webnovel

Rahasia Besar

"Siapa dia, Pak?" Kirana tremor.

"Dia istri dan juga anak saya," jawab Kakrataka.

Tubuh Kirana melemah. Kedua tangannya mencari pegangan dan hanya bisa meraba dinding di belakangnya. Bibirnya ikut bergetar karena menahan tangis yang memaksa untuk keluar.

"Mau berkenalan dengan mereka?" tanya Kakrataka seraya membimbing Kirana berjalan.

"Ke mana mereka sekarang?"

Iya, terpampang foto besar yang letaknya lurus dari arah pintu masuk. Saat kedua mata menatap, hanya terfokus pada dua insan yang tengah tersenyum manis.

"Mereka sudah di surga," jawab Kakrataka.

Semakin memaksa tubuhnya untuk berdiri tegap, Kirana merasa semakin lunglai. Ia jatuh dalam pelukan Kakrataka yang sigap membantunya untuk tetap berdiri, walau kedua kaki terasa tak punya tulang lagi.

"Jadi, selama ini saya tidak pernah tahu tentang kehidupan pribadi Anda?" Entah, terdorong oleh rasa kecewa atau cemburu, sampai-sampai Kirana berani mengatakan hal itu.

Kakrataka yang tengah menopang tubuh Kirana, seketika menunduk dan menatap gadis itu yang tengah menahan bulir bening di pelupuk mata.

"Tidak ada yang tahu tentang kehidupan pribadi saya. Bahkan orang tua saya sendiri tidak ada yang tahu."

"Anda gila?"

"Iya, saya gila."

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Kirana mulai bisa mengendalikan dirinya. Ia melepaskan diri dari pelukan Kakrataka. Berdiri tegap menghadap lelaki dengan sejuta misteri yang ternyata mengalahkan misteri hidup dirinya sendiri.

"Ceritanya panjang dan saya akan memberitahumu tentang hal ini. Karena kau adalah satu-satunya orang yang paling saya percaya," ungkap Kakrataka.

Mendengarnya, membuat hati Kirana menghangat. Walau kalimat sederhana serta bisik lembut di telinga, tetapi dirinya merasa menjadi wanita paling istimewa di dunia. Meski tak pernah ia ketahui, sebenarnya apa yang menjadi rahasia besar Kakrataka. Lelaki itu amat tertutup, bahkan sampai saat terbongkar satu, berhasil membuat bumi gonjang-ganjing.

"Tiga tahun lalu, saat saya tengah berada di kantor. Kau ingat hari di mana lowongan kerja dibuka dan kau datang paling awal menemui saya?"

Kirana mengangguk.

"Saat itu sampai di tengah pembicaraan kita, saya mendapat telepon penting hingga akhirnya saya meminta untuk kau datang besoknya lagi." Terjeda untuk sekian detik. Sampai akhirnya Kakrataka melanjutkan kembali untuk menjawab rasa keingintahuan Kirana. "Saat itu istri dan anak saya menjadi korban tabrak lari dan beberapa hari setelah kejadian ... mereka pergi meninggalkan saya sendiri."

Bungkam. Seolah Kirana tak pernah ingin tahu sebuah fakta mengenai lelaki yang ia kagumi. Ia kira, seorang lelaki sukses seperti Kakrataka tak pernah menyimpan sesuatu yang kiranya menyakitkan. Kesuksesan serta gelimang harta, nyatanya tak pernah menutup celah dari kodrat seorang manusia biasa.

"Mereka pergi setelah saya menerimamu di hari itu," ungkap Kakrataka.

Meneguk saliva dengan kasar. Satu hal yang mampu Kirana lakukan, walau dirinya mulai dilanda gusar.

Kakrataka berbalik dan menatap Kirana yang mematung di belakangnya.

"Sekarang kau sudah tahu, 'kan?" Memastikan atas pemahaman serta jawaban keingintahuan dari Kirana. Sudahkah semua menjawab rasa penasaran gadis itu?

"I-iya," jawab Kirana terbata.

"Pak, menu makan siangnya sudah siap." Keduanya menoleh bersamaan ke arah sumber suara.

Seorang wanita muda mengalihkan perhatian Kirana.

"Dia asisten rumah tangga saya," tutur Kakrataka menjawab rasa penasaran Kirana.

Gadis itu hanya bisa mengangguk sembari tersenyum.

"Baiklah, ayo, kita ke bawah," ajak Kakrataka lima langkah lebih dulu dari Kirana.

