerlukan ketelitian dan kesabaran yang mendalam, dan Rise belajar banyak dari setiap gerakan Master Hiro.

"Api yang stabil dan panas yang tepat akan membuat pedang ini menjadi kuat dan tajam," kata Master Hiro, tatapannya penuh perhitungan saat memanaskan baja.

Rise mengangguk, memperhatikan setiap langkah Master Hiro dengan cermat. Penempaan pedang bukanlah hal yang mudah, dan kali ini dia ingin memastikan bahwa pedangnya terbentuk dengan sempurna.

Master Hiro dengan hati-hati memanaskan potongan baja di tungku penempaan, matanya tertuju penuh perhatian pada api yang berkobar. Rise berdiri di sampingnya, mengawasi setiap gerakan dengan tekad kuat. Waktu yang dibutuhkan untuk menempa kedua pedang ini telah menguji kesabaran dan ketekunan Rise.

 "Master, kapan kita bisa mencoba pedang ini?" Tanya Rise sambil menarik baju Master Hiro.

Master Hiro berhenti sejenak, memeriksa baja yang telah memadai di tungku penempaan. "Kita perlu memberi mereka waktu untuk benar-benar mendingin dan mengeras. Setiap detail dalam proses ini sangat penting."

Rise mengangguk, memahami bahwa setiap tahapan dari penempaan pedang ini memerlukan perhatian ekstra. Proses ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran yang mendalam.

Setelah dua bulan lamanya, penempaan selesai dan pedang-pedang itu mulai terbentuk dengan sempurna. Tekanan dan panas yang dihasilkan oleh proses penempaan yang cermat membuat pedang-pedang itu menjadi kuat dan tajam. Master Hiro dan Rise menguji pedang-pedang itu dengan berbagai gerakan dan teknik, memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik.

"Kau telah melakukannya dengan baik, Rise," kata Master Hiro sambil mengangguk puas. "Pedang ini adalah cerminan dari dirimu sendiri. Sekarang, pergunakan mereka dengan bijaksana."

Rise tersenyum lebar. "Terima kasih, Master. Aku akan melakukannya."

Master Hiro mengangguk. Rise merasa terharu karena telah berhasil menjalani penempaan yang panjang dan melelahkan ini. Dengan pedang-pedang yang baru saja terbentuk ini, dia merasa siap untuk menghadapi kutukan dan segala rintangan yang mungkin datang di depannya.

Karena hari ini, sedang Hari Raya Idul Adha. Chapter lima aku upload lebih cepat

Selamat Hari Raya Idul Adha semuanya!

Selamat Membaca!

English Version :

Because today is Eid al-Adha. I uploaded chapter five faster

Happy Eid al-Adha everyone!

Happy reading!

Kayekoyakicreators' thoughts