webnovel

Hanya Kau dan Aku

Langkah kaki Wilona terasa berat menuju ruang makan membuatnya semakin gugup dengan situasi yang seakan mendekap dirinya erat.

Malam ini, sepupu dari Robert tiba-tiba datang. Entah apa tujuannya. Lagipula Wilona tak peduli.

"Hai Wilona!" sapanya akrab.

"Hai juga!" Wilona membalas dengan senyum tipis yang melengkung di kedua sudut bibirnya.

Wilona duduk, ia sengaja datang terlambat untuk berkumpul di ruang makan.

Robert menatapnya tak suka. Sementara sepupunya yang bernama Giselle itu hanya tersenyum. Sama sekali tak mempermasalahkan keterlambatan Wilona.

Wilona mendudukkan tubuhnya di hadapan Robert. Giselle duduk disamping Robert. Wilona tidak terlalu peduli di posisi mana saja ia duduk yang penting bisa makan malam dengan baik.

"Aku Giselle." Giselle mengulurkan tangannya ingin bersalaman dengan Wilona. "Kita belum pernah bertemu tapi selamat atas pernikahan kalian. Semoga pernikahanmu dengan Kak Robert selalu bahagia," katanya memberi ucapan selamat dan doa terbaiknya.

"Terimakasih. Salam kenal Giselle. Aku Wilona." Balasan Wilona rupanya langsung disambut baik oleh sepupu Robert yang selalu mengumbar senyum lebar padanya. Akan tetapi, tidak dengan Robert yang memandangnya dengan raut wajah tak suka bahkan matanya selalu ke arah Wilona. Tak terlepas seperti busur anak panah yang tertuju pada satu tujuan. Energinya mentransfer hingga ke jiwa Wilona.

"Aku sudah tahu namamu. Sebelum makan, apa aku boleh bertanya padamu?" Giselle antusias dengan ucapannya. Disatu sisi Wilona sesungguhnya malas dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pernikahan antara dirinya dengan Robert. Namun, disisi lain Wilona tak mampu menahan Giselle untuk tak bertanya.

"Silahkan," jawab Wilona dengan terpaksa.

"Kenapa kau dan Kak Robert tak tidur satu kamar?" Pertanyaan yang mengundang mata Robert untuk menatap sepupunya itu.

"Apa pantas pertanyaanmu itu?" Robert menyambar cepat pertanyaan Giselle sebelum Wilona menjawabnya.

Ekor mata Wilona silih berganti memandangi wajah Robert maupun Giselle. Suasana pun tiba-tiba menjadi tegang. Mencekam bagai berada di tengah hutan yang gelap.

Wilona sempat bertanya pada dirinya sendiri, dari mana Giselle tahu jika ia dan Robert tak satu kamar padahal ia baru datang hari ini. Mencurigakan.

"Aku hanya bertanya, Kak," jawab Giselle dengan kepala sedikit menunduk. Tak berani menatap lama manik milik Robert.

"Jangan pernah bertanya tentang apapun yang berkaitan dengan pernikahan!" Suara tegas seketika menyambar tubuh Giselle menjadi kaku bahkan ia tak nyaman berada di tengah-tengah ruangan itu.

"Aku makan diluar saja." Robert berdiri. Meninggalkan Giselle dan Wilona tanpa memberi alasan.

Wilona menghela nafasnya panjang. Ia sempat menahan nafasnya beberapa detik karena melihat wajah sangar Robert. Begitu juga dengan Giselle yang masih menundukkan kepalanya.

"Ayo makan," ajak Wilona. Ia tak mau terfokus pada kepergian Robert. Ia lebih senang pria itu pergi dibandingkan tetap di kursinya.

"Aku ke kamar saja. Nafsu makanku hilang," balasnya lesu. Melangkah pergi setelahnya.

Wilona masih menatap bayang-bayang kepergian Giselle.

"Aku sendiri lagi," gumamnya.

"Kenapa kau masih disini?" Pertanyaan itu datang kala melihat Ken ada disana. Bukan pergi bersama Robert.

"Saya menunggu, Nona," jawabnya sesuai perintah. Ken tentu tak menuruti kata-kata Wilona sebelumnya.

Wilona meletakkan kembali sendoknya di piring. Masih ada amarah dan rasa kecewa dalam dirinya.

"Kemana Nona?" Tiba-tiba Wilona pergi dari meja makan tanpa kata pada Ken.

"Aku tidak nafsu makan jika ada kau disini!" Wilona bersuara keras. Tersirat dalam kata-kata yang terlontar jika ia tak menyukai keberadaan pria tersebut.