Sembari menuruni anak tangga, Kakrataka berbincang hangat dengan asisten rumah tangga mudanya. Entah itu hanya perasaan Kirana saja atau bagaimana, tetapi memang benar adanya. Kakrataka bisa tertawa lepas serta menghilangkan raut wajah sedih yang sebelumnya begitu kentara.

"Silakan, Mbak!" titah asisten rumah tangga seraya menarik kursi untuk Kirana duduk.

Kirana tersenyum manis. "Terima kasih, Mbak," ucapnya.

"Iya, sama-sama."

Setelah semua tersaji di atas piring masing-masing, Kirana dan Kakrataka ditinggal berdua di meja makan. Diam sembari menikmati makan siang. Hanya denting peralatan makan yang saling berbenturan.

***

Cermin adalah satu benda yang amat digemari. Memiringkan kepala ke kanan-kiri, mengusap wajah yang putih berseri. Satu hal yang amat digemari oleh Kirana kini.

Setelah pulang dari kediaman Kakrataka, Kirana dimanjakan di salon kecantikan ternama. Bukan dia yang meminta dan akan membayarnya, tetapi Kakrataka lah yang meminta dengan sangat.

"Sudah?" tanya Kakrataka yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang perawatan Kirana.

Kirana yang tadi menatap dirinya di cermin, sontak menurunkan benda bulat tersebut dan menyembunyikannya di balik selimut.

"Su-sudah," jawabnya terbata.

"Sudah, cantik. Jangan banyak bercermin, nanti kau terkejut saat melihat bidadari di dalamnya." Tubuh Kakrataka begitu dekat dengan Kirana. Aroma parfum yang mengarah pada manis membuai indra penciuman Kirana.

Kakrataka mengambil cermin yang Kirana sembunyikan. Menjauh dari gadis itu dan menaruh benda bulat tersebut di atas nakas.

"Pak Bos bilang apa, tadi?" Kirana yakin jika tidak salah dengar, tetapi ia hanya ingin memastikan bahwa pendengarannya berfungsi secara normal.

"Cantik," jawab Kakrataka dengan lebih keras.

Sudah menjadi kodratnya, ketika mendapat pujian, maka Kirana tersipu. Wajahnya memerah dan kepalanya menunduk dalam.

"Mbak, apa ada yang salah dari treatment-nya?" tanya Kakrataka saat seorang wanita yang tadi mengurus Kirana kembali masuk dalam ruangan.

Wanita yang ditanya merasa bingung. "Tidak ada, Pak. Tadi sudah benar semua. Memangnya ada apa?"

"Lihatlah, wajahnya memerah semacam kepiting rebus."

Kirana sontak mendongak. Memberi kode pada mbaknya supaya tidak percaya dengan perkataan Kakrataka.

"Oh, mungkin ini efek dari gombalan yang Bapak beri." Wanita tersebut berlalu seraya menahan tawa.

Semakin digoda, maka semakin jadi saja warna merah menyala di wajah Kirana.

"Sudah, ganti baju, sana! Saya tunggu di depan. Setelah ini, kita akan ke rumahmu. Bertemu dengan orang tuamu."

"Memangnya ada keperluan apa sampai bertemu dengan orang tua saya?"

"Memangnya salah jika atasan ingin bertemu dengan keluarga dari tangan kanan?"

Kirana mengusap dadanya pelan. Menetralkan detak jantung yang secara tiba-tiba berdetak cepat tanpa aba-aba. Mungkinkah ia terkena serangan jantung?

"Astaga ... benci Kakrataka yang suka membuat saya serangan jantung!" Bukan berseru, walau ada tanda seru, tetapi Kirana hanya berteriak dalam diam. Iya, hatinya yang berteriak memaki Kakrataka yang seenaknya membuat dirinya bermain ritme jantung.

Kirana berjalan ke ruang ganti. Tidak butuh waktu lama sebenarnya, tetapi ia masih merapikan rambut yang acak-acakan. Rambut sebahu dengan warna kecokelatan yang terjadi secara alamiah. Selama hidup, tidak pernah rambut ia warna karena cinta dengan keaslian yang Tuhan ciptakan.

"Mbak, ponsel saya ada di nakas?" tanya Kirana saat tidak menemukan ponselnya di tas.

Wanita yang tadi sempat pergi, kini sudah berada dalam ruangan kembali. "Tidak, Mbak. Tadi saya lihat Bapak tadi yang membawa keluar. Katanya ingin menelepon orang tua."

Mendengarnya, membuat kupu-kupu di perut Kirana beterbangan. Bunga-bunga indah merekah di dalamnya. Namun, tidak butuh waktu lama. Kirana kembali berlari untuk memastikan apa yang diperbuat Kakrataka tidak mengacaukan seisi dunianya.