Ken menghembuskan nafasnya ke udara. "Silahkan Anda kembali makan, Nona. Saya akan pergi dari ruang ini." Ken menundukkan kepalanya kemudian melangkahkan kakinya pergi meskipun belum mendapat jawaban dari Wilona.

"Jangan pergi!" Dua kata itu menahan langkah Ken. Berbalik badan dan mendekat.

"Ada apa, Nona? Bukankah Anda sendiri yang ingin saya pergi?" Ken mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk Wilona jawab. Ia sendiri tak tahu mengapa tak ingin pria itu pergi jauh darinya. Meskipun mulutnya meminta Ken untuk pergi tapi tidak dengan hatinya.

"Maukah makan bersamaku?" Wilona berdehem kemudian agar tak terlalu tegang dengan sikap dan pertanyaan yang menjebak dirinya sendiri.

"Saya sudah makan, Nona," jawab Ken tak ragu bahkan bisa dibilang tak mempertimbangkan isi hati Wilona.

"Jika seperti itu, aku tidak akan makan." Wilona menautkan kedua tangannya. Sudah menjadi santapan untuknya saat Ken selalu menolak keinginan bahkan ajakannya.

"Jadi Anda tidak makan jika saya tidak makan?" Ken memastikan pendengarannya tak salah.

Wilona menganggukkan kepalanya.

"Jika seperti itu, lebih baik Anda tidak usah makan," kata Ken tak menyaring ucapannya. Ia tak peduli jika Wilona tak mau makan malam ini.

Wilona melototkan matanya kemudian menarik tangan Ken ke pinggir tembok dekat dapur.

"Kau! Apa tak bisa peduli sedikit saja padaku? Aku menyukaimu. Sungguh aku menyukaimu, Ken. Aku tidak bisa membohongi perasaanku ini. Sejak awal, kau berbeda dari pria manapun."

Ken melepas tangan Wilona dari tangannya. "Maaf, Nona. Tetap tidak bisa. Ini sebuah kesalahan. Anda ja—"

Wilona mengecup bibir Ken dengan lembut. Ia bosan dengan jawaban yang bertele-tele dari asisten suaminya itu.

"Jadilah kekasihku. Aku yakin tidak ada yang tahu. Jika kau tidak mau, maka aku akan mengatakan pada Robert kalau kau berkhianat padanya," ujar Wilona mengancam. Senjata terakhir yang digunakannya.

Ken ternganga. Tak mengira Wilona akan berkata seperti itu padanya.

"Anda mengancam saya, Nona?!" Ken menunjukkan jari telunjuknya ke arah dirinya sendiri.

"Ya, aku mengancammu jika tidak mau jadi kekasihku." Balasan Wilona membuat Ken terkekeh pelan.

"Nona jangan bergurau dengan saya." Ken menimpalinya santai.

"Aku tidak bergurau padamu. Aku akan mengatakan padanya jika kau telah memberitahu aku jika dia memiliki tujuan dalam pernikahan ini."

Terdiam. Ken mengingat-ingat kembali ucapannya. Ia merasa tak ada berbicara apapun pada Wilona tentang tujuan pernikahan ini sebenarnya.

"Apa kau lupa? Baiklah ... Aku akan memberitahukan semuanya ini pada Robert." Wilona melenggang pergi. Ken masih terpaku di tempatnya. Masih terus menggali memorinya.

"Jangan pergi! Aku setuju," kata Ken mengiyakan tawaran itu selang beberapa detik saja. Ia tak tahu dengan keputusannya sekarang, hanya saja ia merasa ada sesuatu yang membuatnya lupa dengan ini semua. Untuk berjaga-jaga Ken memilih menyetujuinya. Lagi pula menjadi kekasih Wilona bukanlah didasarkan oleh cinta.

Wilon tersenyum. "Kau yakin?" Ken mengangguk.

"Rupanya dengan ancaman semuanya bisa dikendalikan," kata Wilona kemudian mendekatkan langkahnya ke posisi Ken.

"Tapi ada syarat yang harus kita berdua patuhi. Saya tidak mau Tuan Robert tahu tentang ini semua," ucap Ken sebelum benar-benar menjalani hubungan ini.

"Baik, aku pun tidak ingin dia tahu. Anggap saja ini sebuah rahasia hanya kau dan aku saja yang tahu. Lantas apa syaratnya?" Wilona memainkan jari-jemari Ken dengan lembut. Pria yang dikaguminya sejak awal. Akhirnya mampu ia taklukkan dengan sebuah ancaman.

Ken memandangi Wilona. Wajah wanita itu membuatnya sulit untuk berpikir jernih. Akan tetapi, semua serba sulit untuknya sekarang. Jika menolak, ia tak yakin semuanya aman dan jika menerima, ia takut menyimpan perasaan pada wanita itu kelak.